Menuju konten utama
Sejarah Perusahaan

Bagaimana BCA Berjaya di Masa Orde Baru?

Tersendat-sendat di masa Orde Lama, laju bisnis BCA kian tak tertahankan seiring kejayaan Orde Soeharto.

Bagaimana BCA Berjaya di Masa Orde Baru?
Potret Menara BCA di Thamrin Jakarta Pusat dihiasi gemerlap lampu-lampu ibukota. tirto.id/istimewa

tirto.id - Liem Sioe Liong alias Sudono Salim harus berjuang lebih keras di zaman Orde Lama. Kala itu, Program Benteng yang memang dirancang sebagai tindakan afirmatif untuk pengusaha lokal, sedikit banyak ikut menyulitkan dirinya yang berlatar Tionghoa. Dengan susah payah, ia membangun bisnisnya. Selain pabrik, dia pun mendirikan bank pada 1950an.

Menurut Eddy Sutriyono, dalam Kisah Sukses Liem Siu Liong (1989), pada 1954 Liem mendirikan Bank Windu Kencana, namun tidak sukses. Bulan Oktober 1956, ia mencoba lagi mendirikan bank, kali ini NV Bank Asia. NV Bank Asia berdiri pada 12 Oktober 1956, setelah pabrik tekstilnya meraup untung. Tahun berikutnya, 21 Februari 1957, Liem mendirikan sebuah bank yang belakangan menjadi Bank Central Asia (BCA).

Bank-bank tadi tak langsung membesar saat itu juga, apalagi saat itu masih zaman Orde Lama. Menurut pengakuan Liem dalam buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986 (1986), di masa Orde Lama orang-orang dagang (bisnis) sulit berkembang.

Baca Juga: Benteng Yang Gagal Memperkuat Pengusaha Pribumi

Laki-laki kelahiran Fukien 16 Juli 1916 ini malang melintang di dunia bisnis sejak zaman kolonial, sejak masih berumur 20 tahun. Zaman Jepang, dia dagang minyak kacang kecil-kecilan di Kudus, Jawa Tengah. Pernah juga jadi pemasok bagi militer di Jawa Tengah.

Pada 1950an, usahanya makin berkembang, meski belum menempatkannya sebagai konglomerat besar. Setidaknya usahanya merambahi pengusahaan hasil hutan, bangunan, perhotelan, perdagangan asuransi juga perbankan.

Sebagai pengusaha yang punya bank, tak heran jika Liem punya kolega yang paham soal bank. Tak cuma yang keturunan Tionghoa, ia juga berjejaring dengan peranakan Arab, yakni Abdullah Ali.

“Om Liem memang sudah saya kenal sejak tahun 1957,” aku Abdullah Ali dalam buku Abdullah Ali Dalam Liku-liku Sejarah Perbankan Indonesia (1995).

Pada tahun-tahun tersebut, Ali masih bekerja di bank sentral, Bank Indonesia. Ali pernah ditunjuk menjadi pemeriksa bank yang mengontrol operasional dan buku BCA di awal sejarahnya. Pernah pula Ali memerintahkan pemeriksa kredit untuk mengecek semua perusahaan Liem pada 1972.

Baca juga: Duel Mata Uang Republik vs NICA

Sementara kolega Tionghoanya adalah Li Wen Cheng — yang dikenal sebagai Mochtar Riady. Setelah mundur dari Panin pada 1 Mei 1975, Mochtar bergabung dengan Bank Asia. Kala itu, Liem sudah punya tiga bank. Selain Windu Kencana dan Bank Asia, ada pula Bank Dewa Ruci. Windu Kencana dipegang adiknya, Liem Sioe Kong. Dewa Ruci dipegang sepupu Liem, Liem Ban Tiong. Ketika Mochtar masuk, BCA dalam keadaan kurang maksimal.

“Di antara pemegang saham adalah putra-putri Presiden Soeharto. Ketika itu, masing-masing memiliki 15 persen, seorang jenderal pensiunan 10 persen dan sisanya 60 persen dimiliki Pak Liem tiga bersaudara,” aku Mochtar Riady dalam autobigrafinya Manusia Ide (2015). Mochtar pun bergabung di BCA dan mulai memimpin rapat sejak juni 1975.

Menurut George Junus Aditjondro, anak-anak Soeharto yang memiliki saham di BCA adalah Siti Hardiyanti (Tutut) dan Sigit Jarjojudanto. Keduanya, menurut Aditjondro, sempat memiliki 32 persen saham di BCA (Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga, hal. 110).

Mochtar memperbaiki sistem kerja di bank itu. Tak lupa merapikan arsip-arsip bank yang kala itu ruangannya jadi sarang laba-laba. Mochtar menyadari pentingnya pengarsipan yang rapi dalam bisnis perbankan.

Katanya, “Arsip merupakan dasar paling pokok dalam mengelola perbankan. Jika pengelolaan arsip tertata rapi dan terpelihara baik kita dengan cepat dan tepat menemukan dokumen yang diperlukan, untuk mencapai efektifitas dan produktifitas kerja yang maksimal.”

BCA melakukan merger dengan dua bank lain pada 1977. Salah satunya Gemari, bank yang dimiliki Yayasan Kesejahteraan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Kantor Bank Gemari pun dijadikan kantor cabang BCA. Merger itu membuat BCA bisa menjadi bank devisa.

Baca juga: Menyatukan Indonesia dengan Mata Uang

infografik bca riwayat

Di masa Mochtar Riady memimpin BCA pula, Unilever yang kapok berhubungan dengan bank swasta, mau menjadi nasabah penting BCA. Menurut Mochtar Riady, ini terkait kejadian rush (penarikan) besar-besaran dana dari bank-bank swasta pada 1967. Riady bahkan harus turun tangan menjelaskan keunggulan dan keuntungan produk dan pelayanan BCA. Selain Unilever yang di Indonesia dikenal sebagai produsen sabun, Gudang Garam pun juga diperjuangkan menjadi nasabah.

Awal 1980an, menurut catatan Abdullah Ali, BCA mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia agar dipersilakan mengeluarkan dan mengedarkan kartu kredit atas nama BCA yang berlaku internasional. Untuk itu, BCA bekerjasama dengan Master Card.

Baca juga: Ketika Indonesia Bertekuk Lutut kepada IMF

Pada 1980, Abdullah Ali sudah 53 tahun umurnya dan akan memasuki masa pensiun. Kebetulan, di Bank Indonesia, kariernya mentok, karena dia memang bukan sarjana, meski sering beredar gosip dia akan diangkat menjadi Direktur Bank Indonesia. Dua kali nama Ali masuk bursa calon, tapi dia sadar namanya hanya "pelengkap" saja. Akhirnya, tawaran menggiurkan datang juga dari BCA. Ia ditawari posisi Presiden Direktur.

Namun, Ali tidak langsung masuk. Dia diharuskan menjalani masa pendinginan selama enam bulan sebelum mengisi posisi Presiden Direktur yang ditawarkan Mochtar Riady atas restu Liem. Selama enam bulan itu, Ali mengaku: “jadilah saya seorang pensiunan yang mendapat gaji buta dari Bank Indonesia. […] Tanggal 1 Oktober 1980, saya mulai bekerja di BCA, resmi dengan jabatan Presiden Direktur.”

Menurut Ali, selama bergabungnya Mochtar Riady, BCA sudah jadi bank swasta terbesar nomor dua di Indonesia. Sementara itu, bank yang sebelumnya ikut dibesarkan Riady, Bank Panin, menjadi nomor satu. Setelah Ali bergabung, sebuah serangan teror dialami BCA. Belum sebulan Peristiwa Tanjung Priok memuncratkan banyak darah di Jakarta, gedung BCA di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, diledakan pada 4 Oktober 1984.

Baca Juga: Pengeboman BCA 1984, Soeharto dan Islam

Setelah adanya Undang-undang Pakto 88 pada 1988, BCA berencana merekrut 6.000 karyawan karena akan membuka 150 kantor cabang. Besarnya BCA, mau tidak mau, membuat BCA membuka lembaga pendidikan dan pelatihannya sendiri. Sekitar 1995, kantor cabang BCA mencapai 450. Selain di Indonesia, di Singapura, Hongkong dan New York juga terdapat kantor cabang BCA.

Setelah belasan tahun, pada 1991 Mochtar, cabut baik-baik dari BCA dan membangun Bank Lippo.

Baca juga artikel terkait SEJARAH PERUSAHAAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Marketing
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS