Menuju konten utama
Kebutuhan Pangan

Ironi Impor Produk Olahan di Tengah Produksi Telur yang Surplus

Indonesia sebetulnya bisa produksi apa pun termasuk tepung telur. Namun, perlu dibantu pendampingan agar bisa memenuhi standar.

Ironi Impor Produk Olahan di Tengah Produksi Telur yang Surplus
Pembeli memilih telur di Pasar Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (15/6/2023). Kementerian Perdagangan berupaya untuk menekan harga telur sesuai dengan Harga Acuan Pembelian (HAP) Rp27.000 per kilogram. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/rwa.

tirto.id - “Dari tahun ke tahun impor tepung telur meningkat terus. Itu, kan, membunuh industri dalam negeri sendiri.”

Kegelisahan itu disampaikan Presiden Peternak Layer Indonesia, Ki Musbar Mesdi ketika merespons banyaknya impor tepung telur masuk ke Indonesia. Sebagian besar produk olahan seperti tepung telur dan telur cair beku (frozen liquid egg) sejauh ini masih dibanjiri impor. Produk olahan telur yang paling banyak diimpor adalah tepung telur, dengan asal negara didominasi oleh India dan Ukraina.

Dia mengatakan keputusan pemerintah melakukan impor tepung telur sangat ironi di tengah produksi telur yang tengah melimpah. Pada 2021 saja, produksi telur ayam ras nasional diperkirakan mencapai 5,15 juta ton. Sementara kebutuhan nasional diperkirakan mencapai 4,95 juta ton sehingga prognosa surplus sekitar 200 ribu ton. Adapun konsumsi saat ini sudah 15,8 kg per kapita per tahun untuk telur segar.

“Pemerintah harus sadar bahwa peternakan rakyat kita itu adalah ayam petelur dan kita itu berlimpah ruah. Kenapa sekarang harus impor tepung telur?" kata Ki Musbar sambil mempertanyakan saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (23/6/2023).

Jika melihat data lima tahun terakhir, tren impor untuk tepung telur ini selalu mengalami peningkatan. Data Kementerian Perdagangan yang diterima oleh Tirto, pada 2018 total volume impor tepung telur berada di angka 1.785,10 ton dengan total nilainya sebesar 6,9 juta dolar AS.

Pada 2019 angkanya kembali naik menjadi 1.821,23 ton dengan nilai 9 juta dolar AS. Sedangkan di 2020 dan 2021 angkanya 1.934,20 ton dan 1.864,13 ton dengan nilai masing-masing 9,6 juta dolar AS dan 9,5 juta dolar AS. Selanjutnya pada 2022 periode nilai impornya tembus 11,9 juta dolar as dengan total volume sebanyak 2.021,39 ton.

Sedangkan pada Januari-April 2023, nilai impor tepung telur sebesar 3,80 juta dolar AS dengan total volume 574,30 ton. Adapun negara asal impor tepung telur Indonesia pada periode Januari-April 2023 adalah 100 persen dari India.

Sementara Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indonesia melakukan impor tepung telur sejak awal tahun hingga Mei 2023 sebesar 772,3 ton senilai 5,1 juta dolar AS. Kode komoditas tepung telur yaitu HS 0408.

Kode HS ini memiliki spesifikasi telur unggas, tanpa cangkang, dan kuning telur, segar, dikeringkan, dikukus atau direbus, dibentuk, beku atau diawetkan secara lain, mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya maupun tidak.

“Permasalahannya kenapa harus impor sih? Kalau produksi dalam negeri berlimpah," ujarnya.

Padahal dengan produksi telur yang surplus, pemerintah bisa saja menggunakan telur segar untuk menggantikan tepung telur yang selama ini diimpor. Pun soal rasa, kata Musbar, tidak kalah jauh dan lebih enak menggunakan telur segar yang diproduksi dalam negeri.

“Kalau tepung telur tidak bisa hanya sebagai tepung, berbeda kalau diberikan telur yang segar. Namanya telur segar membawa rasa alami yang lebih enak. Kalau misalkan pernah coba telur segar Anda buat kue sama ada buat dari tepung telur, enakan yang telur segar dong. Orang rasanya lebih enak," ujarnya.

Menurutnya, jika ini bisa dilakukan pemerintah, maka akan menghidupkan industri dalam negeri khususnya para peternak telur. “Yang jelas kalau kita bicara tepung telur, di Indonesia memang belum ada industrinya sama sekali. Tetapi kita untuk komoditas telur segar itu berlimpah," ujarnya.

Buta Terhadap Market Potensial

Musbar melanjutkan, banyaknya impor tepung telur masuk ke Indonesia menjadi bentuk kegagalan pemerintah dalam hal Ini Kemendag. Dia menilai kementerian yang dipimpin oleh Zulkifli Hasan atau Zulhas itu telah menutup mata terhadap market potensial yang ada di dalam negeri.

“Dia buta terhadap market potensi. Tidak mengetahui market potensi industri UMKM menengah ke atas peternak ayam petelur itu besar sekali di Indonesia,” kata dia.

“Alasanya apa impor tepung telur berarti kan ada permainan importir-importir besar yang ada di situ. Ada apa di sini? Kok aneh," ujarnya menambahkan.

Banjirnya impor ini juga menjadi bentuk lemahnya Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag. Karena begitu mudah dalam membuka keran impor untuk tepung telur kepada industri. "Kemendag tidak mengerti market potensial. Produksi dalam negeri kita itu over suplai," imbuhnya.

Di samping juga impor ini dinilainya telah bertentangan dengan perundang-undangan ada di Indonesia. Seperti Undang-Undang Nomor 18 tahun 2022 tentang Pangan dan 125 Tahun 2022 Tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah.

"Karena telur itu termasuk bahan pokok penting yang diatur oleh Badan Pangan Nasional. Ini bagaimana kita ini kok bukan menghidupi industri pangan dalam negeri malah menghidupi industri pangan luar negeri," jelasnya.

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Perdagangan di Kemendag, Kasan beralasan, impor dilakukan pemerintah lantaran kebutuhannya belum bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri.

“Mungkin karena kebutuhannya belum bisa dipenuhi dari dalam negeri sehingga itu ada (importasinya). Saya tahu juga soal impor tepung telur itu. Tapi kalau misalnya bisa dipenuhi dan itu kan mungkin teknologinya tidak terlalu canggih,” kata Kasan saat ditemui di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Rabu (21/6/2023).

Walaupun masih melakukan impor tepung telur, Kasan mengklaim, saat ini sudah ada industri tepung telur lokal di tanah air. Tetapi belum mencukupi kebutuhan pasar.

“Tapi saya harus pastikan lagi, tapi yang saya tahu ada data impor tepung telur. Tapi kan harus saya cek produsen dalam negeri. Kan kita kalau produksi tepung telur kan jelas-jelas bahkan cukup untuk memenuhi konsumsi dalam negeri," bebernya.

Peluang Industri Besar

Di sisi lain, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melihat bahwa peluang industri tepung telur di Indonesia masih cukup besar. Hingga saat ini belum ada industri tepung telur lokal sehingga masih bergantung pada produk impor.

Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Supriadi mengatakan, harga bahan baku telur di negara produsen tepung telur lebih murah, sehingga industri lokal belum dapat bersaing untuk memproduksi tepung telur.

Dia mencontohkan, di India sebagai negara asal impor tepung telur, harga telurnya berkisar antara Rp12.300-Rp12.400 per kilogram (Kg). Sementara di Indonesia berdasarkan harga acuan telur ayam di tingkat peternak pada Permendag Nomor 7 tahun 2020 yang sebesar Rp19.000-Rp21.000 per Kg.

“Memang masalahnya di harga. Investor pasti mempertimbangkan suplai bahan baku, apalagi di Indonesia harga telur berfluktuatif. Biasanya mendekati hari raya Lebaran meningkat kemudian jatuh pada akhir tahun seperti ini," ujarnya dalam webinar ‘Mengupas Peluang Industri Pengolahan Telur di Indonesia.’

Dia menambahkan, tepung telur impor pada 2020 mencapai 2.148 ton. Apabila dikonversi ke telur utuh menjadi sekitar 10.000 ton. Sementara surplus telur pada 2021 diperkirakan sekitar 200.000 ton.

Menurutnya, untuk pengembangan industri tepung telur di Indonesia sebagai industri baru harus melalui studi kelayakan untuk memperhitungkan semua faktor. Hal ini karena dapat berpengaruhi terhadap operasional industri secara keseluruhan.

Beberapa persyaratan utama untuk bahan baku industri adalah memiliki spesifikasi tertentu, suplai yang berkelanjutan, dan harga yang kompetitif. Spesifikasi telur meliputi kesegaran, kebersihan, dan keutuhan telur.

“Harga bahan baku harus kompetitif agar bisa bersaing terutama dengan produk impor," kata dia.

Adapun produk olahan telur seperti tepung telur digunakan dalam berbagai bentuk produk olahan pangan oleh industri makanan dan kuliner.

Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian menambahkan, Indonesia sebetulnya bisa memproduksi apa pun termasuk tepung telur. Akan tetapi produksi tersebut perlu dibantu dengan pendampingan, agar bisa memenuhi standar.

“Hanya saja yang menjadi soal adalah UMKM ini seringkali bingung menjualnya ke mana. Mereka bisa saja memproduksinya kalau ada marketnya. Di situlah peranan pemerintah seharusnya bisa mempertemukan antara supply dan demand. Karena tidak ketemu jadinya ya menempuh jalan instan dengan impor," ucap Eliza saat dihubungi Tirto.

Eliza pun memberikan contoh tepung singkong. Padahal untuk tepung singkong, Indonesia merupakan produsen kelima terbesar singkong di dunia. Tapi, tetap saja Indonesia masih melakukan impor tepung singkong.

"Ini karena tidak ketemu antara supply demand. Padahal UMKM kita sangat bisa membuatnya,” kata dia.

Menurut Eliza, di sinilah pentingnya membangun linkage UMKM dengan industri menengah dan besar. UMKM di Indonesia sebetulnya mampu menyediakan bahan baku pendukung industri, dengan demikian impor-impor ini bisa dikurangi.

“Karena sebetulnya UMKM kita mampu, hanya saja mereka kebingungan marketnya," imbuhnya.

Eliza menyebut, jika ingin mengurangi impor perlu dipertemukan dulu antara supply and demand-nya dalam negeri. Sebab, hal ini perlu dibangun agar rantai pasok industri bisa melibatkan produk-produk UMKM dalam negeri.

Baca juga artikel terkait IMPOR TEPUNG TELUR atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz