tirto.id - Dua pekan terakhir, pembicaraan tentang ijtima ulama menghangat. Penyebabnya tentu saja pertemuan para politikus dan ulama pada 27 Juli 2018 lalu. Pertemuan ini, yang kemudian diklaim sebagai "ijtima ulama", menghasilkan keputusan politik berupa dukungan kepada Prabowo Subianto sebagai capres dan dua nama (politikus PKS Salim Segaf al-Jufri dan pendakwah Abdul Somad) sebagai pilihan cawapres.
Dalam dunia pesantren tradisional, ijtima ulama biasanya dikaitkan dengan keputusan dalam ranah fikih (hukum Islam), bukan politik. "Ijtima" berasal dari kata "ijma" yang berarti kesepakatan atau konsensus. Ijtima adalah hasil konsensus tersebut. Pada cabang ilmu fikih, ijma menempati level ketiga dari empat sumber hukum yang sah dan diakui setelah Alquran dan Hadis. Sumber hukum keempat adalah qiyas (preseden hukum). Dengan kata lain, ijtima bukan sesuatu yang main-main.
Kesan yang muncul dari ijtima adalah legitimasi religius yang kuat. Ini terjadi lantaran para pelaku ijma adalah para ulama yang mumpuni dan ahli di bidangnya. Karena itu pula, ijtima kerap dianggap sebagai "mandat langit".
Paling tidak sejak Soeharto tumbang, politik Indonesia akrab dengan berbagai dalih mandat langit yang dikeluarkan para elite, baik elite agama maupun politik. Mereka kemudian menggunakannya sebagai legitimasi politik dan sarana memperoleh dukungan.
Gus Dur dan Kiai Langitan
Pada 20 Oktober 1999, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4 setelah mengalahkan Megawati lewat pemungutan suara yang alot di MPR. Gus Dur adalah presiden Indonesia pertama yang terpilih secara demokratis melalui voting.
Saat itu posisi Gus Dur dan sejumlah tokoh nasional lainnya kerap disebut-sebut sebagai “guru bangsa”. Sebutan ini mengandung makna berjarak dengan pusat kekuasaan dan pusaran kontestasi politik. Kata “guru” yang disematkan seolah-olah memosisikan Gus Dur dan tokoh-tokoh nasional lainnya hanya sebagai pembimbing atau penasihat para pengampu kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan dan menentukan arah perjalanan bangsa. Namun pada perjalanannya, Gus Dur ternyata melompati posisi tersebut dan terpilih sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Saat tampil di acara Kick Andy yang disiarkan Metro TV pada November 2007, enam tahun setelah Gus Dur tergusur dari jabatannya sebagai presiden, ia ditanya tentang keputusannya untuk menjadi Presiden RI ke-4 daripada tetap di posisinya sebagai “guru bangsa”.
“Saya diperintah oleh lima orang sesepuh saya. Itu saja. Kalau mereka memerintahkan apa saja, [bahkan disuruh] masuk api [saya akan] masuk api, tanpa perlu berpikir,” jawab Gus Dur.
Tak cukup itu, saat Andy F. Noya menanyakan apakah ia akan mencalonkan diri pada Pilpres 2009, Gus Dur lagi-lagi menjawab bahwa ia hanya akan maju jika diperintahkan para kiai sepuh yang sangat dihormatinya.
“Saya ini kalau diperintahkan oleh lima sesepuh, ya, saya akan jadi calon [presiden]. Tanpa tim sukses, tanpa duit […] Saya ini orang pesantren disuruh nurut orang tua. Gak bisa ditawar. Lima orang itu, saya gak sebut namanya,” ujar Gus Dur.
Tiga tahun sebelumnya, tepatnya saat Gus Dur kalah dalam Muktamar NU 2004 yang digelar di Boyolali, ia segera menggalang kekuatan nahdliyin untuk membuat NU tandingan. Langkah Gus Dur ini, dalam catatan Gatra, lagi-lagi disandarkan pada titah para kiai.
Gus Dur menyebut kiai-kiai sepuh yang menjadi pegangannya dalam mengambil langkah-langkah politik sebagai “Kiai Langitan”. Kata “Langitan” bagi kebanyakan masyarakat dipersepsikan sebagai sesuatu yang adiluhung, sakral, dan tak terjangkau. Padahal Langitan adalah nama pesantren di Kabupaten Tuban yang dipimpin K.H. Abdullah Faqih, ulama yang sangat dihormati Gus Dur.
Istilah-istilah yang dipakai Gus Dur untuk melenggang ke gelanggang politik, menurut Mahfud MD, “mungkin hanya bahasa politik Gus Dur untuk menunjukkan bahwa dirinya mendapat dukungan kuat dari para pimpinan NU, baik yang struktural maupun yang kultural.”
Kiai dan Ulama Jelang Pilpres 2019
Setelah melewati satu dekade kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, eskalasi politik nasional kembali menghangat. Para kiai dan ulama kembali dijadikan sebagai legitimasi untuk mendongkrak dukungan masyarakat sekaligus menjatuhkan lawan.
Joko Widodo berhasil memenangkan Pilpres 2014 lewat pertarungan dua kubu yang sampai hari ini terus saling serang. Kubu Prabowo Subianto yang kalah kerap mendaku dirinya sebagai perwakilan umat Islam serta didukung para ulama.
Kata “kiai” yang selama ini identik dengan kaum nahdliyin yang secara garis politik lebih dekat dengan Partai Kebangkitan Bangsa yang menjadi salah satu anggota koalisi pendukung pemerintah, mulai mendapat “saingan” dari kata “ulama”.
Konstituen kubu oposisi pemerintah yang dimotori Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera mulai menggunakan kata “ulama” sebagai cara untuk mendapat dukungan umat Islam seluas-luasnya.
Pada 2016, saat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang waktu itu menjabat Gubernur DKI Jakarta dituduh melecehkan Alquran surat al-Maidah ayat 51, polarisasi antara pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo Subianto semakin meruncing. Ahok yang non-Muslim dan saat tampil di Pilgub Jakarta salah satunya diusung PDIP, partai yang juga mengusung Jokowi sebagai presiden, langsung diserang lewat unjuk rasa besar-besaran. Puncaknya adalah sebuah demonstrasi yang dikenal dengan nama “Aksi Bela Islam 212” pada 2 Desember 2017.
Merespons isu penodaan agama tersebut, sebulan setelah Ahok dianggap melecehkan al-Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu pada 28 September 2016, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang salah satunya ditandatangani Ma’ruf Amin sebagai Ketuai MUI.
“[…] pernyataan Basuki Tjahaja Purnama dikategorikan: (1) menghina Alquran atau (2) menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum,” demikian bunyi salah satu paragraf dalam fatwa tersebut yang bertitimangsa 11 Oktober 2016.
Berdasarkan dua poin tersebut, MUI selanjutnya merekomendasikan beberapa hal. Salah satunya dan merupakan yang paling penting bagi para pengunjuk rasa adalah agar penegak hukum segera menindak tegas pelaku penodaan agama sesuai undang-undang yang berlaku.
Setelah MUI mengeluarkan fatwa, terbentuklah aliansi yang dinamakan Gerakan Nasional Penjaga Fatwa (GNPF) MUI yang kemudian berganti nama menjadi GNPF Ulama. Sejak awal, gerakan dan mobilisasi massa yang mendesak Ahok untuk dijerat secara hukum sudah menguarkan aroma politik yang sangat kuat.
Kata “ulama” lagi-lagi digunakan massa yang turun ke jalan saat Rizieq Shihab terjerat kasus hukum. Mereka menyebut gerakannya sebagai “Aksi Bela Ulama” dan proses hukum yang berlaku terhadap Rizieq Shihab sebagai bentuk kriminalisasi ulama.
Meski rangkaian unjuk rasa yang dilakukan dinamai sebagai “Gerakan Bela Islam” dan “Aksi Bela Ulama”, berbagai elemen yang terlibat di dalamnya menunjukkan semakin kencangnya konsolidasi kaum oposisi pemerintah menjelang Pilpres 2019. Agenda mereka jelas dan bahkan di kampanyekan secara besar-besaran: ganti presiden.
Eskalasi penggunakan kata “ulama” untuk melegitimasi sejumlah pihak dalam pertarungan politik semakin kencang saat GNPF Ulama mengadakan pertemuan para ulama dan tokoh nasional. Dari pertemuan tersebut kemudian lahir keputusan yang belakangan disebut sebagai “ijtima ulama”.
Pada titik ini, saat isu keagamaan semakin meruncing dan ulama sebagai sosok teladan dijadikan senjata untuk meraih kepentingan politik, PKS muncul dengan suara yang tidak biasa. Partai ini mulai ikut-ikutan ke dalam arus besar.
Dalam tradisi dakwah partai tarbiyah tersebut, meski sosok ulama merupakan hal penting, tradisi yang dibangun saat mengambil berbagai keputusan penting biasanya lewat Majelis Syuro yang terdiri dari 99 orang. Ijtima ulama bukanlah "trademark" partai ini.
“Kami tentu saja menjadikan ijtima ulama ini sebagai aspirasi apa yang sudah kami bangun selama ini dengan Pak Prabowo,” kata Sekjen PKS, Mustafa Kamal.
Seperti halnya ulama, pendulum bernama kiai pun kembali bergerak mendekati pusaran pertarungan politik. Lema yang lekat dengan kaum nahdliyin ini mencuat saat nama Mahfud MD disebut-sebut sebagai salah satu cawapres dari NU.
Partai Kebangkitan Bangsa yang mendorong Muhaimin Iskandar alias Cak Imin untuk maju sebagai calon pendamping Jokowi, baru-baru ini mengatakan bahwa rencana pencalonan Cak Imin didukung para kiai.
“Pokoknya kami tetap manut kiai. Selama para kiai masih bilang begitu [dukung Imin], maka itu yang kami perjuangkan,” ujar Wasekjen PKB Jazilul Fawaid.
Sempat tersiar kabar bahwa Jokowi diultimatum K.H. Najib Abdul Qodir selaku penasihat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ihwal dukungannya terhadap Cak Imin sebagai calon wakil presiden.
“Memberi deadline kepada Jokowi dalam dua hari. Kalau tidak jelas, maka kami bikin poros baru,” tegas Kiai Najib seperti dikutip Jawa Pos (beberapa saat kemudian, laman tersebut sudah tidak tersedia).
Namun, setelah kabar tentang dukungan para kiai kepada Cak Imin tersiar dan tersebar secara luas, sebuah press release yang kepala suratnya tertulis “Pondok Pesantren Al-Munawwar, Krapyak Yogyakarta” menyatakan sebagai berikut:
“KHR. Muhammad Najib Abdul Qodir selaku Pengasuk Pondok Pesantren Al-Munawwar dan salah satu Rois Syuriah PBNU Tidak pernah mengultimatum Presiden Joko Widodo agar memilih Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menjadi cawapresnya dan jika tidak dituruti dalam 2 hari maka para ulama akan membuat poros baru sebagaimana kabar bohong yang dimuat JPNN.com dan disebarkan media-media online lainnya.”
Hari-hari ini, saat waktu pendaftaran capres dan cawapres semakin mendekati batas akhir, bandul kiai dan ulama akan semakin bergoyang kencang ke tengah-tengah eskalasi politik. Istilah-istilah seperti "ijtima ulama" atau "restu kiai" atau "dukungan ulama" pun semakin akrab menghiasi percakapan politik kita.
Editor: Ivan Aulia Ahsan