tirto.id - Pergi haji bukan hal yang baru bagi umat Islam di Indonesia. Sebelum pesawat terbang digunakan, pergi haji begitu berat, karena harus ditempuh dengan naik kapal selama berminggu-minggu. Setelah ada pesawat, perjalanan haji jadi lebih singkat. Mereka yang memiliki dana berlebih dan kondisi yang sehat pun kerap melakukannya lebih dari sekali.
Kepergian mereka untuk berhaji hingga berkali-kali disebabkan kerinduan mereka ke Tanah Suci, di mana mereka bisa merasa dekat dengan Allah SWT.
Kebiasaan naik haji berkali-kali ini menyumbang peningkatan jumlah jamaah yang cukup besar. Ditambah minat yang terus bertambah seiring peningkatan perekonomian masyarakat Indonesia, kuota pun semakin tak memenuhi sehingga daftar tunggu semakin panjang. Kementerian Agama Republik Indonesia sebagai penyelenggara haji pun dibuat pusing atas masalah ini. Hingga keluar Peraturan Menteri Agama nomor 29 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler. Berdasarkan ketentuan itu, jamaah bisa naik haji lagi setelah 10 tahun haji terakhirnya. Tujuannya memberikan kesempatan kepada masyarakat lain yang belum pernah menunaikan ibadah haji.
Orang-orang di Sekitar Selat Makassar
Menurut data dari Kementerian Agama per 15 Juni 2016, provinsi dengan rata-rata daftar tunggu terlama adalah Sulawesi Selatan, yakni 23,9 tahun. Terlama kedua adalah Kalimantan Selatan, 23,1 tahun. Disusul provinsi Serambi Mekkah, Nangroe Aceh Darussalam, yang ketiga, 20,7 tahun. Keempat adalah Kalimantan Timur, 19,25 tahun. Provinisi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat masa tunggunya sama-sama 19,15 tahun.
Dari enam besar daerah tersebut terdapat orang-orang Aceh, Banjar, Bugis, Makassar dan Madura yang dikenal begitu kuat akar kebudayaan Islamnya. Suku-suku tersebut dikenal juga suku yang cukup menonjol dalam perdagangan. Suku-suku pedagang itu, seringkali cukup baik perekonomiannya sehingga mereka berusaha sebisa mungkin menjalankan rukun Islam ke-5 tersebut.
Di masa lalu, Aceh termasuk daerah yang selalu dilewati ketika hendak pergi ke Tanah Suci. Hingga Aceh dianggap sebagai Serambi Mekkah. Orang-orang Aceh, yang kental kultur Islamnya, tentu punya niat besar seperti orang Islam lain untuk pergi berhaji.
Dari Sulawesi selatan, terdapat orang-orang Bugis dan Makassar. Di antara kabupaten-kabupaten di sana, Wajo disusul Bone dan lainnya adalah yang terbesar peminat hajinya. Orang-orang Bugis, selain dikenal sebagai pelaut juga dikenal sebagai saudagar juga.
Tak hanya orang-orang Bugis yang tinggal di jazirah selatan pulau sulawesi saja yang punya minat besar untuk pergi berhaji ke Tanah Suci. Melainkan juga orang Bugis yang merantau ke Riau, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat dan lainnya. Dulunya, daerah-daerah itu dianggap sebagai koloni orang-orang Bugis di luar Sulawesi Selatan.
Tidak menutup kemungkinan, para jamaah haji yang berangkat dari provinsi Kalimantan Timur, Riau dan Nusa Tenggara Barat di antaranya adalah orang-orang Bugis juga. Di daerah pesisir Kalimantan Timur, daerah yang saat ini dianggap kaya karena tambang, memang banyak berdomisili orang-orang Bugis sejak abad ke XVII. Untuk di provinsi Kalimantan Timur, banyaknya jamaah haji itu selain karena orang-orang Bugis, juga karena orang-orang Banjar dari Kalimantan Selatan, yang juga banyak merantau ke Kalimantan Timur sejak abad XVII seperti orang-orang Bugis juga.
Bagi orang Bugis, naik haji jelas hal penting. Menurut Mukhlis dan Kathryn Robinson, Agama dan Realitas Sosial (1985), bagi orang Bugis atau Makassar, naik haji punya arti tersendiri. Meski seringkali tak melulu sekadar kewajiban agama, tetapi juga terkait dengan status sosial juga. Tak menutup kemungkinan, orang-orang dari suku lain di Indonesia pun memiliki kepentingan yang sama.
Selain orang Bugis, orang-orang Banjar juga dianggap sebagai orang-orang yang gemar berhaji lebih dari satu kali. Menurut Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar (1997), “kegairahan untuk menunaikan ibadah haji di kawasan ini besar dan mungkin yang terbesar untuk seluruh Indonesia.”
Seperti orang Bugis, orang-orang Banjar pun dikenal sebagai suku pedagang di sekitar Selat Makassar. Orang-orang Banjar juga menyebar ke daerah lain. Daerah terdekat adalah Kalimantan Tengah atau Kalimantar Timur. Selain pengaruh orang Bugis, pengaruh orang Banjar pun juga mengakar bersama kebudayaan Kalimantan Timur asli, seperti Paser, Kutai, Bulungan, Berau atau Dayak. Seringkali, orang-orang Banjar tak hanya berdagang di sekitar Selat Makassar saja. Setidaknya sampai ke Sumatera.
Tak hanya orang Bugis saja yang merantau hingga ke Riau. Orang-orang Banjar juga punya koloni di Tembilahan. Jika ada rezeki, keturunan perantau Bugis atau Banjar di Riau, akan pergi berhaji. Menurut, Hamidy, dalam Indonesia, Malaysia dan Singapura di Dalam Pandangan Orang Melayu di Riau (1990), indikator harga kopra, bisa dilihat dari banyak dan tidaknya orang Banjar atau Bugis di sana naik haji.
Masih menurut Alfani Daud, di masa lalu intensitas orang Banjar yang naik haji mencapai angka 125 orang per 100.000 penduduk. Banjar urutan ke empat tertinggi di Indonesia. Orang-orang Banjar yang pulang berhaji, akan dipanggil Pa Haji jika laki-laki berumur, atau Ma Haji untuk perempuan yang sudah berumur. Meski sudah banyak orang Banjar yang sudah bergelar Haji, prestise haji di Banjar tidak berubah. Mereka masih dihormati.
Orang-orang Pulau Garam
Orang-orang Madura jelas tidak kalah religius dibanding suku lain di Indonesia. Kultur Islam pun, seperti di Sulawesi Selatan atau Kalimantan Selatan, tertanam kuat. Begitu juga mental dagangnya. Orang Madura, tergolong sebagai pedagang-pedagang yang gigih. Tak heran jika banyak orang Madura jadi saudagar kaya. Jika sudah kaya, seperti orang Bugis atau Banjar, mereka akan naik haji, kalau perlu berkali-kali juga.
Orang Madura, juga punya mental perantau. Ada yang merantau sampai ke Kalimantan, ada juga yang hanya menyeberang ke Jawa Timur bagian timur, di daerah yang kadang disebut sebagai Blambangan atau Tapal Kuda. Di daerah itu banyak bermukim orang-orang Madura. Sudah sejak ratusan tahun silam, mereka berkoloni di sana. Di antara perantau Madura ini, ikut mengisi kuota jamah haji Jawa Timur ketika musim haji.
Jika sudah berangkat haji, seperti ditulis Latief Wiyata dalam Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Seorang Madura (2002), kebiasaan orang-orang Madura yang anggota keluarganya sedang berangkat haji adalah mengadakan acara selamatan. Mereka percaya orang yang pergi berhaji bisa meninggal di Tanah Suci. Jadi, terhitung sejak berangkat hingga pulang, sekitar 40 hari pihak keluarga mengadakan acara itu setelah salat magrib.
Berhaji bukan main-main bagi orang Madura. Seperti juga orang-orang Aceh yang terkenal kuat Islamnya, ataupun juga seperti Bugis dan Banjar, orang Madura pun kerap rindu pada Tanah Suci, untuk berhaji.
“Percayalah, orang Madura tergolong orang yang paling rajin naik haji. Boleh Tanding. Rasanya kurang mantap sebagai manusia, rasanya sorga belum ada di saku kalau naik haji hanya sekali seumur hidup,” tulis Budawayan asal Jawa Timur, Emha Ainun Nadjib, dalam Folklore Madura (2005).
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti