Menuju konten utama
Mozaik

Al-Qur'an dan Keris Jadi Saksi Sumpah Setia Sultan Bima pada VOC

Setelah Kesultanan Gowa-Tallo runtuh, Sultan Bima melakukan pelayaran ke Makassar untuk menemui petinggi Kompeni dan menyatakan sumpah setia.

Al-Qur'an dan Keris Jadi Saksi Sumpah Setia Sultan Bima pada VOC
Istana Kesultanan Bima; 1940. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Bima merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah berdiri di Pulau Sumbawa dan menjadi kekuatan Islam yang terkemuka di Kepulauan Nusa Tenggara.

Hingga abad ke-19, sebagaimana disebut L.J. van Dijk dalam "De Zelfbesturende landschappen in de Residentie Timor en Onderhoorigheden" (1925), cakupan wilayah kerajaan ini meliputi setengah Pulau Sumbawa bagian timur serta pulau-pulau kecil di sekitar Selat Alas hingga menyeberang sampai ke Manggarai di Pulau Flores.

Terlepas dari berbagai kemegahan yang menyertai sejarahnya, Kesultanan Bima selayaknya kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, pada suatu masa harus bertekuk lutut pada kekuatan VOC atau Kompeni.

Sejak kejatuhan Kesultanan Gowa-Tallo di Tanah Celebes, beberapa vasal negeri itu yang tersebar hampir di seluruh Indonesia timur menjadi kocar-kacir. Kesultanan Bima di sisi lain merupakan salah satu yang paling dekat dengan Gowa-Tallo, karena selain memiliki hubungan politik keduanya juga terikat hubungan dinasti.

Seperti disampaikan Henri Chambert-Loir dkk. dalam Iman dan Diplomasi: Serpihan Kerajaan Bima (2010), delapan Sultan Bima paling awal semuanya menikahi putri dari Kesultanan Gowa-Tallo dan keturunan dari pernikahan politik itu senantiasa berkuasa di Bima.

Chambert-Loir dkk. juga menyampaikan bahwa perubahan fundamental kemudian terjadi di masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah (1773-1817), yakni ketika ia memilih untuk tidak lagi menikahi putri dari Tanah Sulawesi. Bukan sekadar pilihan jodoh, lebih dari itu, hal ini menunjukkan perlawanan sang sultan atas dominasi Gowa-Tallo sekaligus memperlihatkan keberpihakannya dalam menentukan arah kemudi politik Kesultanan Bima, yakni menuju Kompeni.

Menurut Tawalinuddin Harris dalam "Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa" (2006), Sultan Abdul Hamid naik takhta menggantikan ayahnya, Sultan Abdul Kadim (1751-1773), yang pada beberapa dekade sebelumnya menetapkan perjanjian kesetiaan terhadap VOC bersama dengan enam raja Pulau Sumbawa lainnya pada 1765. Hadirnya perjanjian ini merupakan konsekuensi dari perjanjian sebelumnya, yakni Perjanjian Bongaya 1667.

Awalnya, Kompeni menetapkan bahwa vasal-vasal Kesultanan Gowa-Tallo di Pulau Sumbawa terdiri atas Bima, Dompo, Tambora, Sumbawa, Sangar, dan Papekat, menyetujui untuk membuka konsesi monopoli dagang yang diberlakukan di kepulauan tersebut akibat mereka membantu Sultan Hasanuddin dalam Perang Makassar. Konsesi dagang antara raja-raja di Sumbawa dengan Kompeni itu lantas bertransformasi menjadi perjanjian persekutuan 1765, yang mana secara resmi raja-raja Sumbawa merupakan bagian yang integral dari kepentingan Kompeni.

Salah satu dari 21 poin perjanjian yang diteken oleh raja-raja Sumbawa pada tahun 1765 adalah setiap terjadi pergantian kekuasaan harus diketahui dan atas persetujuan Kompeni. Poin perjanjian itu tampaknya tidak begitu dikhawatirkan oleh Kesultanan Bima dan bahkan dianggap menjadi latar belakang dari suatu "ritual" yang dianggap istimewa.

Ritual itu adalah sumpah setia dengan berlayar ke Makassar demi menemui Gubernur VOC wilayah Celebes. Setidak-tidaknya hal inilah yang digambarkan dalam naskah Syair Kerajaan Bima. Sang penulis naskah menceritakan betapa megahnya pelayaran Sultan Abdul Hamid ke Makassar dalam rangka memenuhi sumpah setianya pada Kompeni.

Pelayaran Kesetiaan

Muhibah Sultan Abdul Hamid ke Makassar terjadi pada pertengahan tahun 1792. Menurut Henri Chambert-Loir dkk. dalam Iman dan Diplomasi: Serpihan Kerajaan Bima (2010), selain menunjukkan tanda setia, tujuan Abdul Hamid ke Makassar juga untuk memenuhi undangan peradilan dari Gubernur Celebes, Willem Beth.

Beberapa tahun sebelum keberangkatannya ke Makassar, Sultan Abdul Hamid menghadapi kudeta yang dilancarkan oleh jeneli (penguasa daerah) dari Sape. Sang jeneli yang sebenarnya masih kerabatnya itu menganggap bahwa ia lebih sah menjadi suksesi Sultan Abdul Kadim.

Kudeta itu gagal, karena Abdul Hamid berhasil membasmi pemberontakan secara tegas. Akibat kekalahannya, Jeneli Sape melarikan diri ke Manggarai untuk mencari perlindungan dan berikutnya mengasingkan diri ke Makassar. Di tengah kemelut inilah Kompeni hendak mendamaikan kedua pihak yang berseteru itu.

Kembali ke cerita pelayaran Abdul Hamid, kapal yang mengantar sang sultan berlayar dari Pelabuhan Waworada. Ia berangkat pukul tanggal 16 April pukul 11 siang ke Makassar. Dari sana ia berlayar ke utara dan beberapa kali diterjang badai.

Dalam perjalanannya, Abdul Hamid mengunjungi "kuburan laut" salah satu leluhurnya, yakni Jane Luma Bolo. Setelah 13 hari berlayar, akhirnya sang sultan tiba di Pelabuhan Galesong di Pulau Sulawesi dan melanjutkan perjalanan ke Makassar hingga tiba di sana tanggal 7 Mei.

Sesampainya di Makassar, ia langsung disambut meriah oleh para pejabat Belanda. Keesokan harinya Abdul Hamid baru akan menghadap Gubernur Beth setelah kapalnya yang membawa hadiah mendarat. Namun pertemuan itu rupanya baru berlangsung empat hari kemudian lantaran sang sultan terlebih dahulu diarak keliling Kampung Baharu.

Pada 12 Mei pukul 9 pagi, Abdul Hamid menghadap Gubernur Beth di rumahnya dan menyerahkan sepuluh orang budak serta lima pikul lilin. Dua hari kemudian ia baru dipersilakan untuk bertemu dengan Jeneli Sape dan ia tak mau mengampuninya. Setelah itu, sang sultan menghabiskan waktu mengunjungi berbagai tempat, termasuk ke pasar, pelabuhan, dan pecinan.

Lalu hari yang ditunggu pun datang. Menurut Syair Kerajaan Bima, upacara pengucapan ikrar kesetiaan Abdul Hamid kepada Kompeni dilaksanakan pada tanggal 26 Mei 1792. Upacara itu digelar di Benteng Rotterdam, di hadapan seluruh pejabat Kompeni, termasuk syahbandar, pendeta, dan bangsawan-bangsawan pribumi.

Abdul Hamid merentangkan tangannya di atas Al-Qur'an dan mengucapkan sumpah setia terhadap Kompeni. Setelah itu sang sultan menghunus keris dan mencelupkannya pada air di dalam wadah lantas meminum air tersebut. Henri Chambert-Loir dalam komentarnya terhadap Syair Kerajaan Bima (1985) menyebut bahwa ritual itu persis seperti yang dilakukan oleh raja-raja Bugis dihadapan Cornelis Speelman setelah kekalahan Gowa-Tallo sewaktu Perang Makassar.

Konon, barang siapa yang meminum rendaman kerisnya sesudah bersumpah, maka ia akan mati apabila melanggar sumpahnya sendiri. Setelah upacara itu, Sultan Abdul Hamid melanjutkan aktivitas kunjungannya ke Makassar dengan bertemu dengan Kapiten Melayu serta bangsawan-bangsawan Bugis terpandang.

Gubernur sangat menyukai Sultan Abdul Hamid, sehingga ia terus-terusan ditahan saat hendak pulang ke Bima. Namun setelah sang sultan mengeluh karena mulai kehabisan logistik, akhirnya ia diperbolehkan pulang.

Sultan Abdul Hamid baru meninggalkan Pulau Sulawesi lewat Panakukang pada tanggal 20 Juni dengan upacara pelepasan yang megah berupa tembakan penghormatan meriam dan gamelan.

Baca juga artikel terkait KESULTANAN BIMA atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi