Menuju konten utama

Skandal Penipuan Haji Zaman Kolonial dan Kejahatan Para Syekh

Penipuan terhadap jemaah haji yang hendak pergi ke Makkah bukan hal baru. Di Indonesia, ini telah terjadi sejak ratusan tahun silam.

Skandal Penipuan Haji Zaman Kolonial dan Kejahatan Para Syekh
Calon jemaah haji berangkat dari pelabuhan Tanjung Priok;1925. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Penipuan terhadap calon jemaah yang hendak pergi ke tanah suci banyak terjadi di Indonesia. Kasus First Travel adalah salah satu contoh terbesar. Media ini dua kali menurunkan laporan investigasi tentang kasus tersebut, yaitu pada 11 Agustus 2017 dan 13-14 September 2018.

Para calon jemaah pun marah dan merongseng. Namun, uang mereka tetap tak kembali. Niat suci telah menguras pundi-pundi, tapi balasan yang diterima malah dizalimi para agen yang tak tahu diri.

Ratusan tahun silam, modus operandi hampir serupa kerap terjadi. Pada zaman ketika berangkat ke tanah suci adalah persoalan hidup dan mati, para agen tak peduli; mereka tetap menipu para calon jemaah haji.

Agen zaman dulu dikenal dengan sebutan "syekh" atau "syekh haji". Mereka bekerja memandu dan mengurus seluruh perjalanan dan tempat tinggal para jemaah. Para syekh tersebar di Indonesia dan Singapura. Dalam catatan Jacob Vredenbregt yang dihimpun di buku Indonesia dan Haji (1997), sejak dulu Singapura menjadi titik penting dalam rute Indonesia-Arab, dan menjadi pelabuhan embarkasi bagi jemaah haji dari sejumlah daerah.

Lebih lanjut Vredenbregt menerangkan, di Singapura terdapat syekh dependen dan independen. Syekh dependen bekerja untuk syekh yang ada di Makkah. Mereka dibekali sejumlah uang untuk membayar di muka beberapa premi untuk jemaah haji yang menjadi konsumennya.

Sementara syekh independen mengeluarkan uang sendiri untuk menanggung sejumlah biaya di muka, lalu mereka menyerahkan jemaah haji kepada syekh di Mekah yang menawar mereka dengan harga tertinggi.

Di Indonesia, para syekh berada di kota-kota bandar haji seperti Makassar, Surabaya, Jakarta, Palembang, Sabang, dan Teluk Bayur. Untuk menggaet para calon jemaah haji yang berada di pedalaman, mereka bekerja sama dengan tokoh-tokoh keagamaan berpengaruh, yakni para kiai, naib, penghulu, dan ustaz.

Para ustaz bekerja layaknya calo. Mereka menasihati calon jemaah haji untuk pergi dengan memanfaatkan jasa syekh tertentu agar mereka mendapatkan uang dari syekh tersebut.

Dalam Ordonansi Haji 1898 tidak tercantum ketentuan tentang tiket kapal. Artinya, tidak ada aturan yang mengharuskan jemaah haji untuk membeli tiket kapal dari para syekh. Kondisi ini dimanfaatkan para calo yang berkolusi dengan syekh untuk menipu para jemaah yang mayoritas lugu.

Saat kapal-kapal haji singgah di pelabuhan transit untuk mengangkut para jemaah, mereka yang belum mempunyai tiket seolah-olah ditolong para calo yang membelikan tiket. Namun, dengan alasan banyak permintaan, mereka menaikkan harga tinggi sehingga menguras uang para jemaah.

Contoh kasus lain terjadi di Karesidenan Kedu. Para calo datang menjemput bola. Mereka mendatangi para calon jemaah haji menawarkan jasanya untuk membelikan tiket meskipun menurut maskapai pelayaran tidak banyak kursi yang tersedia di kapal yang akan ditumpangi. Tiket dinaikkan berkali lipat dari harga biasanya.

Haji Singapura dan Kapal Barang

Banyak calon jemaah haji dari Hindia Belanda yang ingin pergi ke tanah suci, tapi keuangan mereka belum mencukupi. Kondisi ini dimanfaatkan para syekh dengan membujuk mereka untuk tetap pergi ke Mekah. Dan kenyataannya mereka hanya menjadi mangsa.

Saat orang-orang yang berduit pas-pasan itu tiba di Singapura, mereka ditelantarkan. Bila mereka terus diantarkan sampai ke tanah suci, para syekh tentu saja akan merugi dan memang tidak diniatkan demikian. Menurut Kees van Dijk dalam “Perjalanan Haji Indonesia” yang dihimpun di buku Indonesia dan Haji, sebagian besar malah diperas terus-menerus dengan dijanjikan akan tetap diberangkatkan ke Mekah. Namun, janji tinggal janji. Uang habis dan mereka tak bisa melanjutkan perjalanan.

Agar tak malu ketika pulang ke kampung, para calon jemaah yang masih punya uang akhirnya membeli surat keterangan di Singapura yang isinya menyatakan bahwa mereka telah melaksanakan ibadah haji di Mekah. Mereka kemudian dijuluki “Haji Singapura”.

Sementara para calon jemaah haji lainnya yang kehabisan bekal dan terdampar di sejumlah pelabuhan seperti Palembang, Padang, dan Aceh melanjutkan perjalanan dengan usaha mereka sendiri. Biasanya, mereka bekerja mengumpulkan uang selama satu sampai dua tahun atau lebih.

Dien Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008) memberi contoh untuk kasus ini yakni rombongan calon jemaah haji asal Jawa dan Madura yang disebut “Haji Jawa”. Setelah berhasil mengumpulkan uang, mereka menumpang kapal barang yang menuju ke Singapura atau Penang selanjutnya ke Eropa, dan negeri Arab hanya pelabuhan transit bongkar-muat barang. Kapal ini tentu saja tidak layak bagi perjalanan haji. Demi niat suci, mereka mencoba bertahan di kapal barang tersebut meski menderita.

“Kamar tidur tidak tersedia, toilet tidak memadai, bahkan harus memasak sendiri kecuali hanya untuk awak kapal. Ironisnya perlakuan awak kapal kurang bersahabat dengan para jemaah atau penumpang. Bahkan tidak jarang awak kapal melakukan penipuan dengan berbagai cara untuk mendapatkan uang atau barang penumpang itu,” tulis Majid.

Ia menambahkan, para calon jemaah haji itu tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah menerima keadaan. Tak ada tempat mengadu. Juga karena mereka tidak dibekali pengetahuan yang memadai sebelum pergi ke tanah suci.

“Ketidaktahuan para calon jemaah haji atas bekal apa yang harus dibawa, antara lain masalah jumlah nilai uang yang dibutuhkan, keselamatan di perjalanan, membuat perjalanan haji itu menjadi suatu perjuangan antara hidup dan mati,” tulisnya.

Saat mereka berjuang di atas kapal barang dengan segala penderitaannya demi mencapai tanah suci, jemaah haji lain yang hanya sampai ke Singapura justru telah menyandang gelar haji. Ya, “Haji Singapura”.

Infografik HL Indepth Haji

Pelecehan Seksual dan Neraka Karantina

Bagi sebagian besar jemaah yang naik kapal haji dan sampai ke Jeddah lalu melanjutkan ke Makkah, perjalanan bukan berarti mudah, terutama bagi para jemaah haji perempuan. Mereka kerap dilecehkan bahkan diperkosa oleh syekh haji atau muthawif—orang-orang yang seharusnya membimbing dan melindungi jemaah haji.

Dalam Lijst van Pelgrimssjeich, 1931-1932, arsip Konsulat Belanda di Jeddah, seperti dikutip Tika Ramadhini, peneliti di Zentrum Moderner Orient, Berlin, pada kolomnya untuk media ini, sempat terjadi kasus pemerkosaan pada 1927-1930. Pelaku pemerkosaan tersebut adalah seorang muthawif bernama Muhammad Magelang yang menggagahi tiga jemaah haji perempuan.

Lebih lanjut Tika menyatakan bahwa pelecehan tersebut berlangsung juga di karantina sebelum mereka memasuki Jeddah. Semua jemaah yang menjalani pengobatan serta pemeriksaan kesehatan diwajibkan mandi.

“Perempuan-perempuan setengah telanjang harus menuju tempat pemandian ditatap oleh mata para petugas yang jelalatan sekan-akan jemaah perempuan adalah tontonan,” tulisnya mengutip Bendera Islam edisi 12 Agustus 1926.

Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007) menjelaskan bahwa sejak 1873, kapal haji yang berangkat dari sejumlah tempat termasuk Hindia Belanda wajib singgah di stasiun karantina di Laut Merah. Mereka dikarantina selama 3 sampai 5 hari, tergantung statusnya.

Pada 1914, tambah Putuhena, Conseil Superieur de Sante di Konstantinopel menyatakan bahwa Surabaya dan Batavia terjangkit pes, sementara Semarang juga diduga terjangkit penyakit tersebut. Jemaah yang berasal dari Surabaya dan Batavia dikarantina selama 5 hari, sementara jemaah dari Semarang dikarantina selama 3 hari.

Karantina-karantina tersebut tidak memadai. Pada 26 Desember 1906, karantina Abu Said yang daya tampungnya 320 orang dipadati oleh 532 jamaah. Lalu keesokan harinya bertambah lagi dengan menjejalkan 1.450 jemaah.

“Dalam kondisi seperti itu, jemaah haji yang turun dari kapal ke stasiun karantina dengan perahu yang kadang kala memerlukan waktu 2 jam, sebagian di antaranya tidak diturunkan ke darat, tapi menunggu penyelesaian administrasinya di perahu sampai sore dalam udara terbuka,” tulis Putuhena.

Kondisi tersebut juga dikeluhkan oleh penasihat kolonial Belanda urusan pribumi, Snouck Hurgronje. Dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX (1994) disebutkan, karantina-karantina itu adalah neraka karena justru membuat para jemaah menjadi lebih tidak bersih dan kesehatan mereka menjadi lebih buruk.

“Sarana untuk mendarat, ruangan dan cara-cara membersihkan kuman, tempat tinggal, pemeliharaan baik orang sakit maupun yang sehat, sedikit pun tidak ada yang memenuhi syarat paling primitif yang dapat dituntut orang. Satu-satunya pekerjaan yang dilakukan dengan ketekunan dan keahlian ialah pemungutan biaya karantina,” tulisnya.

Baca juga artikel terkait JEMAAH HAJI atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan