tirto.id - 18 November 2011. Presiden Barack Obama semringah di sela-sela ASEAN Summit di Bali. Ia turut menyaksikan perjanjian kerja sama antara Lion Air dan Boeing, yang disebutnya “kesepakatan bernilai miliaran dolar, yang akan menghasilkan lebih dari 100.000 pekerjaan di Amerika Serikat dalam waktu lama.”
Khusus untuk Lion Air, Obama memuji sebagai “salah satu maskapai penerbangan yang tumbuh paling cepat tak hanya di Indonesia tapi di dunia.”
Layaknya bintang baru, tak banyak yang tahu kiprah si Singa Merah, yang didirikan oleh duo bersaudara, Kusnan dan Rusdi Kirana, pada 2009 dan mulai resmi beroperasi setahun berikutnya.
“Jika Anda belum pernah mendengar Lion Air, Anda tidak sendirian,” tulis CNN dengan menampilkan foto seremoni tanda tangan antara Rusdi Kirana dan wakil presiden Boeing Ray Conner saat itu. “Kecuali Anda pengguna Bahasa Indonesia dan telah bepergian ke pulau-pulau besar di negara muslim berpenduduk terbesar di dunia ini, tak ada alasan mengapa Anda harus mengetahuinya.”
Perjanjian senilai 21,7 miliar dolar AS itu mencakup 230 pesawat Boeing untuk Lion Air, yang tahap pertama pengirimannya dimulai pada 2017, bagian dari rencana pembelian 408 pesawat baru senilai Rp37,7 miliar dolar AS. Kontrak tunggal ini adalah terbesar dalam sejarah perusahaan Boeing berdiri, 94 tahun silam.
Rekor tidak berhenti di situ. Seperti diberitakan oleh Reuters, Lion meneken kontrak dengan Airbus, produsen pesawat komersial berbasis di Toulouse, Perancis, senilai 18,4 miliar Euro untuk 234 pesawat jet penumpang. Serupa persis dengan Bali, kontrak dagang itu disaksikan oleh Presiden Francois Hollande, yang bertempat di Elysee Palace, Paris, pada 18 Maret 2013.
Ekspansi Bisnis Penerbangan di Malaysia & Thailand
Kepada Financial Times, Rusdi Kirana, bos Lion Air, mengklaim kisah dirinya memulai bisnis sebagai wiraniaga mesin ketik bermerk Brother hingga membangun agen perjalanan dengan saudaranya. Rusdi mengaku membangun Lion Air dengan modal 900.000 dolar AS dan Boeing 737 sewaan. Perusahaan ini lantas berkembang menjadi pemain utama dalam penerbangan berbiaya murah.
Di Indonesia, Lion Air menggunakan kendaraan usaha bernama PT Lion Mentari Airlines. Beralamat di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, mayoritas sahamnya sebesar 99,34 persen dikuasai PT Langit Esa Oktagon; dan sisanya dimiliki Kirana bersaudara. Dua bersaudara ini saling berbagi saham di PT Langit Esa Oktagon. Pendeknya, dari akta perusahaan, Lion Air memang dimiliki oleh Kusnan dan Rusdi Kirana.
Di bawah payung Lion Air Group, perusahaan ini memiliki Wings Air, Batik Air, Lion Bizjet, Malindo Air (Malaysia), dan Thai Lion Air (Thailand.) Kirana bersaudara itu lagi-lagi saling berbagi saham di PT Lion Group.
Ekspansi bisnis Lion merambah ke Negeri Jiran. Pada 2012, dengan menggandeng rekanan National Aerospace & Defence Industries Sdn Bhd (Nadi), Lion Air membuka maskapai Malindo Airways. Malindo adalah akronim untuk Malaysia Indonesia. Reuters melaporkan Lion Air memiliki 49 persen saham sementara Nadi 51 persen saham di Malindo.
Namun, seiring waktu, kepemilikan saham telah berubah, sebagaimana tercatat pada akta perusahaan Malindo Airways Sdn Bhd dari Suruhnjaya Syarikat Malaysia/Companies Commission of Malaysia. Per 31 Oktober 2018, 94,58 persen saham dipegang LM Capital Sdn Bhd. Sementara PT Lion Grup (nama dalam akta di Malaysia) tinggal 2,71 persen saham; nilai yang sama dimiliki Sky One Investors Sdn Bhd.
The Sun Daily melaporkan Nadi telah mengurangi kepemilikannya di Malindo Airways, adapun Sky One Investors Sdn Bhd dimiliki CEO Malindo Air dan istrinya: Chandran Rama Muthy dan Kalpana Devasagayam.
Siapa pemilik saham LM Capital Sdn Bhd? Berdasarkan penelusuran dokumen, 100 persen sahamnya dimiliki PT Lion Group. Artinya, perseroan yang beralamat di Menara Hap Seng, Kuala Lumpur, ini adalah kepanjangan tangan legal Kirana bersaudara di Malaysia.
Sama seperti setiap tonggak bisnis Lion yang lain, saat perusahaan patungan itu berdiri pada 2012 di Malaysia, ia juga disaksikan oleh Perdana Menteri Datuk Seri Najib Abdul Razak.
Di Thailand, kendaraan perusahaan yang dipakai Lion Air bernama Thai Lion Mentari Company Limited. Tapi, berbeda dari Malaysia, sangat minim informasi yang bisa kita dapatkan. Majalah Forbes pada 28 Januari 2015 pernah menulis singkat: “Thai Lion Air didirikan dengan beberapa mitra di Bangkok, nama-nama mitra ‘dirahasiakan’, tapi Lion punya 49 persen saham.”
Perusahaan Cangkang Milik Kirana Bersaudara
Basis data Offshore Leaks, yang diinisiasi oleh The International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), sebuah konsorsium beranggotakan 165 wartawan dari 65 negara, menggambarkan dua bos Lion Air masuk dalam Offshore Leaks dan Paradise Papers.
Lewat entitas bernama Pacific Aviation Limited, keduanya memarkir dana di Samoa. Rusdi Kirana terhubung dengan sebuah alamat di Taman Meruya Ilir, Jakarta Barat, dan tercatat sebagai pemegang saham sekaligus direktur Pacific Aviation Limited.
Dari entitas itu, Rusdi terhubung dengan dua orang lain, yakni saudaranya Kusnan Kirana dan Yunita Sastrasanjaya, Direktur Keuangan Lion Air.
Satu entitas ini menghubungkan mereka dengan perusahaan konsultasi investasi, UBS AG, beralamat di Singapura, sebagai “perantara”. Lewat peran perantara inilah mereka terkoneksi dengan 1865 entitas perusahaan cangkang dan 3 alamat lain.
Dalam Paradise Papers, Kirana bersaudara terhubung sebagai pemegang saham dengan entitas bernama Eastern Sky Investments Limited dan entitas bernama Pacific Propeller Option Holder Company Limited serta alamat Lion Air Tower di Jl Gajah Mada, Jakarta Pusat. Mereka memarkir dana perusahaan cangkang di Kepulauan Cayman.
Pada salah satu entitas Eastern Sky Investments Limited, misalnya, mereka terhubung dengan salah satu alamat di Kepulauan Cayman yang terkoneksi dengan 9 perantara, 1.000-an kantor, dan 8.000-an entitas. Mereka juga terhubung sebagai pemegang saham di Red Services Limited, yang terkoneksi dengan 1 alamat dan 2.700-an entitas di Kepulauan Cayman.
Lewat firma hukum Appleby, berbasis di Bermuda, salah satu negara suaka pajak, gurita ribuan perusahaan cangkang Kirana bersaudara dalam Paradise Papers ini menjelaskan bagaimana para konglomerat memarkir kekayaannya demi menghindari pajak. Firma hukum macam Appleby, yang memasang tarif termahal di dunia, melakukan sindikasi dengan bank untuk menjajakan kerahasiaan finansial tak cuma kepada konglomerat, politikus, dan selebritas, tapi juga kepada para penipu dan mafia narkoba. Tujuannya untuk menggelapkan pajak di negara asalnya.
Menurut Majalah Forbes 2017, Kirana bersaudara menjadi orang terkaya Indonesia peringkat 33. Kekayaan mereka ditaksir mencapai 970 juta dolar AS. Angka ini senilai 1.000 kali lipat dari modal yang pernah Rusdi sebut dalam sebuah wawancara.
Kepentingan Politik dan Bisnis Rusdi Kirana
Cengkeraman Kirana bersaudara tak cuma pada bisnis penerbangan domestik. Pada Januari 2014, Rusdi bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa, sebuah pola janggal tapi lazim dalam politik di Indonesia tatkala seorang pengusaha Tionghoa perlu dekat dengan partai berbasis massa Islam tradisional; begitupun sebaliknya. Ia menjadi wakil ketua umum partai; sebaliknya koneksi dan kekayaannya dipakai PKB untuk keuntungan Pemilu saat itu.
Pada 2014, Rusdi pernah mengekspresikan rasa bahagia saat masuk dalam jajaran Dewan Pertimbangan Presiden, tak lama setelah Presiden Joko Widodo terpilih.
“Sekarang saya bisa bertemu dengan presiden dan menteri dan mendengar banyak rahasia,” ujarnya, dengan nada bercanda, kepada Financial Times.
Sejak Mei 2017, Rusdi Kirana dipinang Presiden Jokowi sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Malaysia. Posisi pejabat publik bagi seorang pengusaha, yang punya kepentingan bisnis di Malaysia, menjadi sorotan media setempat. Terutama potensi “konflik kepentingan” dia yang bakal menguntungkan Malindo Air.
Pembelian Boeing pada 2008: Lobi di Senayan
Sebuah kabel diplomatik bertanggal 27 Juni 2008 (berkode 08JAKARTA1262_a) menyebut bagaimana peran Rusdi Kirana dalam lobi kekuasaan.
Situasinya: Lion Air mengajukan jaminan utang ke Bank Export-Import (Bank Ex-Im) AS untuk membeli 178 pesawat Boeing 737-900 Extended Range (ER), dengan hak pembelian tambahan 50 Boeing 737-900ER. Tapi, keputusan Bank Ex-Im bergantung pada pemerintah Indonesia yang harus mengesahkan sepenuhnya Traktat Cape Town (CTT), sebuah konvensi internasional untuk menstandardisasi transaksi yang melibatkan properti bergerak, termasuk pesawat terbang.
Pada 24 Oktober 2007, Bank Ex-Im mengesahkan komitmen final dan komitmen awal sebesar lebih dari 1 miliar dolar AS untuk 30 pesawat kepada Lion Air, yang harus tunduk dievaluasi Kongres AS dan kondisi lain, termasuk implementasi CTT di Indonesia.
Bila CTT belum diratifikasi secara penuh oleh Indonesia, tulis kabel diplomatik tersebut, pejabat Bank Ex-Im tak akan merekomendasikan dewan direksi menyetujui jaminan utang kepada Lion Air.
Ratifikasi traktat ini sebetulnya sudah dilakukan pemerintah Indonesia pada 20 Februari 2007 melalui Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2007. Pada 16 April, Menteri Perhubungan saat itu Jusman Syafii Djamal berkata kepada Duta Besar AS saat itu Cameron Hume bahwa ia mendukung upaya yang disarankan Bank Ex-Im.
“Kami memberi arahan kepada ketua Komisi V DPR (bidang infrastruktur dan perhubungan) Akhmad Muqowam dan anggota komisi Enggartiasto Lukita dan Taufik Kurniawan soal CTT. [...] Anggota parlemen berjanji akan mengevaluasi dan berkata waktunya memang ideal karena mereka juga akan merevisi UU Penerbangan, yang diharapkan bisa disahkan pada Juli atau September 2008.”
Pada 24 Juni, Duta Besar Hume bertemu dengan beberapa anggota Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA), termasuk dengan Lion Air. Hume membahas potensi keuntungan keuangan CTT bagi industri penerbangan dalam negeri. Ketua INACA saat itu Emirsyah Satar menyarankan INACA bertemu dengan DPR dan Menteri Perhubungan untuk menyuarakan pentingnya CTT bagi industri penerbangan. Pada pertemuan terpisah, Menhub Djamal berkata akan menyertakan CTT dalam UU Penerbangan.
Rusdi Kirana mengatakan ia telah membahas CTT dengan "kontaknya" di Komisi V DPR, meminta CTT disertakan dalam UU Penerbangan.
Pada 17 Desember 2008, DPR mengesahkan UU Penerbangan 1/2009, di mana regulasi ini memuat ketentuan CTT dalam klausul penjelasan. Regulasi ini membuka pintu bagi sejumlah maskapai membeli atau menyewa pesawat untuk menambah kebutuhan bisnis penerbangan komersial di Indonesia.
Menengok kasus ini, bisa dipahami mengapa media dari Malaysia menyoroti potensi “konflik kepentingan” ketika Rusdi Kirana menjadi duta besar Indonesia untuk Negeri Jiran pada 2017. Usai kecelakaan pesawat Lion Air PK-LQP, Menteri Transportasi Malaysia Anthony Loke Siew Fook menegaskan bahwa peristiwa fatal yang menewaskan 189 kru dan penumpang tidak akan mengganggu bisnis Malindo Air.
MengutipMalay Mail, Loke berkata bahwa tidak ada larangan atau penangguhan operasi penerbangan Lion Air di Malaysia setelah kecelakaan yang melibatkan pesawat maskapai penerbangan di Indonesia.
=========
Editor: Fahri Salam