tirto.id - Pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang menyangkal adanya kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 memicu gelombang kecaman dari penyintas, aktivis perempuan, dan masyarakat Tionghoa.
Dalam video debat yang tayang di kanal YouTube, Fadli Zon menyebut tidak ada bukti kekerasan terhadap perempuan Tionghoa saat Mei 1998 dan menyebut laporan-laporan tersebut sebagai rumor.
Ketua Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia, Diyah Wara Restiyati, mengatakan pernyataan Fadli Zon tersebut bukan hanya mengaburkan sejarah, tetapi juga berpotensi memicu terulangnya kekerasan serupa.
“Pernyataan itu sangat menyakitkan dan mengingkari pengalaman hidup kami. Teman saya hingga hari ini tidak kembali ke Indonesia karena trauma yang mendalam,” ujar Ketua Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia, Diyah Wara Restiyati, dalam diskusi daring, Sabtu (14/6/2025).
Menurutnya, tindakan Fadli Zon bukan hanya menegasikan kekerasan yang terjadi, tapi juga mengabaikan fakta sejarah bahwa masyarakat Tionghoa, khususnya perempuan, menjadi sasaran dalam tragedi tersebut.
“Kami sudah lama didiskriminasi, dan pemerintah justru memperparah luka itu dengan menyangkalnya,” katanya.
Hal senada disampaikan oleh seorang penyintas kekerasan seksual yang aktif di Forum Aktivis Perempuan Muda (FAMM) Indonesia, Tuba Falopi.
Menurutnya, pernyataan Fadli Zon tersebut sangat menyakitkan dan memicu munculnya trauma masa lalu yang belum benar-benar hilang dari ingatannya.
“Pernyataan itu menjadi trigger bagi kami. Ini bukan sekadar jejak berdarah, tapi luka yang masih nyata hingga hari ini,” ungkapnya.
Ia menambahkan, pemerkosaan massal 1998 adalah bukti nyata kejahatan seksual terstruktur, bukan rumor.
Koalisi Sipil menegaskan bahwa laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas Perempuan telah mencatat kekerasan seksual secara sistematis, termasuk kasus kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa.
“Pernyataan Fadli Zon telah menyingkirkan rahim perempuan dari sejarah bangsa ini,” ujarnya.
Adapun, koalisi mendesak Fadli Zon mencabut ucapannya dan meminta maaf secara terbuka kepada para korban. Negara juga dituntut segera mengambil langkah konkret untuk pemulihan dan penegakan keadilan.
“Akui lah bahwa kita misalnya pernah punya sejarah kelam itu, sehingga kita tahu apa yang bisa kita lakukan (perbaikan) ke generasi selanjutnya,” ucap Tuba.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id


































