tirto.id - Dari gugusan pulau di Nusa Tenggara, lamat-lamat terdengar kisah perlawanan seorang raja terhadap orang-orang asing yang datang untuk menjajah. Sultan Jamaluddin, nama raja itu, adalah pemimpin Kesultanan Bima, salah satu kerajaan Islam di Sumbawa Timur.
Sejak naik takhta pada 1687—umurnya baru sekitar 14 waktu itu—Sultan Jamaluddin kerap menentang kehendak Belanda. Sang raja belia rupanya jengah dengan kelakuan VOC yang berambisi menguasai perdagangan di Sumbawa. Selain itu, orang-orang kompeni juga kerap mencampuri urusan internal kerajaan.
Hingga akhirnya, Sultan Jamaluddin kena jebakan orang-orang Belanda. Ia difitnah atas tuduhan pembunuhan bibinya sendiri. Sang sultan pun diseret ke pengadilan, lalu dibui di Makassar dan Batavia, hingga mengembuskan napas penghabisan di dalam penjara pada 1696 dalam usia yang masih muda, 23 tahun.
Kerajaan Bima: Dari Hindu ke Islam
Sebelum abad ke-17 Masehi, di Sumbawa (kini termasuk wilayah NTB) masih berdiri sejumlah kerajaan Hindu, termasuk Kerajaan Bima. Peter Truhart dalam Regents of Nations, Part 3: Asia-Pacific and Oceania (2003) memperkirakan, Kerajaan Bima fase Hindu mulai berdiri pada awal abad ke-13. Wilayah kekuasaannya mencakup Sumbawa, Sawu, Solor, Sumba, Larantuka, Ende, Manggarai, Komodo, dan lainnya.
Pengaruh Islam di Bima datang dari Sulawesi Selatan, tepatnya dari Kesultanan Gowa-Tallo dengan pusatnya di Makassar. Kehadiran Gowa-Tallo di Bima bermula dari persaingan dengan VOC yang telah menguasai sebagian besar jalur perdagangan di kawasan perairan Nusa Tenggara.
Seperti diungkap Didik Pradjoko dan kawan-kawan dalam Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia (2013), Kesultanan Gowa-Tallo pun mengirim ekspedisi untuk menyaingi Belanda. Sebagian kerajaan di kepulauan tersebut akhirnya ditaklukkan, termasuk wilayah Kerajaan Bima yang saat itu belum menganut Islam (hlm. 231).
Tahun 1620, Kerajaan Bima resmi menjadi kesultanan, dipimpin oleh raja dengan menyandang gelar sultan. Islam pun menjadi agama resmi. Raja Islam pertama di Bima adalah Ruma-ta Ma Bata Wadu yang kemudian bergelar Sultan Abdul Kahir I.
Islam membuat relasi antara Bima dan Gowa-Tallo kian mesra, termasuk lewat ikatan perkawinan. Abdul Kahir I pun demikian. Dikutip dari Tawalinuddin Haris dan kawan-kawan dalam Kerajaan Tradisional di Indonesia: Bima (1997), Abdul Kahir I menikahi Daeng Sikontu, adik ipar Sultan Alauddin (1593-1639), penguasa Gowa-Tallo. Sultan Alauddin adalah Raja Gowa-Tallo pertama yang memeluk agama Islam (hlm. 55).
Jamaluddin merupakan cicit Abdul Kahir I. Ia adalah pemimpin Bima yang ke-4 setelah menjadi kerajaan Islam. M. Hilir Ismail dalam Kebangkitan Islam di Dana Mbojo (1988) menyebut, Jamaluddin mengawini Fatimah Karaeng Tanatan, anak perempuan Karaeng Bisei, salah satu putra Sultan Hasanuddin. Artinya, Fatimah adalah cucu raja yang berjuluk Ayam Jantan dari Timur itu.
Antara Kesultanan Bima dengan trah Hasanuddin sendiri sebelumnya telah terjalin ikatan. Kakek Jamaluddin yakni Abil Khair Siradjuddin (Sultan Bima ke-2, memerintah 1640-1682) menikahi Karaeng Bonto Je’ne yang merupakan adik kandung Hasanuddin. Dari perkawinan ini lahirlah Nuruddin, Sultan Bima ke-3 (1682-1687), yang tidak lain adalah ayahanda Jamaluddin.
Anti-Belanda Sejak Belia
Perjuangan Hasanuddin dari Makassar barangkali dijadikan inspirasi oleh Jamaluddin di Bima. Sejak memerintah pada 1687 dalam usia yang masih belia, ia sudah menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Belanda. Bangsa kompeni itulah yang pada 1667 menumbangkan Hasanuddin lewat Perjanjian Bongaya.
Jamaluddin adalah putra Nuruddin yang lahir tahun 1673. Nuruddin pernah membantu perlawanan Trunojoyo dalam polemik internal wangsa Mataram. Dalam misi itu, seperti diungkap Sitti Maryam Rachmat Salahuddin dalam buku Bo' Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima (1999), Nuruddin dan pasukannya berada di Jawa selama 6 tahun, dari 1676 hingga 1682 (hlm. xviii).
Di Jawa, Nuruddin juga berhadapan dengan Belanda, bahkan pernah ditawan di Batavia namun bisa melarikan diri. Pulang ke Bima pada 1681, Nuruddin dinobatkan sebagai Sultan Bima setahun kemudian. Namun, ia hanya 5 warsa berkuasa. Pada 1687, Nuruddin wafat. Jamaluddin sang putra mahkota yang masih berusia 14 pun naik takhta.
Sejak kecil, Jamaluddin memperoleh berbagai kisah kepahlawanan dari guru-gurunya, terutama tentang perjuangan para pemimpin kerajaan Islam di Nusantara melawan penjajah. Cerita-cerita itu berkesan di hatinya dan berpengaruh ketika Jamaluddin menjadi sultan.
Maka, bukan hal yang aneh jika Sultan Jamaluddin membenci Belanda sejak dini. Pengalaman dan perjuangan yang dialami ayahnya tentu saja mempengaruhi sikap Jamaluddin ini, juga cerita-cerita perjuangan yang didengarnya, selain tingkah-polah kaum penjajah yang memang membikin resah.
Dituliskan H. Abdullah Tajib dalam Sejarah Bima Dana Mbojo (1995), Jamaluddin memerintah dalam kondisi dan situasi yang suram karena kompeni mulai menguasai perdagangan di kawasan tersebut (hlm. 161). Tak hanya itu, VOC juga berhasil mengikat kontrak politik dengan Kesultanan Bima dan kerajaan-kerajaan lain di Nusa Tenggara.
Kontrak politik itu terpaksa disepakati setelah kekalahan Sultan Hasanuddin lantaran Bima dan sejumlah kerajaan di Kepulauan Nusa Tenggara lainnya merupakan taklukan Kesultanan Gowa. Selain memonopoli perdagangan, sebagaimana dicatat Henri Chambert-Loir dalam Iman dan Diplomasi (2010), Belanda juga berhak meminta bantuan militer jika diperlukan, bahkan memperoleh hak intervensi dalam pemilihan sultan baru (hlm. 13).
Keadaan dalam belenggu inilah yang membuat kebencian Jamaluddin kepada kompeni semakin menjadi-jadi. Namun, untuk melawan secara frontal ia anggap terlalu berisiko dan berpotensi memakan banyak korban.
Jamaluddin kerap bersikap non-kooperatif, misalnya mempersulit kehendak VOC yang ingin membangun benteng maupun loji (kantor perwakilan) di wilayah Kesultanan Bima. Ia juga seringkali tidak sepakat dengan usulan Belanda dalam pemerintahannya.
Namun, terkadang Sultan Jamaluddin merasa tidak tahan dengan sikap mereka. Pernah suatu kali, ia menghunus kerisnya dan memberi peringatan keras kepada orang-orang Belanda untuk tidak mencampuri urusan kerajaannya lagi.
Difitnah, Lalu Mati Muda di Penjara
Sikap Jamaluddin yang tidak bersahabat tentu saja membuat Belanda kesal. Akan tetapi, mereka tidak bisa begitu saja menyingkirkan sang raja muda tanpa alasan yang jelas. Maka, disusunlah siasat untuk menggulingkan Jamaluddin dari takhtanya.
Petaka itu bermula dari kunjungan Jamaluddin ke kerajaan tetangga, yakni Kesultanan Dompu, pada 1691. Antara Bima dan Dompu memang terjalin kekerabatan atau masih dalam lingkaran keluarga besar.
Dalam masa lawatan tersebut, tiba-tiba terjadi peristiwa yang menghebohkan. Permaisuri Sultan Dompu,
yang juga bibi Sultan Jamaluddin, ditemukan tewas dibunuh. Kubu Belanda langsung bereaksi dan menuding bahwa pembunuhan tersebut dilakukan atas perintah Jamaluddin.
Buku Peran Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara (2004) karya M. Hilir Ismail mengungkapkan, pelaku pembunuhan tersebut tidak lain adalah kaki-tangan Belanda. Namun, Sultan Dompu termakan hasutan Belanda dan turut menuduh bahwa Jamaluddin menjadi otak insiden tersebut (hlm. 104).
Jamaluddin pun diajukan ke pengadilan yang dirancang Belanda. Semula, ia dijatuhi hukuman mati. Namun, vonis tersebut dibatalkan dan sebagai gantinya Jamaluddin harus turun takhta dan menjalani kehidupan sebagai tawanan. Terhitung sejak tanggal 13 Agustus 1693, ia dikurung di penjara Benteng Fort Rotterdam di Makassar.
Dua tahun kemudian, pada 1695, Jamaluddin dipindahkan dari Makassar, dibawa berlayar menuju Batavia. Di pusat pemerintahan VOC itu, ia dibui lagi dalam kondisi yang lebih tidak manusiawi.
Tekanan batin tingkat tinggi karena campur-aduknya rasa amarah, kecewa, serta kesedihan yang mendalam membuat kondisi kesehatan Jamaluddin menurun. Belum lagi penyiksaan dan perlakukan tidak mengenakkan yang diterimanya selama di penjara.
Pada 1696 atau kurang dari setahun sejak mulai dijebloskan ke penjara Batavia (sekarang Museum Fatahillah Jakarta), Jamaluddin meninggal dalam masa tahanan pada usia yang baru menginjak. Namun, Belanda seolah-olah merahasiakan kejadian ini.
Orang-orang Bima baru mengetahui kabar duka itu tiga tahun berselang. Buku Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Nusa Tenggara Barat (1997) terbitan Depdikbud NTB menyebutkan bahwa berita wafatnya Jamaluddin terdengar seiring dengan pembangunan benteng dan loji milik VOC di Bima pada 1699 (hlm. 141).
Pihak Istana Bima pun segera meminta kerangka Jamaluddin agar dipulangkan. Jenazah sang sultan kemudian dikebumikan di pemakaman raja-raja di Tolobali, berdampingan dengan makam ayah dan kakeknya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan