Menuju konten utama

Mempahlawankan Soeharto, Mengkhianati Reformasi 1998

Pemberian gelar pahlawan pada Soeharto justru menambah berat luka batin para korban pelanggaran HAM masa lalu.

Mempahlawankan Soeharto, Mengkhianati Reformasi 1998
Warga berunjuk rasa menolak pemeberian gelar pahlawan kepada mantan Presiden Soeharto di depan kantor Kementerian Sosial (Kemensos), Jakarta,Kamis (15/5/2025). ANTARA FOTO/Reno Esnir/app/bar

tirto.id - Nama Soeharto kembali masuk daftar usulan calon pahlawan nasional. Sejak beberapa hari setelah wafat pada 2008, wacana mempahlawankan Soeharto terus berhembus dengan segala justifikasinya.

Tahun ini, misalnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa partainya memutuskan mengajukan Soeharto untuk gelar pahlawan nasional setelah melalui pertimbangan mekanisme pertimbangan internal.

Alasan yang diajukan: Soeharto merupakan pendiri Golkar, pernah menjadi presiden, dan berperan besar bagi Indonesia.

"Golkar berpandangan bahwa jasa Pak Harto ini cukup luar biasa dan Pak Harto adalah salah satu pendiri Partai Golkar, menjadi presiden 30 tahun lebih. Waktu kedaulatan pangan, kedaulatan energi, ketika inflasi kita sekian ratus persen, Indonesia terkenal dengan Macan Asia," kata Bahlil di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (3/11/2025) lalu.

Padahal, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sudah menjabarkan sederet alasan ketidakpantasan Soeharto menyandang gelar pahlawan. YLBHI menilai pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto merupakan indikasi bahwa pemerintah buta sejarah dan memunggungi semangat Reformasi 1998.

Pasalnya, saat Soeharto berkuasa selama 32 tahun, banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi. Tak cuma pelanggaran ringan, Soeharto sudah menampilkan wajah kekuasaan yang otoriter dan basah dengan jejak pelanggaran HAM berat.

YLBHI merinci berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Rezim Soeharto. Salah satunya dimulai pada 1965, saat terjadi pembunuhan dan kekerasan massal terhadap orang-orang PKI dan yang dituduh simpatisannya. Salah satu korban dari kekerasan massal 1965 menurut catatan YLBHI adalah Nani Nurani yang dipenjara oleh Rezim Orde Baru selama tujuh tahun tanpa melalui proses hukum.

“Kemudian, berlanjut dengan rentetan pelanggaran HAM berat lainnya, di antaranya Peristiwa Talangsari, Lampung, 1989. Berdasarkan Laporan Keadaan HAM di Indonesia 1989, menyebut peristiwa tersebut menewaskan 31 orang dan beberapa orang lainnya dipenjara karena dituduh subversif,” beber YLBHI.

Selain kasus pelanggaran HAM, era kepemimpinan Soeharto juga dinilai YLBHI lekat dengan berbagai praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Meski demikian, upaya membongkar kejahatan pidana korupsi Soeharto dan kroni-kroninya berujung kegagalan.

“Kasus terhenti dengan dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) tertanggal 12 Mei 2006 oleh Jaksa Agung saat itu, Abdul Rahman Saleh, karena alasan kesehatan,” ungkap YLBHI.

Menjadi Luka bagi Korban Pelanggaran HAM

Dewan Gelar Pahlawan kini tengah menggodok 40 nama untuk diberikan gelar pahlawan nasional pada tahun ini. Nama-nama yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional kabarnya bakal diumumkan sebelum peringatan Hari Pahlawan 10 November mendatang.

Jika Soeharto nantinya benar digelari pahlawan nasional, menurut Perwakilan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herdiansyah Hamzah, hal itu seolah menggoreskan luka pada korban-korban pelanggaran HAM masa lalu.

Laki-laki yang akrab dipanggil Castro itu mempertanyakan, bagaimana mungkin terduga pelaku pelanggaran HAM justru diberikan gelar pahlawan. Hal ini disebut seperti menghujamkan pedang kepada para korban.

Alih-alih memberi keadilan, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto justru menambah berat luka batin para korban pelanggaran HAM yang bahkan belum sembuh. Pada akhirnya, kita akan menjadi sebuah bangsa yang permisif terhadap kejahatan pelanggaran HAM masa lalu.

“Kita jangan jadi bangsa yang permisif terhadap kejahatan-kejahatan terutama kejahatan HAM berat,” ujar Castro saat dihubungi jurnalis Tirto, Rabu (5/11/2025).

Korban Penembakan Misterius (Petrus) yang terjadi sepanjang 1982–1985, misalnya, mencapai 10 ribu orang. Seturut pemberitaan Tempo, korban Petrus tak hanya mereka yang dilabeli sebagai penjahat, tapi sering kali juga berasal dari korban salah tangkap. Banyak petani dan bahkan pegawai negeri sipil jadi korban karena bernama sama dengan sasaran sebenarnya.

Belum lagi, tragedi Perkosaan Massal Mei 1998 terhadap perempuan etnis Tionghoa. Laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat sebanyak 92 kasus kekerasan seksual terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya di sekitar kerusuhan Mei 1998. Sebanyak 53 kasus pemerkosaan dilakukan dengan penganiayaan, 10 kasus penyerangan seksual, dan 15 kasus pelecehan seksual.

Menurut Castro, pemberian gelar pahlawan nasional pada Soeharto juga bisa dibaca sebagai upaya menghapus jejak kejahatan dan “dosa-dosa” politiknya di masa lalu. Hal itu juga sekaligus mengkhianati upaya masyarakat sipil membangun demokrasi yang baik Pascareformasi 1998.

“Padahal, kita sama-sama paham mandat Reformasi salah satunya adalah mengadili Soeharto dan kroni-kroninya. Nah, kalau kemudian gelar pahlawan itu diberikan kepada Soeharto, ini seperti mengkhianati marwah dan mandat dari Reformasi,” tutur Castro.

Menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional memang sama saja membangkitkan hantu Orde Baru dan sebagai bentuk pelecehan terhadap semangat Reformasi 1998.

Potensi Gugatan

Penolakan atas pemberian gelar pahlawan pada Soeharto sebenarnya sudah disuarakan oleh sederet tokoh, aktivis, akademisi, pegiat HAM, dan korban pelanggaran HAM pada era Soeharto. Seturut pemberitaan Kompas, mereka juga melayangkan surat kepada Prabowo agar mempertimbangkan kembali rencana pemberian gelar pahlawan ini.

Peneliti bidang hukum The Indonesian Institute Center for Public Research (TII), Christina Clarissa Intania, menyatakan gelar pahlawan dikukuhkan melalui keputusan presiden (keppres).

Lazimnya, keppres bisa digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun, seturut penelusurannya, saat ini belum ada regulasi tentang mekanisme pencabutan gelar pahlawan nasional. Sehingga, ada kemungkinan gugatan ini ditolak.

“Jadi, usaha yang bisa dilakukan adalah mendesak presiden mencabut keppresnya, itu saja, sesuai tuntutan masyarakat sipil. Namun, mempertimbangkan watak pemrintahan saat ini, hal ini juga sama sulitnya untuk terjadi,” tutur Christina kepada Tirto, Rabu (12/11/2025).

Sebagai informasi, semua perihal gelar pahlawan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Pasal 1 Angka (4) UU tersebut menyatakan bahwa pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Mereka adalah orang-orang yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Pengertian gelar itu sendiri adalah penghargaan negara yang diberikan presiden kepada seseorang yang telah gugur atau meninggal dunia atas perjuangan, pengabdian, darmabakti, dan karya yang luar biasa kepada bangsa dan negara. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1 UU tersebut.

Sementara itu, Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU Nomor 20/2009 menegaskan bahwa gelar ini diberikan oleh Presiden melalui keppres.

Jika benar gelar pahlawan dikalungkan kepada Soeharto, Christina mengatakan implikasinya yakni negara memaklumi bahkan mengglorifikasi tindakan pelanggaran HAM dan otoritarianisme yang dipraktikkan Soeharto selama berkuasa. Apalagi, ketika pemerintah menguasai wacana yang narasinya membenarkan hal ini.

Menurut Christina, glorifikasi terhadap sosok Soeharto sama sekali tidak sejalan dengan UUD 1945 yang melindungi HAM dan berdasarkan kedaulatan rakyat. Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto juga bisa berefek pada pencari keadilan pelanggaran HAM berat.

“Arah penegakan keadilan negara menjadi dipertanyakan apakah akan berdiri dengan para korban atau dengan pelanggar yang menjadi pahlawan. Separah-parahnya, penegakan hukum dan HAM bisa tidak dilanjutkan karena sudah tidak menjadi prioritas. Semua usaha pengedepanan HAM akan jadi tidak berarti,” tegas Christina.

==========

Addendum:

Artikel ini telah mengalami penyuntingan ulang pada Rabu (12/11/2025). Sebelumnya, peneliti bidang hukum dari TII, Christina Clarissa Intania, menyatakan bahwa gelar pahlawan Soeharto dapat digugat melalui PTUN. Hal itu, menurutnya, pernah dilakukan oleh Joko Widodo ketika menggugat gelar kehormatan Prabowo Subianto.

Setelah melakukan riset ulang, Christina mendapati bahwa saat ini belum ada regulasi tentang mekanisme pencabutan gelar pahlawan nasional. Yang ada adalah mekanisme pencabutan tanda jasa, sementara tidak ada aturan tentang pencabutan gelar.

Oleh karena itu, redaktur melakukan penyuntingan ulang pada subjudul “Potensi Gugatan” sesuai pembaruan informasi yang disampaikan oleh Christina.

Baca juga artikel terkait TOLAK SOEHARTO JADI PAHLAWAN atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi