tirto.id - “Aula ini adalah saksi bisu dan kaki tangan genosida di dunia saat ini. Trump tidak berbicara tentang demokrasi, dia tidak berbicara tentang krisis iklim, dia tidak berbicara tentang kehidupan. Dia hanya mengancam, membunuh, dan membiarkan puluhan ribu orang terbunuh,” ucap Presiden Kolombia Gustavo Petro di Majelis Umum PBB pada tanggal 23 September lalu.
Petro menyatakan diplomasi telah gagal menangani krisis Gaza. Pidatonya memuncak dengan tuduhan langsung, menyebut Presiden AS Donald Trump sebagai kaki tangan genosida.
Tak lama setelah pidato itu, Petro turun ke jalanan New York, bergabung dalam demonstrasi Pro-Palestina. Di tengah kerumunan, ia menyerukan pembentukan tentara internasional yang lebih besar dari militer Israel dan AS. Ia bahkan mengimbau tentara AS agar menolak perintah Trump dan mengikuti suara kemanusiaan.
Respons dari Washington datang cepat dan tegas. Departemen Luar Negeri AS mencabut visanya, menyebut Petro sebagai sosok yang menghasut. Petro menanggapi dingin: “Saya tidak peduli.”
Petro menyatukan isu Palestina, krisis iklim, dan perang narkoba dalam satu narasi anti-imperialis.
Penempaan Seorang Pemberontak
Gustavo Francisco Petro Urrego lahir pada 19 April 1960 di Ciénaga de Oro, kota kecil agraris di Córdoba. Kedua orang tuanya memiliki darah keturunan Italia. Saat masih anak-anak, keluarganya pindah ke Zipaquirá, kota tambang garam di utara Bogotá. Zipaquirá menjadi tempat Petro mengenal ketimpangan sosial secara langsung.
Di tengah kemajuan industri, ia melihat kemiskinan yang mencolok. Lingkungan ini mempertemukannya dengan gerakan buruh dan aktivisme sosial, yang kelak membentuk pandangan kirinya.
Di Colegio Nacional de La Salle, ia menyerap dua pengaruh besar. Sebagai anak yang gemar membaca, Petro mengagumi penulis peraih Nobel, Gabriel García Márquez, yang pernah bersekolah di institusi Katolik yang sama. Ia menyatakan bahwa Márquez memengaruhi pembentukan dan eksistensi politiknya.
“Seorang pria yang, tanpa dia sadari, telah menentukan bahkan dalam konstruksi keberadaan saya, kehidupan politik saya. Saya belajar membacanya sebelum belajar teks apa pun di sekolah saya,” ujarnya, dikutip portal Kolombia, Kienkye.
Pengadopsian nama samaran “Aureliano” dari novel Seratus Tahun Kesunyian karya García Márquez pada gerilya politiknya di kemudian hari adalah identifikasi langsung dengan tradisi sastra-politik ini.
Petro juga terpapar teologi pembebasan, gerakan Gereja Katolik yang ditafsirkannya untuk memahami iman sebagai panggilan untuk berpihak pada kaum miskin. Sepupunya menyebut Petro muda sebagai sosok yang gemar membaca, bermain catur, dan peduli lingkungan.
Potret pemikir muda yang sudah bergulat dengan gagasan besar. Ia tumbuh di tengah ketidakadilan yang nyata, dengan kerangka moral yang menyebutnya sebagai dosa sistemik. Ketika gerakan M-19 mendekatinya, mereka tidak menemukan pemuda kosong. Mereka menemukan pikiran yang sudah matang, siap mengubah kritik menjadi aksi.
Gerakan 19 April atau M-19, lahir dari kemarahan atas dugaan kecurangan pemilu pada 19 April 1970. Berbeda dari gerilya lain di Kolombia, M-19 tumbuh di kota, digerakkan oleh kaum intelektual, dan mengusung nasionalisme revolusioner serta demokrasi sosial.
Petro bergabung dengan M-19 saat berusia 17 tahun, ketika masih kuliah ekonomi di Universitas Externado. Ia bukan petempur garis depan, melainkan ideolog, propagandis, dan organisator komunitas. Tugas militernya sebatas menyimpan senjata curian, peran logistik yang bukan pertempuran langsung.
Menurut Pacho Paz, teman seperjuangannya, “Tidak semua gerilyawan menembakkan senjata. Ada yang bertugas melakukan kerja komunitas dan propaganda; itulah Gustavo”.
Petro menjalani kehidupan ganda. Di satu sisi, ia aktif secara klandestin. Di sisi lain, ia mulai membangun karier politik terbuka. Ia menjadi omdusman Zipaquirá pada 1981, lalu menjadi anggota dewan kota dari 1984 hingga 1986. Ia juga memimpin perebutan tanah untuk mendirikan lingkungan Bolívar 83 bagi 400 keluarga pengungsi, aksi sosial bersenjata yang kelak menjadi fondasi program perumahan saat ia menjabat wali kota.
Di lingkungan barunya itu ia mengatakan, “Saya tidak akan pernah melupakan hari-hari itu, karena mereka menghubungkan saya selamanya dengan dunia orang miskin”.
Pengalamannya di M-19 lebih menyerupai magang politik daripada karier militer. Struktur organisasi yang fleksibel memberinya ruang untuk belajar memobilisasi massa, merancang pesan, dan memimpin komunitas.
Fokus M-19 pada aksi perkotaan dan reformasi demokrasi menuntut keterampilan persuasi dan strategi, bukan senjata. Peran Petro dalam kerja komunitas dan propaganda adalah latihan politik yang nyata.
Kemenangannya dalam pemilihan lokal saat masih menjadi anggota gerilya menunjukkan bahwa ia sudah memahami cara membangun basis kekuatan. Proyek Bolívar 83 bukan sekadar operasi militer, tapi proyek sosial yang kompleks.
Karier ganda Petro sebagai politikus dan gerilyawan berakhir pada 24 Oktober 1985 saat ia ditangkap militer. Ia menyamar sebagai perempuan agar tak dikenali, dengan membawa senjata, bahan peledak buatan sendiri, dan materi propaganda.
Setelah penangkapan, Petro mengaku disiksa selama lebih dari seminggu di kandang kuda militer. Dilansir The Guardian, ia mengalami pemukulan, sengatan listrik, kelaparan, dan nyaris ditenggelamkan.
Pengalaman brutal tersebut menjadi titik balik. Selama 18 bulan di penjara, ia menyimpulkan bahwa perjuangan bersenjata tak lagi efektif untuk meraih dukungan publik. Bukan karena menyerah, tapi karena menyadari perlunya strategi baru.
Tiga minggu setelah penangkapannya, M-19 melakukan operasi paling terkenal dan tragis: penyerangan Istana Keadilan di Bogotá pada November 1985. Peristiwa itu menewaskan lebih dari 100 orang, termasuk 11 hakim Mahkamah Agung. Fakta ini memberinya alibi kuat dari tuduhan keterlibatan langsung dalam operasi berdarah tersebut.
Setelah bebas pada 1987, ia langsung mendorong pembicaraan damai. Pengalaman penjara tak hanya mengubah cara berpikirnya, tapi juga membentuk ulang identitas politiknya. Ia beralih dari logika senjata ke logika suara tanpa kehilangan legitimasi perjuangan.
Transisi ke Panggung Politik
Babak baru Petro dimulai saat M-19 menandatangani perjanjian damai dengan pemerintahan Presiden Virgilio Barco pada Maret 1990. Baru keluar dari penjara dan berkomitmen pada jalur politik, Petro ikut mendorong proses negosiasi dari dalam gerakan.
Transformasi M-19 menjadi partai politik Alianza Democrática M-19 membawa harapan baru bagi demokrasi Kolombia. Namun, harapan itu cepat runtuh. Hanya tujuh minggu setelah perjanjian damai, calon presiden partai, Carlos Pizarro, dibunuh, menunjukkan betapa politik sayap kiri di Kolombia tetap dianggap sebagai bahaya.
Meski bayang-bayang kekerasan terus mengintai, Petro berhasil terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan pada 1991. Tapi ancaman pembunuhan memaksanya pergi dari Kolombia pada 1994. Ia menetap di Brussel sebagai atase diplomatik dan melanjutkan studi pascasarjana di bidang lingkungan dan hak asasi manusia hingga tahun 1996.
Pengalaman tersebut menanamkan ketidakpercayaan mendalam terhadap elite lama. Kelak, ia menuduh mereka bersekongkol dengan kekuatan paramiliter. Petro belajar bahwa untuk bertahan, ia harus melawan. Dan untuk melawan, ia harus bicara lantang.
Sekembali dari pengasingan, Petro masuk lagi Kongres pada 1998 dan melaju ke Senat pada 2006, meraih suara tertinggi kedua secara nasional. Ini menandai konsolidasinya sebagai tokoh politik utama di Kolombia.
Puncak kiprahnya di parlemen adalah pengungkapan skandal Parapolitik. Lewat pidato-pidato tajam dan bukti yang terstruktur, ia membongkar hubungan antara politisi tingkat tinggi, termasuk sekutu Presiden Álvaro Uribe, dengan kelompok paramiliter Pasukan Bela Diri Bersatu Kolombia (AUC) yang dikenal brutal.
Ia menuduh keterlibatan aparat keamanan dan bahkan keluarga Uribe dalam jaringan kekerasan dan perdagangan narkoba. Petro menjelma menjadi oposisi paling vokal dan berani. Ia mengubah semangat revolusioner menjadi senjata legal: mikrofon, dokumen, dan debat publik.
Tujuannya tetap sama seperti saat di M-19, membongkar sistem yang ia anggap korup dan tertutup, namun kini lewat jalur institusional. Investigasi Parapolitik menjadi bukti bahwa Petro telah sepenuhnya beralih dari senjata ke suara.
Setelah gagal dalam pemilihan presiden 2010, Petro terpilih sebagai Wali Kota Bogotá pada 2011. Jabatan ini memberinya kesempatan pertama untuk menerapkan gagasan progresifnya, “Colombia Humana”, dalam skala nyata. Ia meluncurkan program sosial seperti subsidi air dan ongkos bus bagi warga miskin, yang berdampak pada penurunan kemiskinan, kejahatan, dan utang kota.
Namun, masa jabatannya juga diwarnai krisis besar pada 2012, yakni pengelolaan sampah. Petro berusaha memindahkan pengelolaan dari kontraktor swasta ke perusahaan publik, dengan tujuan mematahkan monopoli dan memberi ruang bagi pemulung informal.
Tapi transisi itu kacau. Sampah menumpuk di jalanan, dan kegagalan ini dimanfaatkan oleh Inspektur Jenderal Alejandro Ordóñez untuk memecat Petro dan melarangnya berpolitik selama 15 tahun.
“Itu hukuman seumur hidup,” kata Petro yang menyebut ia tidak bisa berkarier lebih panjang lagi hingga usia 68 tahun.
Petro pun melawan. Ia mengajukan banding ke Komisi HAM Antar-Amerika dan mendapat dukungan publik besar-besaran. Pada 2014, ia kembali menjabat. Program sosialnya membuktikan bahwa ide progresif bisa berdampak nyata.
Kemenangan yang Belum Pernah Terjadi Sebelumnya
Petro menempuh jalan panjang menuju kursi kepresidenan. Setelah kalah dari Iván Duque pada pemilu 2018, ia tetap bertahan di panggung politik lewat kursi Senat. Ia tak menyerah, justru menyusun langkah strategis dengan membentuk koalisi Pacto Histórico (Pakta Bersejarah) yang menyatukan kekuatan kiri dan progresif.
Koalisi ini membawa janji besar: mengatasi ketimpangan sosial, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan mendorong Paz Total, perdamaian menyeluruh yang melampaui konflik bersenjata, termasuk perjanjian damai dengan gerilyawan Tentara Revolusioner Kolombia (FARC) yang terbengkalai sejak 2016.
Pada 2022, Petro menang dan mencatat sejarah sebagai presiden sayap kiri pertama Kolombia. Pasangannya, Francia Márquez, juga mencetak rekor sebagai perempuan kulit hitam pertama yang menjabat wakil presiden, simbol kuat dari kampanye yang berpihak pada kelompok terpinggirkan.
Filosofi dari kepresidenan Petro adalah gagasan tentang “pemerintahan kehidupan”. Ia percaya bahwa politik masa kini bukan lagi soal kiri atau kanan, melainkan pilihan antara keberlanjutan dan keadilan sosial versus perang, ketimpangan, dan ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Kebijakan-kebijakannya dari penghentian eksplorasi minyak baru, reformasi agraria, hingga program perdamaian total berakar dari pandangan ini. Meski inovatif, kebijakan ini menghadapi tantangan serius. Beberapa analisis menyebutkan bahwa pendekatan ini justru memberi ruang bagi kelompok bersenjata untuk memperkuat cengkeraman mereka di wilayah tertentu.
Kebijakan luar negeri Petro mengambil arah yang berbeda dari tradisi Kolombia sebagai sekutu dekat AS. Ia menggeser poros ke Dunia Selatan, berupaya bergabung dengan BRICS, dan melontarkan kritik tajam terhadap perang melawan narkoba yang dipimpin AS, yang ia anggap sebagai alat dominasi, bukan solusi.
“Mengurangi penggunaan narkoba tidak memerlukan perang, itu membutuhkan kita semua untuk membangun masyarakat yang lebih baik,” kata Petro di PBB pada 2022 lalu.
Ia juga dikenal kuat memiliki solidaritas terhadap Palestina. Pada April 2024, Kolombia bergabung dalam gugatan genosida Afrika Selatan terhadap Israel di Mahkamah Internasional di Den Haag, yang dilanjutkan dengan pemutusan hubungan diplomatik dengan Israel pada Mei 2024.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































