tirto.id - “Setiap kali aku naik Lion tak pernah tepat waktu,” Stanatina, warga Hong Kong, menuliskan kalimat itu pada kolom ulasan Lion Air di Airlinequality.com, sebuah forum independen bagi konsumen mengulas layanan mengenai maskapai, bandara, maupun perkara penerbangan.
Agustus lalu Stanatina hendak terbang dari Jakarta ke Yogyakarta. Penerbangannya dengan Lion Air dijadwalkan lepas landas pukul 17.55, tetapi, sampai saat menulis ulasan itu pada pukul 19.20, ia belum juga mendapat kepastian sampai kapan ia harus menunggu. Ia memberi nilai 1 dari skala penilaian 10 bagi Lion Air.
Cerita senada ditulis J Phan, warga Amerika Serikat, yang akan terbang dari Bali ke Jakarta dengan jadwal penerbangan 11.50 WITA pada 14 Agustus. Sebelum berangkat, ia menerima surel yang menginformasikan jadwal itu diubah menjadi pukul 13.10 WITA.
Dari Jakarta, Phan berencana terbang ke Singapura pukul 16.15. Awalnya ia pikir perubahan jadwal itu takkan mengganggu waktunya mengejar pesawat ke Singapura. Tetapi, sampai pukul 15.35 WITA, pesawat Lion tak jua berangkat.
“Maskapai terburuk yang pernah aku temui,” tulisnya, memberi nilai 1/10 sama seperti Stanatina.
Sehari sebelum peristiwa fatal pada 29 Oktober lalu, pesawat dengan nomor registrasi PK-LQP yang diterbangkan Lion terlambat dari Denpasar ke Jakarta.
Pesawat dengan nomor penerbangan JT 43 yang dijadwalkan pada 19.30 WITA itu molor menjadi 22.21 WITA. Padahal, pesawat dengan jenis Boeing 737 Max 8 ini sudah mendarat di Denpasar sejak pukul 10 pagi.
Direktur Utama Lion Air Edward Sirait membenarkan saat itu pesawat memang grounded sebab ada penggantian suku cadang.
Selain PK-LQP, Lion juga menerbangkan 10 pesawat Boeing dengan jenis yang sama, yang dikirim secara berangsur-angsur sejak Juni 2017 hingga September 2018.
Sejak itu, pesawat-pesawat baru ini mengudara.
Pasca PK-LQP Jatuh: 10 Pesawat Boeing 737 Max 8 Tetap Delay
Berkaca dari peristiwa delay yang terlalu lama pada PK-LQP, dan problem kesusahan saat menaikkan lambung pesawat sesaat setelah lepas landas dari Bandara Ngurai Rai pada 28 Oktober itu, kami merinci 10 pesawat Boeing yang mengalami delay. Kami menghitung berapa lama pesawat-pesawat baru yang diterbangkan Lion Air ini molor dari jadwal sejak peristiwa JT 610 jatuh ke perairan Tanjung Karawang pada 29 Oktober.
Misalnya Lion Air PK-LQJ (yang dikirim ke Cengkareng dari Seattle, AS, pada Juni 2017; sama dengan rute pengiriman PK-LQP yang bernasib nahas). Pada Selasa, 30 Oktober, dalam penerbangan dari Batam ke Medan, pesawat ini seharusnya lepas landas jam 3.50 sore dan tiba pukul 5.10 sore. Faktanya, ia baru tiba di Medan jam 10.20 malam alias ngaret hampir lima jam.
Padahal, pesawat itu sudah mendarat di Bandar Udara Internasional Hang Nadim sejak jam 4.45 sore. Artinya, ada selisih empat jam sejak pesawat mendarat hingga terbang lagi.
Untuk kasus penerbangan itu, Pelaksana Tugas Direktur Teknik PT Lion Mentari Airlines Muhammad Rusli menjelaskan pihak Lion semula menjadwalkan mengganti PK-LQJ dengan PK-LQM, yang saat itu berada di hanggar Bandara Hang Nadim.
“Namun PK-LQM mengalami delay untuk return to service (RTS) saat pesawat mau ditarik ke apron terminal,” kata Rusli. Karena itu, lanjutnya, PK-LQJ diputuskan untuk terbang lagi dan dipakai untuk menggantikan PK-LQM. "Keterlambatan jadi semakin lama karena PK-LQJ membutuhkan persiapan," klaimnya.
Sebagaimana PK-LQP yang sudah jadi serpihan-serpihan puing di Perairan Tanjung Karawang, usia ke-10 pesawat baru jenis Boeing 737 Max 8 ini masih sangat belia, dua di antaranya kurang dari enam bulan. Selebihnya tak sampai dua tahun; paling tua hanya 1,7 tahun.
Dalam tabulasi yang diolah dari flightradar24.com, selama tiga hari sejak JT 610 jatuh pada 29 Oktober, pesawat-pesawat ini seringkali molor dari jam yang sudah dijadwalkan.
Sekitar 53,6 persen mengalami delay. Jumlah ini sebanyak 65 penerbangan dari total 121 kali yang ditempuh selama tiga hari. Ke-46 dari 65 penerbangan ini ngaret lebih dari satu jam dan bahkan ada yang delapan jam.
PK-LQQ, misalnya, pesawat yang baru dikirim pada September 2018 lalu dan karena itu berusia paling muda (1,2 bulan), adalah Boeing 737 Max 8 yang paling sering terbang. Dalam tiga hari, ia terbang 19 kali; sementara pesawat-pesawat lain dengan jenis yang sama dipakai terbang maksimal 14 kali.
PK-LQQ terbang dari dan ke pelbagai kota: Jayapura, Makassar, Pangkal Pinang, Tarakan, Surabaya, Banjarmasin, Jakarta, dan Bandar Lampung. Dari total 19 penerbangan, ia terlambat sembilan kali; tiga di antaranya lebih dari satu jam.
Di antara 10 pesawat Boeing 737 Max 8 yang diterbangkan Lion Air, PK-LQK adalah yang paling sering terlambat. Meski hanya terbang 12 kali selama tiga hari itu tetapi delapan kali molor lebih dari satu jam.
Keterlambatan paling lama saat harus menempuh jarak Denpasar-Manado pada 29 Oktober dengan nomor penerbangan JT 776: seharusnya lepas landas pukul 9.55 tetapi delay sampai jam 2 siang.
Menanggapi tren keterlambatan ini, Muhammad Rusli menjawab normatif saat Tirto menghubunginya pada Kamis kemarin: “Variabelnya cukup banyak, di antaranya karena menunggu connecting penumpang dari pesawat lain, menunggu kondisi cuaca membaik, atau diperlukan pengecekan oleh engineer."
Di hari yang sama ketika kecelakaan maut terjadi, pesawat PK-LQJ terbang dari Medan ke Batam. Ia seharusnya terbang pukul 10 pagi dari Medan dan dijadwalkan tiba pukul 11.20 di Batam. Alih-alih mendarat di Batam, pesawat dengan nomor penerbangan JT 988 ini dialihkan di Bandar Udara Raja Haji Fisabilillah, Pulau Bintan.
Menurut Flightradar24, dalam dunia penerbangan, biasanya ada tiga alasan mengapa satu penerbangan dialihkan. Ia bisa karena alasan medis (misal ada penumpang yang sakit dan butuh tindakan darurat). Alasan lain bisa pula karena faktor cuaca atau alasan mekanis (misal ada kerusakan pada pesawat yang memaksa harus segera mendarat).
Soal mengapa ada pengalihan JT 988, Rusli belum bisa menjawab dengan pasti. Sampai laporan ini diturunkan, belum ada jawaban dan penjelasan dari pihak Lion Air soal pengalihan penerbangan ini.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Fahri Salam