tirto.id - Setiap tanggal 10 November masyarakat Indonesia memperingati Hari Pahlawan Nasional. Hari ini pula Istana Negara mengumumkan secara resmi nama-nama Pahlawan Nasional baru, termasuk Sultan Muhammad Salahuddin.
Sebelumnya, pada awal November 2025, beredar kabar bahwa Sultan Muhammad Salahuddin diakui sebagai tokoh yang memberikan kontribusi besar bagi Republik Indonesia. Namanya pun masuk dalam deretan usulan Pahlawan Nasional tahun 2025.
Kini, bertepatan dengan tanggal 10 November yang diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional, Sultan Muhammad Salahuddin ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional.
Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang belum mengenal Pahlawan Nasional Sultan Muhammad Salahuddin. Simak profilnya berikut ini.
Profil Sultan Muhammad Salahuddin Pahlawan Nasional 2025
Sultan Muhammad Salahuddin lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat, pada 15 Zulhijjah 1306 H atau 14 Juli 1889. Dia merupakan putra Sultan Ibrahim (Sultan XIII) dengan permaisurinya, Siti Fatimah binti Lalu Yusuf Ruma Sakuru.
Muhammad Salahuddin memiliki saudara berjumlah 11 orang. Sebanyak tiga di antaranya merupakan saudara seayah-seibu, yakni Abdullah (Ruma Haji), Abdul Qadim (Ruma Siso), dan Nazaruddin (Ruma Uwi).
Sepanjang hidupnya, Muhammad Salahuddin beberapa kali menjalani biduk rumah tangga. Ia pertama kali menikah dengan Siti Maryam binti Muhammad Qurays, Perdana Menteri Bima. Dirinya kemudian menikah lagi dengan Siti Aisyah, putri Muhammad Sirajuddin (Sultan Dompu).
Dalam pernikahan pertamanya dengan Siti Maryam binti Muhammad Qurays itu dia dianugerahi lima orang putri. Di antaranya, yakni Siti Fatimah Paduka Putri, Siti Aisyah, Siti Hadijah, Siti Kalisom, dan Siti Saleha.
Sementara itu, dari pernikahannya dengan Siti Aisyah putri Sultan Dompu, dia memperoleh seorang putra bernama Abdul Kahir (Sultan Abdul Kahir II). Selain itu, lahir juga tiga putri bernama Siti Maryam, Siti Halimah, dan Siti Jahara.
Semasa kanak-kanak, Muhammad Salahuddin telah mendapatkan pendidikan agama dan ilmu pemerintahan. Ilmu itu dia peroleh dari ulama dan para pejabat istana. Selain itu, dia juga menekuni ilmu tauhid, ilmu siasat (politik) serta ilmu Al-Qur'an dan hadis.
Tak hanya pendidikan dari ulama setempat, Muhammad Salahuddin juga berguru pada ulama yang didatangkan dari Batavia (Jakarta) bernama H. Hasan dan dari Mekah bernama Syekh Abdul Wahab.
Sebagai pembelajar, ia dikenal sebagai murid yang rajin, cerdas, dan gemar membaca. Hal ini tampak dari perpustakaan pribadinya yang sarat buku-buku bermutu karangan ulama besar, salah satunya Imam Syafi'i. Koleksi buku-bukunya dapat dilihat di Museum Samparaja, Bima.
Tak hanya membaca, Muhammad Salahuddin juga gemar menulis. Salah satu buku karangannya berjudul Nurul Mubin yang disunting dari kitab terdahulu pada masa Sultan Abdul Qadim pada abad ke-18. Kitab ini membahas tentang itikad Islam dan dua kalimat syahadat dan menjadi salah satu pedoman ilmu Islam di masanya.
Pada 2 November 1899, Muhammad Salahuddin diangkat menjadi “Jena Teke” atau Putra Mahkota oleh majelis adat. Kemudian, pada 23 Maret 1908, dirinya pun diangkat menjadi “Jeneli Donggo” atau jabatan setingkat camat.
Setelah ayahnya mangkat pada 1915, Muhammad Salahuddin pun memegang kendali pemerintahan. Tahun 1917, dirinya secara resmi menjadi Sultan Bima XIV yang memerintah selama 1915-1951 M.
Di samping menjadi Sultan, pada 1949 dia diangkat menjadi pemimpin Dewan Raja-Raja se-Pulau Sumbawa. Hal ini atas persetujuan Sultan Dompu dan Sultan Sumbawa.
Pada 1921, Muhammad Salahuddin mencanangkan sistem pendidikan modern dengan mendirikan HIS di Kota Raba dan selanjutnya Sekolah Kejuruan Wanita pada 1922. Pada tahun yang sama, dia mendirikan sekolah agama dan umum di seluruh kejenelian atau kecamatan.
Selain itu, salah satu kebijakan Muhammad Salahuddin yang patut dihargai adalah memberikan beasiswa. Beasiswa ini ditujukan kepada pelajar yang berprestasi untuk belajar ke Makassar dan kota-kota besar di Jawa. Bahkan, ada yang dikirim ke Timur Tengah.
Muhammad Salahuddin adalah seorang pendidik dan pembaharu sosial. Dia paham bahwa kekuatan sejati sebuah bangsa diukur dari tingkat kecerdasan rakyatnya, bukan semata dari luas wilayah atau besarnya kekuasaan.
Pembaca yang ingin membaca artikel sejenis terkait dengan Pahlawan Nasional dapat mengakses tautan berikut ini.
Penulis: Umu Hana Amini
Editor: Wisnu Amri Hidayat
Masuk tirto.id







































