Menuju konten utama

"Kalau Mau Jadi Pengarang Serius Tak akan Ada Uangnya"

Putu Wijaya terus berkaya meski kini hanya menulis dengan satu tangannya. Ia masih menyiapkan sejumlah karya besar. Apa saja yang masih direncanakan oleh peraih 2 Piala Citra ini? Bagaimana pandangannya tentang dunia tulis menulis?

Sastrawan Putu Wijaya. [tirto/andrey gromico]

tirto.id - Semangat Sang Teroris Mental itu masih menyala meski badannya tak sekokoh dulu.Selama hampir empat tahun, sastrawan Putu Wijaya harus melawan penyakit stroke. Sebagai penulis 30 novel, 40 naskah drama, seribuan cerpen, serta ratusan esai, Putu mengaku sempat sedih karena kini hanya bisa menggunakan tangan kanan untuk mengetik. Itu pun menggunakan blackberry.

“Seperti ada halangan karena keinginan berkreasi terhambat,” ujar Putu yang tak pernah melepas topi baret yang menjadi ciri khasnya, saat ditemui Aditya Widya Putri dan Andrey Gromico dari tirto.id, di kediamannya, di Perumahan Astya Puri, bilangan Ciputat, Tangerang Selatan, Provinsi Banten, pada Senin (27/6/2016).

Perbincangan siang itu dilakukan di ruang tamu yang telah disulap menjadi ruang tidur sekaligus ruang kerja bagi peraih dua kali penghargaan Piala Citra untuk skenario terbaik tersebut. Di samping tempat tidur, terdapat tabung oksigen lengkap dengan alat bantu pernafasan. Di seberang tempat tidur, terletak sofa merah marun. Putu harus dipapah menuju sofa oleh Dewi Pramowati, isterinya, sebelum menemui para tamunya.

Walau sedikit terbata dan artikulasi terganggu, Putu menjawab setiap pertanyaan dengan gamblang. “Makin dilakukan, makin banyak yang belum dicapai. Kita maunya terus bekerja dan menyumbangkan apa yang ada di pikiran untuk bermanfaat di masyarakat,” kata Putu mengawali pembicaraan yang sempat melebar ke persoalan G 30 S dan ketakutan akan lahirnya gerakan kiri. Berikut wawancara dengan I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang kini memasuki usia 72 tahun:

Setelah pencapaian selama ini adakah hal yang masih mau dicapai?

Masih banyak. Makin dilakukan, makin banyak yang belum dicapai. Kita maunya terus bekerja dan menyumbangkan apa yang ada di pikiran untuk bermanfaat di masyarakat. Kalau pekerjaan lain, jelas berguna atau tidaknya. Misal tukang kayu, jelas hasilnya laku atau bermanfaat tidaknya.

Tapi kalau kita pekerja seni tidak pernah ada garis finish-nya. Selalu bertanya-tanya, sudah bermanfaat atau belum? Jika kita maju selangkah, ada mundur selangkah juga. Makin dikejar makin jauh. Tidak akan ada habisnya. Saya menempatkan diri menjadi orang yang selalu mengejar. Apalagi saya sekarang bergerak di beberapa bidang. Saya sekarang juga melukis, membuat esai, naskah drama, membuat skenario dan main drama. Ada banyak hal.

Sejak kapan mulai melukis?

Sejak sakit November 2012. Lalu saya latihan drama di tahun 2012 (dengan Teater Mandiri). Pada tahun 2013, saya menyutradarai di Salihara "Bila Malam Bertambah Malam". Keluar rumah sakit langsung melukis, karena tangan saya tak bisa menulis lagi di komputer.

Bagaimana perasaan sebagai seorang penulis tak bisa menulis?

Seperti ada halangan karena keinginan berkreasi terhambat. Sedih, tapi bisa dialihkan ke lukis dulu. Kebetulan saya juga suka melukis sejak kecil. Selama sakit itu, saya sempat pameran di Bentara Budaya Jakarta, pada tahun 2014. Juga menerbitkan buku esai. Dan kita memainkan tiga drama sekaligus di Salihara. (Saat ini Putu menulis menggunakan blackberry hanya dengan satu tangan)

Apa yang paling berkesan dalam karya-karya Anda?

Jawabannya ini umum; karya yang belum saya buat. Ini menunjukkan pekerja seni tak pernah puas akan karyanya. Dan karya yang akan datang bakal ada yang lebih bagus. Misal menulis, bikin buku dari ide jadi tulisan. Saat beberapa bulan rilis ya bangga. Tapi setelah 1 tahun - 2 tahun dibaca lagi kok merasa,"Ini diri saya yang lampau." Ada keinginan mengubahnya, meng-update-nya. Tapi ini berbahaya. Sebab yang baru hasil update bisa lebih jelek dari yang lama. Jadi saya jarang meng-update, mending membuat yang baru.

Sebab, belum tentu representasi yang baru lebih baik dari representasi yang lama. Jadi lebih baik menulis yang baru. Jawabannya ya klise. Kehadiran saya sebagai pekerja seni tak terlepas dari penikmatnya. Karena saya tidak termasuk pekerja seni yang bekerja untuk diri sendiri.

Bagaimana anda menanggapi kritik atas karya Anda?

Saya sering bertemu banyak orang dan merasa senang kalau karya saya diapresiasi. Walaupun mungkin karya itu dianggap tak terlalu penting. Berarti saya bisa masuk ke dalam dia lewat bahasa saya. Jika bisa menembus dia, berati bahasa saya bisa menyusup ke banyak kalangan. Ya saya senang. Berhasil.

Tapi ada juga yang saya hormati tapi apresiasinya hanya basa-basi. Itu terlihat. Kalau ada yang mengecam, meskipun sakit hati, tapi kalau isinya bagus saya justru dapat input. Seperti almarhum M Rustandi Kartakusuma dengan karyanya 'Prabu dan Puteri'. Dia pengarang yang pintar.

Pada tahun 1972-1973, banyak orang memuji naskah drama saya yang menang di lomba penulisan drama di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) berjudul "Aduh". Banyak yang mengatakan itu pembaharuan.

Tapi beliau (Rustandi) justru bilang, naskah saya meniru drama absurd barat. Tapi waktu bertemu, saya biasa saja walau dia sudah maki-maki. Dia terkejut. Kan itu hak dia. Mungkin dia tidak mengerti atau tak cocok dengan tulisan saya.

Bisa dijelaskan soal konsep 'teror mental' di dalam karya-karya Anda?

Walau kita sudah merdeka, tapi konsep kekolonialismean masih ada. Kita masih menunggu disuapin terus. Selalu menunggu sehingga butuh terapi. Merdeka itu bukan kamu bebas dan nunggu diurus, tapi kamu bisa berbuat. Juga harus melihat kemerdekaan orang lain. Kalau mengganggu kemerdekaan orang lain, ya kamu kena penalti.

Selain itu, kamu boleh tidur sepuasmu. Tapi kamu harus bangun sendiri. Kalau tidak, kamu akan ketinggalan. Kalau saat dijajah, kamu ketiduran akan dibangunkan majikanmu.

Skenarionya banyak. Misal saya tanya ke orang yang mau berhenti sekolah,"Kamu benar berhenti sekolah?" Saya tanya sampai 1.000 kali, sampai dia bosan dan katakan, "Iya, saya tidak berhenti sekolah." Itulah teror saya. Meneror mental bukan fisik. Bukan dicelakakan, bukan sesuatu yang berbahaya. Untuk mengajak dia "ngeh" atau sadar untuk bangun lagi.

Bagaimana sastra Indonesia sekarang?

Posisinya masih jadi hiburan yang menyenangkan. Jika dapat memenuhi yang diinginkan, ya itu yang dibeli. Itu yang jadi best seller. Sementara buku yang penting tersisih. Tiga bulan tidak melewati 1.000 eksemplar, ya sudah buang saja. Imbalan ke penulis juga kecil. Kecuali penulis yang laku seperti Andrea Hirata. Tapi bagi pengarang lain, kadang justru penerbit yang minta uang ke kita untuk bantu penerbitan.

Banyak penerbit nakal walau sudah besar. Seperti buku “Klop” saya, itu hanya dibayar 15 cetakan. Padahal saya tidak tahu itu berapa kali cetak, berapa pemasukannya. Karena pembeli buku di Indonesia ini masih berada di taraf hiburan di buku-buku pop yang seharusnya tak perlu dibaca. Buku yang enak dibaca, membawa amanah dan pesan, malah tersingkir.

Keponakan saya juga ada yang menulis dan minta pendapat saya. Saya tanya dia, mau jadi pengarang populer atau serius? Kalau serius tak akan ada uangnya dan bukunya paling dicetak 1000-2000 eksemplar dan tak terlihat lagi. Tapi kalau pengarang populer, tidak usah menulis memakai EYD (ejaan yang disempurnakan) dan bahasa Indonesia yang benar. Pakai bahasa gaul saja juga laku. Sampai sekarang dia tak minta pendapat saya. Menurutnya, saya bukan orang yang pas untuk diminta pendapat. Bukunya dia ruwet sekali, tapi ngawur eksperimennya. Dibuat asal imajinatif dan tak ada bobotnya. Dan itu banyak sekarang.

Lalu bagaimana seharusnya?

Seharusnya kita bangga dengan penulisan bahasa yang benar. Walaupun bahasa kita mudah, tak ada past ataupun future tense, tapi 50 persen isi bahasa kita tentang perasaan. Dan 25 persennya baru berupa gerakan, dan 25 persen bisa dilihat di kamus. Banyak kata menyindir. Bahkan untuk mengartikan ke bahasa lain, ada penerjemah yang harus berkonsultasi langsung ke saya karena banyak makna majemuk dalam bahasa kita.

Yang mau saya katakan, kemajuan bahasa kita amat pesat. Bahasa anak sekarang pintar dan kaya sekali. Dulu kita banyak masuk bahasa daerah karena sulit berbahasa Indonesia. Tapi sekarang, bahasa daerah muncul sebagai bahasa Indonesia. Permainan katanya bagus, terlatih dan akrobatik. Analoginya saya ambil di film, di mana Slamet Raharjo pernah ditanya bagaimana sineas muda kita? Dia bilang, sineas kita dalam teknis jempolan. Tapi isinya begini (jempol tangan ke bawah). Bobot dan isinya kurang karena kurang referensi. Sama saja begitu di dunia tulis-menulis.

Pementasan di mana yang berkesan?

Pernah di Yogya saya menyutradarai dan memainkan sebuah pementasan. Ada karakter jenderal pintar, tapi saya ubah jadi bodoh karena pemainnya tak sanggup melakoni tokoh jenderal pintar. Ini banyak dikritik. Tapi saya terima karena saya melakukan sesuatu yang tidak benar.

Tapi saya juga senang jika diapresiasi. Misal pada tulisan 'Nyali' yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Prof Benedict Richard Anderson, seorang profesor emeritus yang diakui sebagai pakar sejarah dan perpolitikan internasional mengatakan,"Ini buku terbaik tentang G 30 S". Dan saya juga merasa ikut senang karena beliau ahli yang dipercaya di internasional.

Jika anda pernah menulis dengan baik terkait peristiwa G 30 S, bagaimana melihat gerakan kiri yang kini disebut muncul lagi?

Sebagian mengatakan komunis tak mungkin bangkit lagi, karena sudah mati. Dan anak mudanya menunjukkan bahwa pemerintah harus minta maaf terhadap pembunuhan G 30 S. Tapi ada juga yang mengatakan, anak muda yang umurnya di bawah 50 tahun tak mengetahui bagaimana peristiwa tahun 1965 ke belakang.

Saya mungkin salah satu yang ikut mengalami, bagaimana mencekamnya periode 1965 ke belakang. Bagi saya, tahun 1965 ke depan, tak bisa dilepaskan dari tahun 1965 ke belakang. Nah, banyak anak muda yang tak merasakan dan tak percaya bahwa saat itu sangat mencekam.

Saat saya di Yogya, mahasiswa di sana bunuh-bunuhan. Ada tiga kekuatan di sana, yakni GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Mereka saling culik hanya karena alasan sepele, misal salah jalan. Ini tak diketahui oleh mereka yang kini usianya 50 tahun atau bahkan 60 tahun. Saat itu mereka masih kecil.

Apa kenangan lainnya?

Dulu kampanye itu jor-joran (persaingan) menakutkan. Pemilu pertama tahun 1952 itu pemberontakan, juga dibarengi peperangan antara kita. Desa saya, Banjar Lebah, Bali, terkenal pemudanya bersatu. Banyak pelajar, olahragawan, serta seniman. Pemilu pertama membuat Banjar Lebah pecah karena separuhnya PNI separuhnya PSI. Bahkan ada keluarga yang terbelah. Bahkan sampai sekarang menjadi tidak bersaudara lagi.

Kalau di Jakarta mungkin tak terasa, tapi di Bali terasa sekali. Mereka yang merasa terancam mendatangi yang mengancam untuk merelakan nyawanya. Saat itu begitu mencekam.

Jadi soal G 30 S, jangan melihat berdasar persepsi saja. Itu sesat. Ketika kita melawan penjajah, semua ikut melawan. Tapi kemudian, kita mulai terbelah dengan partai-partai. Partai menjadi semacam pembuat perpecahan baru. Setelah musuh bersama hilang. muncul musuh bersama dari diri sendiri.

Profesor Benedict juga bilang, kita setelah kemerdekaan ingin membagi kemerdekaan seperti kue ulang tahun. Padahal kan tidak boleh dibagi, tapi dimiliki bersama. Tapi ada kelompok-kelompok yang mau seperti itu. Seberapa banyak dia ingin menarik. Seberapa banyak itulah dia ingin kuasai negara kita.

Pendapat anda tentang partai-partai saat ini?

Kamu percaya mereka berbuat untuk rakyat? Saya tak percaya pada partai manapun yang mau berbuat untuk rakyat secara keseluruhan. Itu basa-basi saja. Dia berbuat hanya untuk kader partainya, bukan rakyat.

Kalau tentang presiden?

Kita baru bisa melihat sesudah selesai menjabat. Makanya sekarang ada pemilu langsung. Bahwa dia (presiden) berafiliasi pada partai, ya kita lihat bagaimana akhir jabatannya. Saya rasa DPR itu wakil partai, bukan wakil rakyat lagi. Berapa banyak anggota DPR yang cuma cari rezeki? Gaji anggota DPR untuk duduk saja puluhan juta. Semua tertarik menjadikan mata pencaharian. Bagusnya gaji kecil saja, jadi yang mengabdi saja yang mau jadi anggota DPR. Koalisi bukan untuk rakyat, tapi koalisi untuk jabatan. Lihat mereka dulu mendukung siapa, lalu koalisinya pecah dukung ke mana.

Jadi anda belum punya penilaian terhadap Presiden Jokowi?

Pemerintahan Jokowi baru setahun. Tak bisa mengritik buku dari cover belakangnya. Kalau bisa dua periode, kita baru bisa melihat. Kalau satu periode susah menilainya. Kita sudah merdeka 70 tahun. Sudah banyak presiden yang terlanjur menancapkan tiang-tiangnya. Untuk mengubah memang tak bisa dalam lima tahun. Paling tidak 10 tahun, itu pun tak sempurna.

Sudah terbentuk pola, setahun kita baru bisa mengira-ngira dia ke mana. Baru warming up, buat kabinet, dll. Dua tahun mulai kelihatan aksinya. Tiga tahun lah bagus. Tahun keempat kendor karena menyiapkan pemilu. Tahun kelima sudah mulai tak fokus. Semua juga begitu. Tak menteri, tak DPR, efektifnya cuma 2 tahun - 3 tahun.

Apa yang orang tidak tahu tentang Anda?

Saya ini malas membaca. Pernah saya pergi ke Jepang, bertemu seorang yang luar biasa hebatnya. Tapi dia katakan ke saya jarang membaca. Saya tanya kenapa, dia bilang takut terkontaminasi, ingin asli dan ingin otentik. Saya terkejut juga dengan pernyataan itu. Terlebih saya juga malas baca. Jadi saya punya alibi. Dibenarkan.

Sampai rumah saya berkata pada diri sendiri,"Oke, saya berhenti membaca. Saya masih bisa jadi orang hebat walau berhenti membaca". Tapi saya tidak bisa lakukan karena jadi wartawan harus rajin baca. Kalau tidak, dimarahi pemimpin redaksi. Tapi saya screening, hanya baca yang saya anggap penting. Mata ini sudah terlatih. Tapi ya itu tadi, saya pada dasarnya malas membaca.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA KHUSUS atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho