tirto.id - Nama Gabriel García Márquez—atau Gabo, panggilan akrabnya—telah dikenal publik pembaca di Indonesia sejak 1980-an, tetapi baru pada tahun inilah karyanya terbit dalam bahasa Indonesia secara resmi, setelah selama bertahun-tahun hadir dalam versi terjemahan “modal nekat dan semangat”. Pada 26 Maret 2018, Gramedia Pustaka Utama sebagai pemegang hak terjemahan resmi García Márquez meluncurkan Cinta di Tengah Wabah Kolera (El amor en los tiempos del cólera)sebagai judul pertama dari kemungkinan-kemungkinan judul lain yang akan diterbitkannya.
Nama Gabo lekat dengan genre yang dikenal sebagai “realisme magis”. Mengenai apa yang dimaksud istilah ini, ada banyak perdebatan akademis tentangnya yang bukan pada tempatnya untuk diuraikan di sini (dan memang menurut akademisi sastra William Rowe, “tidak ada suatu teori yang konsisten mengenai realisme magis”). Untuk gampangnya, katakanlah realisme magis adalah cara menghadirkan yang-magis sebagai unsur lumrah dalam realitas keseharian.
Para pembaca Gabo tentu tahu apa yang saya maksud: bayi lahir dengan ekor babi, montir yang selalu diikuti kupu-kupu kuning, tulang-belulang gadis muda dengan rambut puluhan meter di tengkoraknya, serta segudang karater-karakter ajaib lain yang tiada duanya dalam jagat kesusastraan. Namun perlu dicatat, pembauran antara yang-riil dengan yang-magis dalam karya-karya Gabo, atau dalam kebanyakan sastra Amerika Latin, bukan semata-mata hasil khayalan atau fantasi sastrawi belaka, melainkan berjangkar dan perlu dibaca dalam konteks sosial-politik negara pascakolonial.
Dalam mahakarya Seratus Tahun Kesunyian, misalnya, temuan-temuan sains yang dihadirkan modernitas (magnet, kereta, piringan hitam) dianggap “magis” oleh penduduk pribumi desa Macondo. Sementara hantu-hantu atau orang bisa melayang—yang mereka anggap lumrah—justru akan dianggap “magis” oleh pengamat/pembaca modern.
Di sinilah kehebatannya. Gabo memukau bukan semata karena ia bisa mengarang tokoh “yang aneh-aneh” itu, melainkan bagaimana ia bisa dengan begitu meyakinkan membumikan “yang aneh-aneh” itu pada realitas, sehingga pembaca menghayatinya dengan penuh kepercayaan, sebagai fakta. “Nyatanya adalah tak ada satu baris pun dari semua karyaku yang tidak punya pijakan pada realitas,” demikian ia pernah menegaskan. Dalam mengubah yang-muskil menjadi yang-mungkin itulah ia banyak memanfaatkan disiplin jurnalisme, profesi yang sangat dicintainya.
Bermula dari Jurnalisme
Karier kepenulisan Gabo memang dimulai dari jurnalisme dan menurut pengakuannya sendiri ia sesungguhnya tak pernah berhenti menjadi reporter. “Aku tak ingin dikenang untuk Seratus Tahun Kesunyian, atau untuk Hadiah Nobel, tetapi untuk kewartawananku. Aku terlahir sebagai jurnalis dan sekarang merasa semakin menjadi reporter dibanding yang sudah-sudah.”
Buku-buku reportase panjangnya mendapat sanjungan yang tak kalah hebat dibanding buku-buku fiksinya. Gabo menulis aneka macam topik; antara lain cerita seorang pelaut karam dan upayanya untuk bertahan hidup, kisah perjalanan keliling Uni Soviet dan Eropa Timur era komunis, serta liputan tentang aksi-aksi penculikan terhadap orang-orang penting Kolombia yang didalangi kartel narkoba Pablo Escobar.
“Jurnalisme turut mempertahankan hubungan kita dengan realitas, yang amat penting bagi sastra,” ujarnya.
Lahir pada 6 Maret 1927 di Aracataca, dusun kecil di Kolombia bagian utara yang menjadi inspirasi dan model bagi desa fiktif Macondo dalam cerita-ceritanya, García Márquez terjun ke jurnalisme pada usia 18. Ia menjadi reporter sambilan di harian El Universal, Cartagena,sembari menempuh kuliah hukum.
Pada usia 20, ia pindah ke harian El Heraldo yang berkantor di kota pesisir Baranquilla. Selama masa kerjanya di El Heraldosejak Januari 1950 hingga Desember 1952, Gabo menulis 394 artikel dengan nama pena “Septimus” untuk rubrik kolom yang diberi tajuk “La Jirafa” (“Jerapah”). Septimus dipetiknya dari Septimus Warren Smith, nama tokoh di novel Virginia Woolf, Mrs. Dalloway; sedangkan jerapah karena lehernya yang panjang mampu melihat gambaran secara luas dan jauh.
Pengalaman dua tahun di El Heraldo turut melatih kedisiplinan menulis tentang apa saja yang menarik minatnya, terutama tentang kebudayaan pesisir (costeno) yang nanti bakal banyak mengisi cerita-ceritanya. Di sini pula bibit-bibit realisme magis mulai tampak berkecambah pada gaya tulis Gabo. Misalnya, di salah satu kolom ia mengarang tentang kematian seorang maling dan penghormatan kubur yang dipersembahkan baginya oleh sesama penjahat sebelum si maling itu masuk neraka.