tirto.id - Sabtu, 7 Oktober, saat bertemu di Bandara Mutiara Sis Al-Jufri Palu, Alwan Ridha Ramdani meluapkan unek-uneknya. Ia jengkel setengah mati dengan maskapai Lion Air karena si Singa Merah sudah tiga kali membatalkan penerbangan menuju Jakarta. Padahal ia ingin mengevakuasi anak, adik, dan mertuanya ke Jakarta setelah gempa dan tsunami melanda Kota Palu pada akhir September lalu.
“Parah,” kata Alwan, emosi.
Alwan hanyalah satu dari banyak korban gempa yang harus menahan marah dari korban kebohongan Lion Air menjual tiket saat penerbangan komersial mulai dibuka di Bandara Palu.
“Ganti jadwal, nambah lagi duit,” katanya. Sesekali ia mengumpat. Kekesalannya pada Lion Air lantas ia luapkan di dinding Facebook dia dengan menulis “Lion Group tidak punya nurani."
Selain Alwan, saya melihat ratusan orang yang jadi korban gempa dan tsunami itu mengantre di depan pintu masuk bandara, berencana meninggalkan Kota Palu. Tapi, apa daya, Lion Air rupanya menjual harapan palsu.
Saya termasuk di antaranya. Sehari sebelum jadwal keberangkatan saya, Lion Air membatalkan penerbangan. Saya berganti maskapai, meski akhirnya tetap naik pesawat milik konglomerat Rusdi dan Kusnan Kirana ini dari Balikpapan karena tiket pesawat yang saya beli adalah tiket terusan menuju Jakarta. Hari itu, bagaimanapun, tak ada pilihan selain menaiki pesawat Lion Air.
Tapi, meski jadi sasaran dicaci dan dimaki, toh penerbangan Lion Air tetap diminati. Alasan utama karena harga tiketnya murah, sebagaimana mimpi Kirana bersaudara membangun perusahaan yang kini menguasai setengah dari total penumpang dari pelbagai daerah di Indonesia; persis dengan tagline maskapai ini: we make people fly.
Meski si Singa Merah kerap bikin marah para penumpang seperti Alwan, misalnya, toh bagi Rusdi Kirana hal itu bisa jadi cuma angin lalu. Dalam satu wawancara, Rusdi pernah berkata dalam bahasa Inggris, “Pesawat saya terburuk di dunia, tapi kamu tak punya pilihan lain.”
Deretan 'Kecelakaan' Lion Air
Saya termasuk konsumen yang menolak bila harus menaiki pesawat Lion Air, dengan tujuan ke mana pun. Rasa trauma saya bermula dari perjalanan menuju Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 2013. Meski tanpa insiden kecelakaan, tapi guncangan selama perjalanan menuju Pulau Borneo bikin mulut saya komat-kamit membaca ayat Alquran.
Saya mendadak jadi orang saleh hari itu, mengingat nama Tuhan berkali-kali, selama dua jam menuju Banjarmasin dari Jakarta. Sejak itu, saya ogah naik Lion Air dan barulah, untuk kali kedua, delapan tahun kemudian, saya menumpangi Singa Merah ketika saya pulang meliput dari Palu. Itu pun karena terpaksa setelah kantor mengatakan "hanya Lion Air pilihan terakhir" yang ada.
Rute saat itu: saya terbang dari Palu ke Balikpapan dengan maskapai berbeda dan meneruskan dengan Lion Air untuk tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Saya tiba dengan selamat setelah mengunyah biskuit, wafer, dan segelas air mineral; kompensasi dari delay di Balikpapan; satu perkara lazim dari maskapai ini.
Hari itu saya termasuk yang beruntung menaiki Lion Air di tengah banyak korban gempa dan tsunami Palu yang ingin meninggalkan kampung halamannya.
Tapi, cerita itu tidak berlaku pada Senin lalu, 29 Oktober, bagi 178 orang dewasa, 1 anak, 2 bayi, 2 kru, dan 6 awak kabin dalam pesawat Boeing 737 Max 8 dengan nomor registrasi PK-LQP. Pesawat dengan nomor penerbangan JT 610 ini jatuh di perairan Tanjung Karawang sejak hilang kontak 13 menit setelah lepas landas dari Bandara Soetta dengan tujuan Pangkal Pinang. Kabar sementara pesawat mengalami masalah alat kemudi.
Dan, bukan kali ini saja pesawat Lion Air mengalami insiden fatal.
Pada 30 November 2004, lokasi kejadian nahas berpusat di Bandara Adi Sumarmo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Ia menewaskan 25 orang, 55 orang luka berat, dan 63 orang luka ringan.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis penyebab kecelakaan karena hydroplaning, yaitu kondisi saat pesawat mendarat pada suatu landasan yang basah. Pesawat keluar landasan lalu meluncur ke kuburan.
Sebagian menilai hasil investigasi KNKT adalah kebohongan. Tapi, Ertata Laranggalih, anggota tim Investigation in Charge (IIC) KNKT berkata pesawat Lion Air saat itu laik terbang dan sesuai regulasi.
Dan insiden-insiden berikutnya dari "maskapai terburuk di dunia" yang berdiri hampir 20 tahun lalu ini bisa kita deret.
Selama 2002 hingga 2018, ada 22 "kecelakaan" dan paling banyak adalah insiden kecil saat mendarat alias tergelincir. Sisanya seperti "jatuh saat lepas landas", "gagal lepas landas", "mendarat tanpa roda pesawat", "keluar dari landasan pacu", "ban pesawat pecah saat mendarat", "tabrakan dengan pesawat lain di landasan pacu", dan lain-lain.
Selain masih sering molor alias delay bahkan sesudah peristiwa fatal JT 610, Lion Air juga disorot misalnya soal gaji pilot asing cuma Rp3,7 juta, berdasarkan laporan perusahaan ke BPJS Ketenagakerjaan; sangat mungkin hal ini untuk menutupi pengeluaran perusahaan sebenarnya.
Menguasai Penerbangan Domestik
Meski kini dalam sorotan, bos Lion Air Rusdi Kirana berkata siap diaudit selama "adil dan tanpa emosi." Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Malaysia, anggota Partai Kebangkitan Bangsa, dan mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini mulai memakai taktik "too big to fail" untuk memagari bisnisnya.
“[...] karena kami punya 30 ribu karyawan dan [dalam] satu hari mengangkut 200 ribu penumpang,” ujarnya.
Tuduhan-tuduhan ada keteledoran dalam kecelakaan JT 610 pada Senin lalu dijawabnya bahwa Lion Air memiliki sertifikat Audit Keamanan Operasional IATA (IOSA/IATA Operational Safety Audit). “Itu sertifikat tertinggi untuk bidang keselamatan,” tambahnya.
Maskapai Singa Merah memang melayani ratusan ribu penumpang saban hari. Diklaim memiliki 350 armada dari aneka jenis pesawat, jumlah ini melampaui maskapai lain yang beroperasi di Indonesia, bahkan maskapai BUMN Garuda Indonesia.
Lion Air disebut-sebut menguasai 34 persen kue penumpang domestik atau 33.131.053, teratas dibandingkan misalnya Garuda Indonesia (20 persen atau 19.601.133 penumpang). Jika jumlah ini ditambah Batik Air dan Wings Air, maskapai yang bernaung di bawah PT Lion Mentari Airlines, bisnis penerbangan Kirana bersaudara menguasai pasar domestik hingga 52 persen.
Kini, pertanyaannya, apakah pemerintah mau bersikap tegas terhadap Lion Air sebagaimana pernah terjadi pada Adam Air?
Maskapai yang disebut terakhir dimiliki oleh politikus Agung Laksono dan pebisnis Sandra Ang, yang dibekukan operasinya pada 2008 setelah kejadian kecelakaan beruntun pada awal 2007, termasuk yang fatal menewaskan 102 orang kru dan penumpang pada pesawat jurusan Jakarta-Surabaya-Manado.
Pada 2013, Rusdi Kirana—orang terkaya Indonesia urutan 33 versi Forbes 2017—masih percaya diri bahwa betapapun si Singa Merah sering bikin marah penumpang, ia secara implisit berkata bahwa kita, para penumpang, tak punya pilihan lain. “Makanya," kata Rusdi saat itu, "ada yang bilang Lion Air dibenci tapi dirindu."
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam