Menuju konten utama

Berkebun di Tengkuk Penulis

Di Indonesia, para pembajak diperkirakan telah menggarong 30 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar 397 miliar rupiah pada 2006. Sayangnya, sangat sedikit kasus pembajakan buku yang dilaporkan ke aparat penegak hukum

Berkebun di Tengkuk Penulis
Penjual buku di Pasar Senen, Jakarta. [tirto/andrey gromico]

tirto.id - "Berapa?"

"Dua belas sol."

"Sepuluh, ya."

"Jangan pelit begitu, Bung. Ini buku anyar, baru datang hari ini."

"Aku tahu buku itu baru, aku yang menulisnya."

Percakapan itu terjadi di sebuah perempatan jalan di Lima, Agustus 2009, antara Daniel Alarcón, seorang novelis Amerika Serikat kelahiran Peru, dan seorang pengasong buku bajakan. Alarcón melaporkan obrolan itu dan hal-hal lain seputar pembajakan buku di Peru secara memikat lewat tulisan berjudul “Life among the Pirates” yang diterbitkan Granta.

Menurut International Intellectual Property Alliance, industri penerbitan nasional Peru adalah korban pembajakan terparah kedua di Amerika Latin—setelah Brazil yang ekonominya delapan kali lipat lebih besar. Para perompak mempekerjakan lebih banyak orang ketimbang penerbit dan toko buku, dan secara kolektif menghasilkan dampak ekonomi senilai 52 juta dolar Amerika Serikat per tahun, setara perolehan industri buku yang legal. Mereka meladeni pasar dalam negeri dan sejumlah negara lain di Amerika Latin.

Pada 2013, International Publishers Association (IPA) menyelenggarakan sebuah konferensi tentang hak cipta di Lima. Pokok yang ditekankan: penghargaan atas hak cipta dan akses terhadap bacaan adalah dua hal yang sama penting, dan karenanya mesti diperbaiki secara bersamaan. Itu seperti mengumumkan pentingnya sanitasi kepada orang-orang yang sedang digempur mencret.

Bisnis buku rompakan berlangsung terang-terangan di Peru. Para pengasong berkeliaran di mana saja, mulai dari simpang-simpang jalan hingga pantai. Tidak sedikit pula yang menggelar dagangan di sekitar sekolah, kampus, dan kantor-kantor pemerintahan. Bahkan di kios-kios yang tampilannya tidak mengundang curiga, calon pembeli hanya perlu menyebut “edisi Peru” atau “versi ekonomis”, dan si penjual akan segera menyingkapkan rahasianya.

Bagi orang-orang yang menggantungkan hidup pada perbukuan, situasi itu mungkin terasa seperti pagebluk yang tak kunjung selesai. Namun, sebagaimana umumnya keadaan yang terlampau buruk, ada ironi yang “menghibur” di dalamnya: di Peru, stiker bertuliskan “Belilah Karya Asli” memiliki bobot yang sama dengan stiker “Best Seller” di tempat-tempat lain. Para pekerja buku gusar karya-karya mereka dirompak, tapi di sisi lain, pengabaian dari pembajak malah mengundang getun.

“Itu berarti seseorang telah berhitung, lalu mengambil kesimpulan bahwa bukumu takkan laku,” kata Alarcón kepada Manuel Vigo dari Informal City Dialogues. “Dan jika bukumu tidak dibaca, artinya kau gagal.”

Para pembajak menentukan sasaran mereka berdasarkan potensi terjual. Upaya mempertahankan prinsip itu, dalam banyak kesempatan, membuat mereka memutar keran-keran muslihat sampai pol. Pada buku kumpulan cerita pendek La palabra del mudo atau The Word of the Mute edisi rompakan, misalnya, nama penulis yang tertera ialah Mario Vargas Llosa alih-alih Julio Ramón Ribeyro, pengarang buku itu yang sebenarnya.

Peru tentu tak sendirian. Nigeria, yang kini menggantikan Afrika Selatan sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Afrika, juga memiliki industri buku yang sengsara dihajar pembajakan. Menurut laporan IPA pada 2014, sekitar 75 persen pasar buku di negara tersebut dikuasai oleh para perompak buku.

Lawrence Aladesuyi, Sekretaris Eksekutif Nigerian Publishers Association (NPA), mengatakan bahwa pembajakan buku di Nigeria adalah bagian dari jaringan internasional yang rapi dan canggih. Buku-buku itu dicetak secara masif di luar negeri, terutama di India dan Cina, lalu dikirim ke Nigeria dengan samaran sebagai perlengkapan sekolah. Aladesuyi juga menyingkapkan sebuah horor: “Bos-bos narkoba dan para pencuci uang mancanegara kini beralih ke bisnis buku rompakan karena mereka tahu risikonya rendah.”

Ia kemudian menawarkan sebuah strategi perang: sanksi berat untuk percetakan yang memproduksi buku tanpa persetujuan pemilik hak cipta, pemeriksaan berlapis di pabean, serta razia dan penyitaan berkala oleh negara. Penerbit dan negara mengalami kerugian berat karena pembajakan buku, maka wajar keduanya tergoda melakukan penanganan demikian. Itu tak berarti mereka tidak mengerti bahwa penyitaan, misalnya, telah dilakukan di seluruh dunia untuk hampir setiap urusan dan tidak pernah menyelesaikan apa-apa.

Pada 23 Juni 2009, Cámara Peruana del Libro (CPL)--konsorsium penerbit, distributor, dan pedagang buku Peru—bersama kepolisian bertenaga “insentif” sebesar 500 dolar membeslah 90 ribu eksemplar buku bajakan senilai satu juta sol atau 348 ribu dolar Amerika Serikat dari Consorcio Grau, sebuah pasar di Lima yang terkenal sebagai pusat perdagangan barang palsu.

Sampai tiga bulan kemudian buku-buku itu cuma tertumpuk di gudang, sebab pengadilan belum memutuskan tindakan yang mesti diambil atasnya. CPL ingin mereka dicacah jadi bubur kertas, tapi menurut hakim buku-buku itu lebih baik disumbangkan kepada Promolibro, program kurang dana milik negara untuk meningkatkan minat baca di daerah-daerah tertinggal.

Kemacetan di pengadilan itu membikin rungsing Raúl Villavicencio, penasihat hukum CPL. “Bila kami terpaksa membayar polisi supaya razia terlaksana, para pembajak tentu bisa pula membayar untuk mendapatkan kembali barang dagangan mereka,” ujarnya. “Setengah dari buku-buku di gudang itu pasti pulang ke pasar. Aku berani menjaminnya dengan hidupku.” Sementara itu, kios-kios buku di Consorcio Grau yang dirazia hanya butuh tempo kurang dari satu harmal untuk kembali mengisi penuh rak mereka dengan barang haram.

Pada 2005, nilai bisnis buku bajakan di seluruh dunia adalah 15,8 miliar dolar Amerika Serikat, 3,4 miliar dolar lebih banyak dibandingkan catatan tujuh tahun sebelumnya. Publishers Weekly, pemilik data tersebut, juga menyatakan bahwa Rusia dan Cina selalu jadi dua penyumbang terbesar. Hal itu menengarai bahwa bisnis buku bajakan bukanlah bawaan musim, ia ajek dan senantiasa berkembang.

Di Indonesia, para pembajak diperkirakan telah menggarong 30 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar 397 miliar rupiah pada 2006. Buku-buku yang mereka andalkan antara lain Kamus Indonesia-Inggris dan Kamus Inggris-Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily, teks-teks perkuliahan rumpun sains dan teknologi, serta novel-novel populer seperti karya Dewi Lestari dan Habiburrahman El Shirazy.

Anehnya, penerbit ternyata tidak pernah melaporkan pembajakan buku yang terjadi. Hingga Desember 2015, Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (HKI) tidak menerima pengaduan atas tindakan pembajakan buku. Menurut Bisnis Indonesia, pengaduan hanya mencakup Paten 12 laporan, Merek 15 laporan, Hak Cipta 2 laporan, dan Desain Industri 3 laporan. Pembajakan atau pengopian ada di hak cipta dengan dua laporan saja, tetapi tidak meliputi pelaporan terkait buku bajakan. Hak cipta yang dilaporkan terkait dengan merek.

Salmon Pardede, Direktur Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (HKI), memperkirakan ada banyak alasan mengenai ketiadaan angka atas pelaporan buku bajakan.

Pertama, dikarenakan ketidaktahuan si pencipta kalau bukunya sudah dibajak. Apalagi bila terkendala jarak, pencipta hanya akan tahu jika ada orang lain yang memberitahunya.

Kedua, mengenai edukasi. Ada beberapa kultur yang berkembang di masyarakat yang justrumerasa senang kalau miliknya dibajak. Belum memiliki kesadaran bahwa ciptaanya memiliki nilai ekonomi.

Ketiga, dari pribadi para pencipta sendiri enggan melaporkan.

"Ada anekdot gue lapor kehilangan kambing, gue harus bayar kebo. Artinya akan mengeluarkan biaya besar. Padahal tidak, kalau mereka datang ke kami. Kami akan tindak," tuturnya.

Dari sisi pembeli, konsumen kebanyakan membeli buku bajakan tentu bukan karena menyukai aroma lem aica atau buat memenuhi gairah ganjil terhadap kertas murahan, halaman salah cetak, dan tinta luntur. Ia umumnya dipilih ketika versi asli tak terakses, sebab tidak tersedia di pasar atau ada tetapi dijual dengan harga yang si peminat tak sanggup atau tidak berkenan menanggungnya.

Perkara akses itu, terutama soal harga, punya kaitan erat dengan negara. Kecuali kitab suci, buku-buku pelajaran agama, dan buku-buku pelajaran umum (karya-karya fiksi dan nonfiksi yang telah disahkan oleh kementerian pendidikan sebagai bagian dari pendidikan formal) yang jauh dari cukup untuk memenuhi cita-cita mulia “mencerdaskan kehidupan bangsa”, setiap terbitan resmi di Indonesia terkena pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen. Ditambah pajak pembelian kertas dan pajak penghasilan (pph), penerbit lazim menyetor hingga 13 persen dari harga jual buku kepada negara.

Dengan asumsi penerbit memberikan royalti sebesar 10 persen kepada penulis dan ongkos titip jual kepada distributor dan toko sebesar 55 persen, jatah yang tersisa tinggal 22 persen saja dari harga jual buku. Itu berarti penerbit hanya memperoleh 11 ribu dari setiap buku seharga 50 ribu rupiah yang laku. Taruhlah buku itu dicetak 3 ribu eksemplar dengan ongkos 6 ribu rupiah per eksemplar. Andai ia terjual habis, penerbit mendapat untung sebesar 15 juta rupiah. Dari jumlah yang tidak seberapa itulah bayaran penyunting, perancang sampul, dan penata letak dikais.

Bagi penerbit-penerbit yang tak hendak mengabaikan hak penulis dan para pekerjanya sekaligus menolak mengisap darah pembaca lewat banderol yang kelewat mahal, situasi itu adalah panggung yang pas untuk mati. Ia bisa jadi kematian yang terhormat dan penuh gaya dan diiringi tangis banyak orang, tetapi mati adalah mati dan cuma mati.

Sementara itu, para perompak buku menjalankan pekerjaan mereka seperti menggowes sepeda di jalan datar berpemandangan elok pada hari yang teduh. Pendapatan tak perlu disisihkan selain untuk para pedagang dan biaya cetak. Sekalipun ada ancaman hukum sebagaimana diatur UU No. 28 tahun 2014, yaitu perdata (ganti rugi) dan pidana penjara maksimum 10 tahun dan/atau denda maksimum 4 miliar rupiah, sebagaimana umumnya delik aduan, proses yang mendahului hukuman itu kelewat berbelit dan merepotkan. Sepanjang 2015, menurut laporan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), tak ada satu pun pengaduan atas pembajakan buku di Indonesia.

Pada 24 April silam, Eka Kurniawan memacak foto O, novel terbarunya, di blog yang ia kelola. Dia pernah melakukan hal serupa dua bulan sebelum itu, tetapi dengan maksud yang berbeda. Pada Februari ia memberi kabar bahwa O akan segera beredar, sedangkan pada April, sebulan setelah novel itu terbit, ia mengumumkan bahwa O telah dibajak dan menyampaikan maklumat yang terkesan santai tetapi sedih: “belilah yang aseli, biar pengarang hepi.”

Sang pengarang, juga orang-orang yang peduli pada nasib buku, punya cukup alasan untuk lebih dari sekadar tidak hepi. Para perompak buku bukanlah pemberontak dermawan yang berhasrat menyebarluaskan pengetahuan dan gagasan. Mereka adalah orang-orang kaya, pemilik modal dan alat-alat produksi, yang berkebun di tengkuk penulis dan para pekerja buku. Mereka memanfaatkan lubang pada penegakan hukum, mencuri dari negara, serta mengeksploitasi kemiskinan sesama warga negara. Untuk semua itu, para pembajak buku mestinya diganyang secara sistemik.

Baca juga artikel terkait PEMBAJAKAN BUKU atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Indepth
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti