tirto.id - Setiap tahun, jemaah haji asal Makassar, khususnya dari suku Bugis, tiba di tanah air dengan tampilan memukau dan gaya glamor. Para hajjah atau jemaah haji perempuan jadi pusat perhatian, tampil bak putri raja dalam balutan Mispa, busana adat Bugis khusus momen ini.
Baju mereka berkilau dengan warna berani: merah menyala, kuning emas, hijau zamrud, dihias payet dan manik-manik yang memantulkan cahaya. Pakaian ini sudah disiapkan sebelum berangkat ke Tanah Suci dan diganti di dalam pesawat sebelum mendarat di Makassar.
Kerudung turban mereka dihias bros emas atau jepit mutiara elegan. Perhiasan emas berbentuk gelang, kalung, anting, jadi aksen. Lengkap dengan kacamata hitam, mereka berjalan anggun dan percaya diri layaknya di catwalk.
Para pria tak kalah menarik meski tampil lebih sederhana. Ada yang memakai gamis dengan keffiyeh sebagaimana pakaian orang Arab.
Tradisi ini lebih dari sekadar penampilan. Mispa dan kilauannya menjadi simbol keberhasilan menunaikan haji sekaligus upaya mempertahankan budaya Bugis. Di balik kemegahan ada cerita pengorbanan, doa, dan perjuangan panjang ke Tanah Suci. Saat tiba di kampung halaman, keluarga menyambut dengan pelukan dan tangis haru.
Sebuah cara mengekspresikan kebahagiaan, pencapaian spiritual, dan ketaatan beragama. Gelar haji sangat dihargai dalam hierarki sosial Bugis dan Mispa menjadi penanda visual yang jelas dari status terhormat ini.
Simbolisme dan Fungsi Sosial
Mispa adalah busana khusus atau biasanya berupa penutup kepala tradisional, selendang, bagi perempuan Bugis-Makassar yang dipakai setelah pulang haji. Mengenakannya disebut ma’ mispa, yang secara harfiah dalam bahasa Bugis berarti "memakai mispa".
Mispa umumnya merupakan bagian dari busana pelengkap perempuan haji Bugis yang terdiri dari: Mispa (kain penutup), Pakambang (jubah hitam di pundak), Taliling (penutup kepala), dan Cipo'-cipo' (penutup kepala khas perempuan).
Selendang berwarna cerah tersebut dipakai menutupi talulu’ (selendang ikat kepala) dan membedakan antara jemaah haji dengan orang biasa. Mispa umumnya dipadukan dengan kebaya berhias berkilau untuk acara resmi dan pesta.
Ajaran Islam (sara') perlahan bercampur dengan adat Bugis yang dikenal pang'ade'reng. Mengutip Ahmad Mattulada dalam Latoa: Satu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (1985), agama Islam jadi bagian dari landasan kultural mereka serta turut membentuk identitas mereka sebagai orang Bugis.
"Seperti dimaklumi, kerajaan yang mula-mula menerima Islam dengan resmi di Sulawesi Selatan adalah kerajaan kembar orang Makassar, Gowa-Tallo’. Tanggal resmi penerimaan Islam itu, menurut lontara Gowa dan Tallo’, ialah malam Jumat, 22 September 1605, atau 9 Jumadil’awal 1014 H," lanjut Mattulada di halaman 69.
Adaptasi pakaian lokal, misalnya baju bodo atau waju tokko, salah satu pakaian adat Makassar yang sangat tua, ikut berevolusi. Dulu busana berlengan pendek ini dipakai tanpa baju dalam. Setelah Islam masuk, mulai dipakai dengan baju dalam untuk menutupi aurat sesuai syariat.
Jurnal Seni Rupa dan Desain Paratiwi melaporkan penelitian tentang baju bodo yang bertranformasi ketika Islam menyebar. Busana ini akhirnya menghasilkan baju labbu, yakni baju yang mirip dengan baju bodo, tetapi lebih tebal, gombrang, dan panjang hingga lutut.
Meski tradisi Ma'mispa diklaim turun-temurun, bentuk Mispa yang mewah dan mencolok baru populer pada abad ke-20. Ini bertepatan dengan dibukanya Pelabuhan Makassar sebagai tempat keberangkatan haji. Merujuk Staatsblad van Nederlandsch Indie 1922 No.698pasal 2 (1923), Ordonansi Haji 1922 menunjuk Pelabuhan Makassar bersama lima pelabuhan lain, seperti Surabaya, Palembang, Sabang, Padang, dan Batavia.
Akses haji yang lebih mudah membuat jumlah peziarah bertambah. Berdasarkan data resmi pemerintah Hindia Belanda yang tercatat dalam Indisch Verslag 1931, jumlah jemaah haji pada tahun 1927 tercatat 52 ribu lebih. Kondisi ekonomi masyarakat yang membaik juga mendorong tradisi kepulangan haji yang lebih meriah, termasuk busana Mispa yang glamor.
Mispa punya peran besar sebagai tanda kehormatan dan status haji di masyarakat Bugis. Pakaian ini jadi simbol yang mudah dikenali untuk menunjukkan seseorang sudah berhaji.
"Pakaian mampu memberikan gambaran dengan tepat bahwa saat kita memilih pakaian di rumah atau di tempat-tempat lain berarti kita mendiskripsikan diri sendiri," tulis Nasruddin dalam kajiannya bertajuk "Interpretasi Makna Haji yang Melekat Pada Masyarakat Bugis".
Gelar haji sangat dihargai dalam masyarakat Bugis, dan Mispa adalah wujud nyata dari status terhormat ini. Terutama di acara ramai seperti pernikahan, Mispa membantu hajjah menunjukkan identitas dan gelarnya dengan jelas.
Lain itu, Mispa juga melambangkan pengorbanan dan tanggung jawab spiritual. Kain sutra yang disulam indah dengan manik-manik menunjukkan nilai mahal, mencerminkan besarnya biaya untuk berhaji.
Mispa pada ahkirnya mencerminkan perpaduan kompleks antara kewajiban agama dan status sosial. Pakaian ini menunjukkan pemenuhan spiritual sekaligus kesuksesan materi, membantu seseorang memperkuat posisinya di masyarakat.
Ritual Mappatoppo dan Talulu
Mispa dalam budaya Bugis jadi bagian penting dari ritual pasca-haji yang disebut mappatoppo. Ritual ini kerap dianggap penentu kesempurnaan ibadah haji oleh masyarakat Bugis dan biasanya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari sejak keberangkatan mereka dari kampung halaman.
Dalam ritual mappatoppo, jemaah haji menjalani prosesi dipatoppoki atau semacam "wisuda haji". Seorang Syekh Bugis memasangkan peci atau sorban bagi laki-laki dan bagi perempuan dikenakan selendang lilitan di kepala (taliling). Meski dulu pemasangan taliling cukup sulit, kini sudah ada cara instan yang memudahkan penggunaan.
Studi yang dilakukan di Kelurahan Takkalasi, Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, terhadap 20 narasumber melaporkan pada saat jemaah pertama kali tiba di tempat tinggalnya, mereka dianjurkan memakai taliling tersebut selama 40 hari berturut-turut atas anjuran dari syekh pembimbing.
Praktik tersebut dianggap sebagai cara mereka dalam menjaga kemabruran hajinya sambil melafazkan doa "Allahu waliyul mukminin"--arti sebenarnya adalah "Allah pelindung orang-orang yang beriman", namun dalam ritual mappatoppo diartikan sebagai "Ya Allah jadikan aku walinya orang-orang mukmin dan menjadi terhormat di tengah masyarakat".
Bahkan saat haji meninggal, selendang tersebut akan dipakaikan sebagai bagian ritual pemakaman. Masyarakat Bugis yakin haji mereka baru sempurna setelah ritual mappatoppo.
Dinamika dan Adaptasi Mispa di Era Modern
Seiring zaman, cara memakai Mispa sudah banyak berubah. Dulu Mispa menutupi semua rambut, tapi sekarang banyak yang memperlihatkan bagian depan rambut agar lebih cantik dan modern. Busana Mispa dan kebaya yang dulu jadi ciri khas hajjah di pesta, kini sudah kalah populer dengan busana muslimah modern.
Masuknya tren busana muslim global, seperti hasil penelitian di Kabupaten Konawe Selatan, perlahan mengubah penampilan para haji. Mereka jadi terlihat sama dengan masyarakat biasa yang belum haji. Hal ini terjadi karena ibu-ibu haji merasa malu jika hanya mereka yang pakai Cipo'-cipo’ sementara yang lain pakai jilbab panjang modern.
Akibatnya, identitas haji yang dulu jelas terlihat dari Cipo'-cipo’ dan Mispa kini mulai memudar. Sulit membedakan antara haji dan non-haji dari penampilan sehari-hari. Perlakuan istimewa terhadap haji pun berkurang karena identitas visual mereka tidak lagi menonjol.
Perubahan dari Mispa khas ke gamis syar'i yang umum ini menunjukkan bagaimana penanda budaya unik status haji diserap oleh identitas mode Islam yang lebih luas. Hasilnya, identitas kehajian mereka hilang dan sulit dibedakan dari non-haji.
Namun, ada perdebatan tentang kesesuaian tradisi ini dengan syariat Islam. Mispa terkadang dianggap menggeser makna haji dari ibadah murni menjadi barang prestise yang dipamerkan untuk keuntungan sosial.
Beberapa praktik dianggap sesuai syariat, sementara yang lain belum sejalan. Ada kritikan terkait pakaian yang terlalu mencolok dengan ragam perhiasan yang bisa menimbulkan riya atau terlalu transparan karena tidak memenuhi adab berpakaian Islam.
Walaupun kini tren busana modern ikut memengaruhi, Mispa tetap dipakai oleh banyak jemaah perempuan Bugis saat pulang haji sebagai ungkapan adat dan rasa syukur mereka. Ma’mispa dianggap sebagai warisan kearifan lokal yang penting bagi perempuan Bugis pasca-haji.
Evolusi Mispa ini mencerminkan globalisasi budaya, di mana tradisi lokal yang dulu jadi simbol identitas kuat kini ditantang pengaruh luar dan dampak perubahan norma sosial. Semua itu gambaran umum bagaimana budaya menghadapi zaman modern. Tradisi harus beradaptasi agar tetap hidup, sambil berusaha menjaga makna dan sejarahnya.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi