tirto.id - Meskipun jadi kontroversi, pemerintah tetap memberi gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto pada Senin (10/11/2025). Pemerintah menjelaskan tak ada persoalan hukum dari pemberian gelar tersebut.
Pemberian gelar pahlawan nasional kepada tokoh pemuncak Orde Baru itu dilakukan di Istana Negara, Jakarta. Presiden Prabowo menyerahkan secara langsung gelar tersebut kepada ahli waris Presiden RI ke-2 itu.
Sebelumnya, gelar pahlawan nasional untuk Soeharto telah diputuskan pemerintah melalui Keputusan Presiden(Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 yang ditandatangani oleh bekas menantu daripada Soeharto, Prabowo Subianto.
Hal itu dilakukan pemerintah meskipun pemberian gelar tersebut dianggap kontroversial oleh sejumlah pihak. Tak sedikit yang mengkritik keputusan tersebut.
Penjelasan Pemerintah Kenapa Tetapkan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional
Penjelasan pemerintah tentang penetapan Soeharto jadi pahlawan nasional diutarakan Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon.
Dalam keterangannya pada Senin, petinggi partai Gerindra itu menjelaskan bahwa penetapan gelar pahlawan nasional itu telah melalui proses panjang dan tidak mengandung persoalan hukum.
"Sebagaimana itu dari bawah tadi, sudah melalui suatu proses. Tidak ada masalah hukum, tidak ada masalah hal-hal yang lain," ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, dikutip dari Antara.
Fadli Zon juga menyatakan bahwa Dewan GTK menilai Soeharto punya jasa dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan nasional.
Jasa itu dijelaskan Fadli Zon sebagai keterlibatan Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret, pertempuran Ambarawa, pertempuran Semarang, dan Operasi Mandala di Irian Barat.
Tak hanya itu, Fadli Zon juga menyebut Dewan GTK yang ia pimpin menilai bahwa program pembangunan lima tahunan (Repelita) dan pengentasan kemiskinan sebagai nilai tambah.
Menteri Kebudayaan itu juga menyebut keterlibatan Soeharto dalam menghentikan pemberontakan G/30/S sebagai jasa.
"Juga pada waktu itu menghentikan pemberontakan yang dilakukan melalui gerakan 30 September PKI," tuturnya.
Sementara itu, terkait dugaan korupsi yang selama ini menyeret nama Soeharto, Fadli Zon menyatakan bahwa proses hukum atasnya telah tuntas. Kata Fadli Zon, Soeharto dinyatakan tidak terkait dengan tuduhan korupsi.
"Yang terkait dengan kasus-kasus itu kan pasti sudah ada proses hukumnya. Misalnya apa yang dituduhan? Semua ada proses hukumnya, dan proses hukum itu sudah tuntas dan itu tidak terkait dengan Presiden Soeharto," katanya.
Proses hukum terkait dugaan korupsi Soeharto selama menjabat 32 tahun sebagai presiden memang telah dianggp tuntas oleh negara, namun tidak melalui proses peradilan.
Sebelumnya, pada 8 Agustus 2000, Kejaksaan Agung resmi mendakwa Soeharto telah menggelapkan uang negara sebesar 419 juta dolar AS melalui tujuh yayasan yang dimiliki Soeharto bersama kroninya.
Akan tetapi, proses peradilan atas kasus tersebut terkatung-katung. Atas alasan kesehatan, Soeharto tidak pernah diadili dalam pengadilan atas dugaan itu.
Kasus itu kemudian dianggap tuntas setelah Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3). Melalui surat itu, tuntutan atas dugaan kasus korupsi Soeharto dihentikan.
Alasan Kejaksaan Agung menerbitkan surat itu ialah kondisi kesehatan Soeharto yang dinilai sudah tidak mampu lagi memberikan keterangan dan pembelaan di persidangan akibat stroke.
Kemudian, ketika Soeharto meninggal pada 27 Januari 2008, dugaan kasus korupsi yang menjerat Soeharto terhenti sepenuhnya.
Kontroversi Soeharto Jadi Pahlawan Nasional
Pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto menimbulkan kontroversi di masyarakat. Tak sedikit yang melihat keputusan pemerintah itu secara sinis.
Salah satunya adalah Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus.
"Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan pahlawan nasional," tutur Gus Mus pada Rabu (5/11), dikutip dari situs resmi NU.
Kiai NU yang juga budayawan itu menilai Soeharto telah memimpin pemerintahan yang merepresi umat Islam di Indonesia. Menurutnya, banyak ulama pesantren yang diperlakukan tidak adil selama kepemimpinan Soeharto.
"Banyak iai yang dimasukin sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang, yang suruh dipasang banyak dirobohin oleh bupati-bupati. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri akhirnya keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar," katanya.
Rais Aam PBNU 2014-2015 itu juga menyatakan bahwa orang NU yang ikut menyetujui pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sebagai orang yang tidak tahu sejarah.
"Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah," katanya.
Serupa dengan Gus Mus, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menilai Soeharto tak pantas menerima gelar pahlawan nasional karena rekam jejaknya pada masa lalu.
Kepala Divisi Advokasi ICW, Egi Primayogha, menyatakan bahwa pemberian gelar kepada Soeharto merupakan tanda pemerintah mengkhianati agenda reformasi.
"Pemberian gelar pahlawan merupakan simbol kematian reformasi. Setelah 27 tahun, perlahan tapi pasti, reformasi masuk ke liang lahat," kata Egi dalam keterangannya pada Senin.
Bertentangan dengan Fadli Zon, Egi menyatakan bahwa proses hukum atas dugaan korupsi Soeharto belum tuntas hingga kini.
"Soeharto tidak pernah diadili atas kejahatan yang dilakukan. Penegakan hukum kejahatan korupsi yang Soeharto lakukan bersama kroni-kroninya tidak pernah dituntaskan," katanya.
Sebelum gelar pahlawan nasional resmi diberikan kepada Soeharto pada Senin, penolakan juga sudah dilakukan sejumlah pihak.
Salah satunya adalah Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas). Dalam surat terbukanya untuk Fadli Zon tertanggal 30 Oktober 2025, Gemas menilai Soeharto tidak pantas menyandang gelar tersebut.
Surat yang ditandatangani oleh 185 lembaga dan 256 individu itu menjelaskan ada banyak alasan mengapa Soeharto dinilai tak layak.
Salah satu alasannya, pemerintahan Soeharto selama Orde Baru dinilai Gemas menunjukkan pola kekuasaan otoriter dan represif. Hal ini "mengakibatkan terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia, mulai dari pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, hingga perampasan tanah dan diskriminasi sosial yang sistematis".
Gemas juga menyitir hasil penyelidikan Komnas HAM tentang sembilan pelanggaran berat HAM yang terjadi di bawah kepemimpinan Soeharto.
Sembilan pelanggaran berat HAM tersebut termasuk Pembantaian 1965-1966; Penembakan Misterius (1982-1985); Peristiwa Talangsari (1989); Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998); Penghilangan Orang secara Paksa (1997-1998); dan Peristiwa Mei 1998.
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Dicky Setyawan
Masuk tirto.id


































