tirto.id - “Saya sampai merinding ingat kejadian itu,” tutur eks direktur Kalyanamitra, Ita Fatia Nadia, saat bercerita kepada Tirto pada 2017 silam. Ita tengah mengenang peristiwa pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa yang terjadi Mei 1998. Ketika kerusuhan akibat krisis multidimensi pada Mei 1998 pecah, Ita tergabung di Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK), besutan Romo Sandy atau Ignatius Sandyawan Sumardi.
Kepada Tirto saat itu, Ita menegaskan bahwa pemerkosaan massal 1998 betul-betul terjadi. Dalam salah satu kejadian, Ita bahkan menjumpai seorang anak perempuan yang tak cuma diperkosa, namun juga disiksa secara sadistis. Menurut kesaksian Ita, puncak perkosaan itu terjadi sepanjang 12-15 Mei 1998 di banyak lokasi, bukan hanya Jakarta. Bertutur kepada Tirto, Ita menyatakan bahwa tim relawan mencatat 150 kasus perkosaan yang diverifikasi.
Pilunya, beberapa banyak korban akhirnya memilih bungkam sebab merasa takut mendapat teror susulan. Hal itu yang menimpa Ita Martadinata, salah satu korban yang memilih untuk bersuara kepada khalayak Internasional. Seminggu sebelum berangkat ke Amerika Serikat untuk bersaksi di sidang Persatuan Bangsa-Bangsa, Ita Martadinata tewas dibunuh. Selain itu, tim relawan juga menerima serangkaian teror karena berupaya mengungkap tragedi ini.
“Perkosaan massal itu terjadi. Korban pertama adalah perempuan Cina. Dalam tradisi Tionghoa, kalau kamu sudah diperkosa secara seksual, itu adalah aib yang besar untuk keluarga dan komunitas,” cerita Ita Fatia Nadia kepada Tirto beberapa tahun silam.
Polemik terkait peristiwa pemerkosaan massal 1998 mencuat kembali setelah Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menyatakan dalam sebuah wawancara publik bahwa tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998. Dalam wawancara yang tayang di kanal YouTube media IDN Times, Rabu (11/6/2025) lalu, Fadli menyampaikan pemerkosaan massal adalah “rumor” yang perlu diluruskan sesuai fakta. Pernyataan itu memang berkaitan dengan proyek penulisan ulang buku sejarah nasional yang direncanakan keluar 17 Agustus mendatang.
“Pemerkosaan massal kata siapa? Enggak pernah ada buktinya. Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan [buktinya],” ujar Fadli Zon saat wawancara tersebut, kepada Uni Lubis selaku pemimpin redaksi IDN Times.
Ucapan Fadli tak ayal dikecam dan memantik kemarahan publik. Sebagai seorang pejabat publik sekaligus menteri kabinet Presiden Prabowo Subianto, dia dinilai tidak sensitif dan punya muatan lain di balik pengingkarannya terhadap peristiwa pemerkosaan massal 1998.
Apalagi sebagai loyalis Prabowo sekaligus pucuk pimpinan proyek penulisan ulang sejarah nasional, Fadli dikhawatirkan akan memutihkan “dosa-dosa” Orde Baru lewat narasi “sejarah resmi”. Prabowo sendiri kerap dikaitkan dengan peristiwa penculikan aktivis 1998 ketika ia masih menjabat sebagai Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Bukan hanya itu, Fadli juga didapuk sebagai Ketua Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan Negara saat ini. Dengan begitu, Fadli memiliki kewenangan merekomendasikan gelar pahlawan nasional kepada tokoh-tokoh masa lalu.
Mantan Presiden Soeharto sekaligus mertua Prabowo adalah salah satu tokoh yang belakangan “didorong” mendapatkan gelar pahlawan. Wacana itu mendapatkan penolakan dari kalangan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) serta kelompok masyarakat sipil. Rezim Orde Baru bertanggung jawab menciptakan sederet kasus-kasus pelanggaran HAM.
Ketua Badan Eksekutif Nasional Perserikatan Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, menilai pernyataan Fadli Zon merupakan tindakan yang dianggap sebagai upaya pemutihan tragedi HAM masa lalu. Menyebut peristiwa pemerkosaan massal 1998 tidak terjadi dan tidak terbukti, sama dengan abai bahwa syarat utama penyelesaian kasus HAM masa lalu didahului upaya pengungkapan kebenaran.
“Bukan justru berkata bahwa kejadian tersebut tidak terjadi atau tidak ada bukti,” ucap Armayanti kepada wartawan Tirto, Senin (16/6/2025).
Menurut Armayanti, Fadli Zon gagal melihat fakta hukum yang dihasilkan pemerintah lewat hasil laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) atas peristiwa Mei 1998. Ia menilai Fadli diduga punya motif mengaburkan temuan fakta yang dikeluarkan TGPF ketika melakukan investigasi peristiwa pemerkosaan massal 1998 sebagai dokumen negara terhadap adanya kejahatan kemanusiaan.
Pengabaian peristiwa pemerkosaan massal 1998 dinilai sebagai bentuk manifestasi cara pandang relasi kuasa pejabat negara yang tak meletakkan prinsip HAM dan keadilan gender dalam pembangunan budaya dan tatanan sosial yang adil.
“Pernyataan tersebut juga merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, dan pelecehan terhadap upaya yang dilakukan TGPF untuk mengungkapkan kebenaran kasus yang menjadi tanggung jawab negara,” terang Armayanti.
Pernyataan Fadli Zon yang mempertanyakan keabsahan peristiwa pemerkosaan massal 1998 dipandang sebagai suatu tindakan politis. Sebagai Menteri Kebudayaan yang tengah menggarap penulisan ulang buku sejarah nasional sebagai salah satu rujukan kurikulum pendidikan, pengabaian “dosa-dosa” Orde Baru berupaya dihapuskan.
Hanya dua peristiwa pelanggaran berat HAM yang rencananya dituliskan. Itu pun dibingkai sebagai respons terhadap pembangunan era Orde Baru, bukan sebagai kejahatan yang dilakukan aktor negara.
“Pernyataan Fadli Zon tentunya akan menambah kekerasan berlapis terhadap korban dan keluarga korban. Pengaburan sejarah atas peristiwa pelanggaran HAM dan peristiwa luka bagi korban, tidak semata-mata dapat dihilangkan dan dikubur tanpa keadilan,” terang Armayanti.
Pengabaian Fakta Hukum
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan alias Komnas Perempuan, mendesak Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, meminta maaf kepada publik sekaligus menarik kembali pernyataannya yang menyebut bahwa pemerkosaan massal 1998 tak ada bukti dan hanya berdasarkan rumor. Komnas Perempuan mengingatkan bahwa hasil laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kerusuhan Mei 1998 mengungkap temuan adanya pelanggaran HAM, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa.
Temuan tersebut bahkan disampaikan langsung kepada Presiden BJ Habibie saat itu dan menjadi dasar pengakuan resmi negara terkait fakta kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998. Bahkan, hal itu ditindaklanjuti pemerintah Habibie dengan membentuk Komnas Perempuan melalui Keppres Nomor 181 Tahun 1998.
Tim TGPF dibentuk sebagai mandat resmi negara melalui Keputusan Bersama lima pejabat tinggi negara yakni Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, dan Jaksa Agung tertanggal 23 Juli 1998.
Pembentukan ini merupakan pelaksanaan langsung atas perintah Presiden Habibie, sekaligus menjadikan TGPF sebagai instrumen legal dan sah Pemerintah untuk mengungkap fakta-fakta peristiwa seputar kerusuhan Mei 1998, termasuk tragedi pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa.
Hasilnya, TGPF mencatat 92 kasus kekerasan seksual di Jakarta, Medan, dan Surabaya: 53 kasus pemerkosaan dengan penganiayaan, 10 kasus penyerangan seksual, dan 15 kasus pelecehan seksual.
Menurut Komnas Perempuan, salah satu rekomendasi dari TGPF yang ditindaklanjuti yaitu pembentukan Tim Penyelidikan Pro-Justisia Komnas HAM untuk dugaan pelanggaran HAM berat kasus Mei 1998. Penyelidikan menyimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup atas dugaan telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Maka, menyangkal dokumen resmi TGPF sama saja mengabaikan jerih payah kolektif bangsa dalam menapaki jalan keadilan.
“Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, dalam keterangannya, Senin (16/6/2025).
Dalam salah satu kasus dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 13-15 Mei 1998: Sekelompok orang tak dikenal memasuki ruko korban serta menjarah barang-barang. Salah satu korban, R, ditelanjangi dan dipaksa menyaksikan dua adiknya diperkosa. Setelah diperkosa, kedua gadis itu dilempar ke lantai bawah yang sudah mulai terbakar.
"Kedua gadis itu mati, sedang R berhasil selamat karena ada yang menolong," tulis laporan tersebut.
Memang, sepanjang jalan upaya keadilan bagi korban, terdapat kontroversi berkepanjangan perihal laporan jumlah korban yang berbeda-beda. Seperti jumlah korban yang dicatat TGPF berbeda dengan korban Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK). TRK mencatat sebanyak 168 kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual sampai 3 Juli 1998. Sebanyak 153 kasus terjadi di Jakarta, 20 korban meninggal dunia.
Sebagaimana diungkap Human Rights Watch, laporan tersebut mencakup pula kasus belum diverifikasi. Sehingga ini bukan kontradiksi, sebab TGPF hanya mencatat kasus yang bisa dibuktikan secara hukum, sementara TRK mencatat seluruh laporan yang mereka terima. Keduanya tak menyangkal adanya pemerkosaan di sejumlah daerah pada Mei 1998.
Diberondong kritik, Fadli Zon akhirnya pada Senin (16/6/2025) menyampaikan klarifikasi. Lewat keterangan tertulis, Fadli menyatakan bahwa pernyataan tersebut bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual pada peristiwa Mei 1998. Dalihnya, hal itu disampaikan untuk menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.
Fadli menjelaskan bahwa dalam pernyataannya, ia tengah menyoroti secara spesifik ketelitian dan kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah “perkosaan massal”. Pasalnya, kata dia, hal ini dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.
Fadli menambahkan bahwa, istilah massal telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade. Selain itu, laporan TGPF ketika itu cuma menyebut angka tanpa data pendukung yang solid seperti nama korban, waktu, peristiwa, tempat kejadian serta pelaku.
“Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait perkosaan massal perlu kehati- hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” katanya.
Klarifikasi Fadli seolah-olah malah menebalkan kedangkalan berpikir negara menangani kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan pelanggaran HAM. Tuntutan membuka identitas korban adalah “birokrasi klasik” yang mengabaikan kesaksian dan peristiwa biadab yang dialami korban. Belum lagi, dalam konteks peristiwa pemerkosaan massal 1998, risiko besar justru menanti korban ketika kesaksian secara terbuka kepada publik tak diiringi jaminan perlindungan dan pencarian keadilan bagi korban.
Negara lagi-lagi terjebak dalam “neraka birokratis” yang berpeluang menimpakan trauma ganda bagi korban kekerasan seksual serta pelanggaran HAM. Alih-alih mengupayakan keadilan dan pendampingan bagi korban, stigmatisasi pada korban justru dilanggengkan.
Perkosaan bukan hanya tindak kekerasan terhadap tubuh. Tindakan keji itu menjelma senjata politik, alat penghancur identitas, kehormatan, dan martabat. Tubuh perempuan dijadikan simbol penghinaan terhadap etnisitas dan minoritas. Ini dosa kolektif bangsa.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang