Menuju konten utama

"Regulator dan Operator Dipisah, Beban Kemenag Tak Berat"

Menyelenggarakan haji bukan hal yang mudah di Indonesia. Kuota yang sedikit, peminat yang membludak, membuat Kementerian Agama harus memutar otak setiap tahun. Inilah saatnya pemerintah tak lagi ikut ruwet mengurusnya. Harus ada operator penyelenggara haji, sehingga pemerintah sebagai regulator tidak berperan ganda.

Anggota DPR RI Ledia Hanifa. FOTO/Doc. Pribadi

tirto.id - Sebanyak 177 jemaah haji asal Indonesia ditahan imigrasi Filipina setelah tertangkap basah menggunakan paspor negara tersebut untuk berangkat haji. Berangkat haji memanfaatkan kuota negara lain ternyata sudah lama dilakukan. Pada tahun 2008, ada warga Indonesia yang mendapat tawaran berangkat haji memanfaatkan kuota Australia.

“Saya pernah ditawarin untuk naik haji dari Australia. Modusnya sama (seperti Filipina). Pergi ke Australia urus visa liburan, dari Australia berangkat ke Arab Saudi. Pulangnya ke Australia lagi, baru balik ke Indonesia. Sebenarnya boomingnya itu tahun 2008,” kata Ledia Hanifa, anggota Komisi VIII DPR, kepada tirto.id, di Gedung DPR, pada Senin (29/8/2016).

Menurut Ledia, pada 2013, dia pernah mendapat informasi mengenai jemaah haji Malaysia yang menggunakan kuota haji Filipina yang tersisa 2.000. Bagaimana seharusnya upaya pemerintah untuk menambah kuota? Berikut wawancaranya:

Bagaimana Anda melihat tertahannya 177 jemaah haji Indonesia yang tertahan keberangkatannya di Filipina?

Saya pernah ditawarin untuk naik haji dari Australia. Modusnya sama (seperti Filipina). Pergi ke Australia urus visa liburan, dari Australia berangkat ke Arab Saudi. Pulangnya ke Australia lagi, baru balik ke Indonesia. Sebenarnya booming-nya itu tahun 2008.

Bagaimana paspor dan visanya?

Paspornya tetap Indonesia, tapi kuotanya lewat Australia. Namun sekarang tidak boleh lagi seperti itu. Pilihannya, bagaimana pemerintah melakukan lobi-lobi kepada negara-negara lain seperti Timor Leste. Sebab hampir tidak terserap lho kuota haji mereka. Kalau Filipina, masih ada sisa kuota mencapai 1.000 orang. Lumayan untuk mengurangi antrean daftar tunggu kita.

Lalu, pada tahun 2013, saya menemukan ada jemaah haji Malaysia yang menggunakan kuota haji Filipina yang saat itu tersisa 2.000. Artinya, di kawasan Asia Tenggara, kasus seperti ini bukan perkara baru. Yang ketahuan menggunakan paspor negara lain baru sekarang.

Apakah boleh berangkat haji dari Australia dengan paspor Indonesia?

Waktu itu boleh, tapi sekarang enggak dibolehkan lagi.

Tahun berapa tidak dibolehkan lagi?

Antara tahun 2009-2010 tidak dibolehkan lagi. Pada tahun 2008 sudah ada yang menggunakan kuota negara lain. Perjalanannya legal, tapi kuotanya dari Australia.

Berapa Anda harus bayar untuk berangkat menggunakan visa Australia?

Saya sudah tidak ingat.

Penawaran datang dari biro perjalanan?

Bukan agen. Itu dari teman ke teman. “Eh, katanya bisa pergi haji melalui Australia. Kalau mau hubungi ini.” Ternyata memang ada yang pergi melalui Australia. Jadi kemungkinan mencari peluang itu ada.

Tetapi memang berbahaya sekali kalau menggunakan paspor negara lain. Supaya legal, buat saja nota kesepahaman antarnegara. Kalau diplomatik lebih enak, nyaman buat jemaahnya dan nyaman buat pemerintahnya. Kalau begini kejadiannya (gunakan paspor Filipina) menambah kerjaan saja.

Kalau memang sejak 2008 sudah ada seperti di Australia. Kenapa pemerintah seolah baru merespon setelah ada kasus Filipina?

Ini akibat regulator dan operatornya dipegang dua-duanya oleh Kementerian Agama (Kemenag). Seharusnya regulator dan operator harusnya dipisah. Tapi kementerian tidak melakukan itu. Kalau hanya berperan sebagai regulator, pemerintah bisa mengawasi secara ketat penyelenggaraan haji. Kalau operator berikan ke orang lain atau swasta untuk mengurus teknisnya. Jika dipisah antara regulator dan operator, beban Kemenag tidak berat. Jadi tidak numpuk kerjaannya.

Untuk mengurangi waiting list haji, apakah ada wacana kerjasama dengan negara kawasan ASEAN?

Harus ada pertemuan diplomatik antara negara-negara ASEAN dengan Kerajaan Arab Saudi. Tujuannya membahas kuota haji di negara-negara ASEAN yang muslimnya minoritas, sehingga bisa dimanfaatkan negara-negara lain yang memiliki daftar tunggu panjang seperti Indonesia dan Malaysia.

Namun kalau dibuka hubungan diplomatik dengan negara ASEAN, maka Malaysia sudah lebih dahulu menggunakannya. Sebab antrean Malaysia lebih panjang dibandingkan Indonesia. Mereka itu 70 tahun daftar tunggunya. Kan terobosan menggunakan kuota negara lain dibuat oleh jemaah Malaysia. Memang terobosannya enggak benar, tapi antrean yang panjang membuat orang menggunakan berbagai cara dan ini sangat menggoda.

Kalau nota kesepahaman dengan negara yang memiliki sisa kuota haji bagaimana?

Ini langkah yang harus segera diatasi oleh pemerintah. Mungkin nota kesepahaman antara Indonesia dan Filipina atau negara lain dilakukan secara bertahap. Sebab, siapa tahu tahun depan jemaah Filipina meningkat? Kalau melalui kawasan, pasti Malaysia lebih dulu yang menggunakan kuotanya karena antrean mereka panjang. Timor Leste juga bisa kita ajak kerjasama, karena kuota mereka tidak terserap dengan optimal.

Permen Nomor 29 tahun 2015 menyebutkan, bahwa orang yang sudah haji hanya boleh melakukan haji kedua setelah 10 tahun. Tetapi dalam prakteknya kok ada yang bisa berangkat meski belum sepuluh tahun?

Kalau menurut saya, mungkin disebabkan masalah data di “Sistem Komputerisasi Haji Terpadu” (Siskohat) di Kementerian Agama. Misalnya, ganti nama sedikit dari Ahmad menjadi Achmad, sehingga jemaah haji tersebut lolos dari sistem. Saya berharap memanfaatkan E-KTP atau single identitas untuk pengurusan ini. Kalau menggunakan E-KTP, bakal ketahuan kapan dia pergi dan pulang.

Sebab selama ini pemerintah hanya menggunakan nama, tempat tanggal lahir dan alamat tinggal dalam Siskohat. Bahkan orangnya pindah ke mana tidak terdeteksi sama sistem. Jadi sepanjang Siskohat belum diperbaiki, maka kasus tersebut akan terus terulang.

Kalau menggunakan NIK e-KTP, enggak mungkin mereka bisa kembali menjadi calon haji karena sudah pernah berangkat haji. Bakal bagus sekali kalau sitem e-KTP masuk ke Siskohat. Keluhan juga terjadi ketika masyakarat mau membayar di bank. Sebab nama di bank dengan Kementerian Agama tidak sama, maka pembayaran dana haji tidak bisa dilakukan sehingga terjadi penundaan. Ini harus diatasi secara cepat.

Baca juga artikel terkait HAJI atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti