Menuju konten utama

Biografi Rasyid Ridha: Pemikiran dan Kontribusinya dalam Islam

Muhammad Rasyid Ridha adalah tokoh reformis Islam dibalik Tafsir Al-Manar. Berikut biografi Rasyid Ridha, pemikiran, dan pengaruhnya dalam dunia Islam.

Biografi Rasyid Ridha: Pemikiran dan Kontribusinya dalam Islam
Muhammad Rasyid Ridha. (FOTO/Wikimedia Commons)

tirto.id - Nama Muhammad Rasyid Ridha sudah tak asing dalam sejarah perkembangan Islam di dunia. Ia dikenal sebagai tokoh pembaru Islam yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan pemikiran keislaman modern.

Rasyid Ridha merupakan sosok yang berhasil membawa umat Islam ke dalam pemikiran yang lebih baru dan terbuka. Melalui karyanya, ia berusaha mengajak seluruh muslim untuk kembali ke ajaran Islam yang murni, memerangi bidah dan khurafat, serta menghilangkan paham fatalisme.

Rasyid Ridha telah wafat pada tahun 1935 silam. Meski puluhan tahun berlalu, pemikiran-pemikirannya tetap menjadi inspirasi, terus dipelajari, dan menjadi rujukan dalam berbagai diskusi tentang keislaman.

Siapa Rasyid Ridha?

Muhammad Rasyid Ridha

Muhammad Rasyid Ridha. (FOTO/Wikimedia Commons)

Muhammad Rasyid Ridha adalah seorang tokoh intelektual muslim sekaligus jurnalis yang kerap dijuluki sebagai tokoh pembaru atau reformis Islam. Ia adalah murid dari Muhammad Abduh, cendekiawan sekaligus penggagas modernisme Islam ternama dari Mesir.

Lahir di tengah kemunduran Islam, Rasyid Ridha sempat merasa prihatin melihat kondisi muslim yang tertinggal dari negara-negara Barat. Ia pun mulai berdakwah dan menyebarkan ide-ide pembaruannya yang lebih modern melalui tulisan.

Mengutip dari skripsi berjudul Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam Pengembangan Islam karya Andi Mappiaswan, Rasyid Ridha menyuarakan pembaruan di berbagai bidang, terutama agama, politik, dan pendidikan.

Di bidang agama, Rasyid Ridha menyerukan umat Islam agar benar-benar kembali pada ajaran yang murni dan benar, yaitu berdasarkan Al-Qur'an dan hadis. Ia juga membedakan antara peribadatan (hubungan dengan Allah SWT) dengan muamalah (hubungan dengan manusia).

Di bidang pendidikan, Rasyid Ridha juga mendorong umat Islam untuk membangun banyak lembaga pendidikan. Ia bahkan terlibat dalam pengembangan kurikulum pada masa itu. Menurutnya, pendidikan adalah salah satu bekal utama yang wajib dimiliki seorang muslim jika ingin maju.

Sementara di bidang politik, Rasyid Ridha menekankan pentingnya ukhuwah Islamiyah. Dengan keyakinan yang sama, ia menyerukan agar umat Islam kembali bersatu di bawah sistem hukum dalam satu kekuasaan berbentuk negara.

Seluruh pemikirannya ia tuangkan dalam bentuk tulisan. Salah satu karyanya yang paling terkenal dan berpengaruh adalah Tafsir Al-Manar yang ia tulis bersama gurunya, Muhammad Abduh.

Dibandingkan tafsir-tafsir lain pada masanya, Tafsir Al-Manar sarat akan nuansa pemikiran yang lebih maju dan modern. Pemikiran Rasyid Ridha pun memberikan pengaruh besar terhadap gerakan reformasi Islam di seluruh dunia. Ia bahkan menjadi inspirasi bagi banyak tokoh pembaru Islam di berbagai negara.

Biografi Rasyid Ridha

Ilustrasi Tokoh Pembaru Islam

Ilustrasi Tokoh Pembaru Islam. tirto.id/Sabit

Memiliki nama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin Al-Qalmuni Al-Husaini, dunia Islam lebih mengenalnya dengan nama Muhammad Rasyid Ridha.

Untuk lebih memahami sepak terjang dan pengaruh Rasyid Ridha dalam perkembangan Islam, mari mengenalnya lebih jauh melalui biografi singkatnya di bawah ini.

Latar Belakang dan Pendidikan

Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan pada 27 Jumadil Awal 1282 Hijriah atau bertepatan dengan 23 September 1865. Ia dilahirkan di Qalamun, sebuah desa di pantai Laut Tengah yang jaraknya tiga mil dari Tripoli, Lebanon. Di masa itu, Lebanon adalah bagian dari Kerajaan Turki Usmani.

Rasyid Ridha lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan Arab. Menurut jurnal Muhammad Rasyid Ridha (Antara Rasionalisme & Tradisionalisme) karya H. Masnur Kasim, Rasyid Ridha memiliki garis keturunan langsung dari Husain bin Ali yang tak lain adalah cucu Rasulullah SAW sehingga memiliki gelar “Sayyid”.

Ayahnya, al-Sayyid Ali-Ridha, adalah seorang ulama tarekat Syazaliyah. Oleh sebab itu, Rasyid Ridha sejak kecil sudah terbiasa hidup di keluarga yang religius, terbiasa memakai jubah dan surban, serta tekun dalam peribadatan seperti mengaji.

Dalam buku Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar karangan A. Athaillah, Rasyid Ridha mulai dimasukkan ke lembaga pendidikan tradisional (kuttab) di desanya pada saat usianya menginjak tujuh tahun.

Di lembaga pendidikan inilah Rasyid Ridha mulai belajar membaca, menulis, berhitung matematika, hingga menghafal Al-Qur'an. Tamat dari kuttab, Rasyid Ridha sempat belajar pada orang tua dan ulama setempat, tapi akhirnya melanjutkan pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah al-Rusydiyyah di Tripoli.

Di madrasah ini, Rasyid Ridha mulai belajar ilmu nahwu, sharaf, tauhid, fikih, hingga ilmu lain seperti ilmu bumi dan matematika. Namun, madrasah tersebut dimiliki oleh pemerintah Turki Usmani sehingga tujuan dari lembaga pendidikan ini memang untuk mencetak penerus pegawai pemerintahan.

Baru setahun belajar di sana, Rasyid Ridha yang tidak tertarik bekerja di pemerintahan akhirnya keluar dari madrasah tersebut. Selanjutnya, ia masuk ke Madrasah Wathaniyyah Islamiyyah yang dipimpin oleh Syekh Husayn al-Jisr.

Syekh Husayn al-Jisr adalah seorang ulama besar yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh al-Sayyid Jamal al-Din al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh. Dialah yang nantinya memiliki andil besar terhadap pemikiran-pemikiran Rasyid Ridha.

Madrasah Wathaniyyah mengajarkan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, mulai dari matematika, fisika, filsafat, hingga bahasa Prancis. Namun, sekolah ini akhirnya ditutup dan Rasyid Ridha pindah ke sekolah lain. Meski demikian, ia tetap berguru pada Syekh Husayn al-Jisr.

Rasyid Ridha juga diketahui berguru pada sejumlah ulama besar lainnya. Ia pernah belajar bahasa Arab dan sastranya pada Syekh Abdulghani al-Rafi’i dan Syekh Muhammad al-Qawaqiji. Ia juga belajar tentang fikih dan hadis pada Syekh Mahmud Nasyabah.

Hijrah ke Mesir dan Al-Manar

Dengan pengetahuannya yang luas berkat berguru dari berbagai ulama besar, Rasyid Ridha mulai fokus untuk berdakwah dan mengajak masyarakat di sekelilingnya untuk memperbaiki akidah. Ia berusaha membimbing banyak orang untuk menjauhi praktik bidah dan khurafat.

Banyak upaya yang dilakukan oleh Rasyid Ridha, mulai dari menggelar pengajian, menebang pohon yang dianggap keramat, hingga melarang orang-orang yang suka mengunjungi makam wali untuk mencari berkah.

Pemikiran Rasyid Ridha pun semakin berkembang setelah ia membaca majalah Al-‘Urwah Al-Wusqa yang diterbitkan oleh Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh di Paris, Prancis.

Majalah tersebut berisi ide-ide pembaharuan yang semakin membuka mata Rasyid Ridha. Terpengaruh oleh majalah tersebut, visinya pun mulai berubah.

Jika sebelumnya ia fokus ingin membuat umat Islam menjadi makin saleh, kini ia juga ingin agar umat Islam memiliki pemikiran yang lebih kritis dan maju. Ia ingin umat Islam dapat bersaing dengan bangsa-bangsa Barat di segala bidang, termasuk di bidang sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Sampai akhirnya Rasyid Ridha berhasil bertemu dengan Muhammad Abduh di tahun 1885. Dari perjumpaan tersebut, mereka sempat berdialog dan membuat Rasyid Ridha semakin bersemangat mengikuti idolanya tersebut. Pada tahun 1898, Rasyid Ridha pun memutuskan hijrah ke Mesir.

Selama di Mesir, Rasyid Ridha berguru kepada Muhammad Abduh sekaligus menjadi mitra dan pengulas pemikiran-pemikirannya. Setelah menetap di Mesir beberapa bulan, Rasyid Ridha menerbitkan majalah Al-Manar.

Majalah itu turut disetujui oleh Muhammad Abduh dan digunakan sebagai media untuk menyuarakan pembaruan Islam. Majalah ini mulai terbit pada 22 Syawal 1315 H (15 Maret 1898). Majalah ini awalnya terbit seminggu sekali, tapi kemudian berubah-ubah, mulai dari setengah bulan sekali, sebulan sekali, hingga hanya 9 kali dalam setahun.

Melalui majalah inilah Rasyid Ridha menuangkan pemikiran-pemikirannya di bidang agama, sosial, ekonomi, hingga pendidikan. Majalah ini pula yang menjadi media Rasyid Ridha untuk memberantas bidah serta paham fatalisme di kalangan muslim.

Kemunculan majalah Al-Manar ini berangkat dari keinginan Rasyid Ridha akan adanya tafsir Al-Qur’an yang lebih modern dan disesuaikan dengan ide-ide pemikiran dari sang guru.

Setiap keterangan dari Muhammad Abduh kemudian dicatat dan disusun dalam karangan yang lebih teratur. Karya tulis Rasyid Ridha ini kemudian diperiksa oleh Muhammad Abduh, lalu diterbitkan melalui Al-Manar.

Jadi, majalah ini pada dasarnya berisikan ide pokok pemikiran dari Muhammad Abduh, tapi kemudian diuraikan kembali oleh Rasyid Ridha. Dari sinilah muncul istilah Tafsir Al-Manar.

Sayangnya, tafsir ini belum sempat dirampungkan. Muhammad Abduh diketahui memberikan tafsir hanya sampai surah An-Nisa ayat 125 yang kemudian dilanjutkan oleh Rasyid Ridha.

Tafsiran Alquran Muhammad Rasyid Ridha diawali dari sebagian surah An-Nisa, meneruskan tafsir dari gurunya. Namun, sejumlah pendapat Rasyid Ridha juga dapat ditemukan mulai dari surah Al-Fatihah, Al-Baqarah, hingga An-Nisa.

Rasyid Ridha sendiri hanya sempat merampungkan tafsir hingga surah Yusuf ayat 101. Tafsir Al-Manar pun tidak pernah diselesaikan oleh Rasyid Ridha karena beliau wafat pada 22 Agustus 1935.

Pemikiran Rasyid Ridha

Ilustrasi Pemikiran Tokoh Pembaru Islam

Ilustrasi Pemikiran Tokoh Pembaru Islam

Semasa hidupnya, Rasyid Ridha memiliki pemikiran kritis dan maju berkat pengaruh guru-gurunya. Berikut ini adalah beberapa pemikiran Rasyid Ridha yang berkaitan dengan agama, politik, hingga pendidikan.

Tafsir Modern dan Rasional

Bagi Rasyid Ridha, Al-Qur’an bukanlah sebuah buku atau benda mati yang hanya bisa dipahami secara literal dan kaku, tapi Al-Qur’an adalah sebuah petunjuk yang “hidup” dan relevan untuk segala zaman.

Rasyid Ridha menekankan pentingnya penggunaan akal dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Tujuannya agar makna maupun pesan-pesan yang tersirat di dalamnya dapat dipahami dan bisa menjawab kebutuhan umat.

Itulah sebabnya Rasyid Ridha selalu menyerukan agar umat Islam kembali berpegang teguh pada Al-Qur’an dan hadis, terutama dalam hal peribadatan kepada Allah SWT.

Dalam hal ini, semua ketentuan telah tercatat jelas dalam Al-Qur’an dan hadis sehingga tak dapat diubah-ubah meskipun dunia terus mengalami perkembangan.

Reformasi Sosial dan Pendidikan

Rasyid Ridha juga memberikan kritik tajam pada praktik taqlid. Taqlid sendiri adalah keyakinan terhadap pendapat ulama terdahulu dan hanya mengikutinya tanpa disertai pemahaman yang kritis.

Menurut Rasyid Ridhan, hal ini membuat umat Islam mengalami stagnasi. Umat Islam jadi susah untuk maju karena enggan menggali makna Al-Qur’an secara aktif dan rasional. Padahal, Islam mengajarkan manusia untuk selalu berpikir dan merenungkan berbagai hal.

Dari sini pula Rasyid Ridha menekankan pentingnya pendidikan. Ia percaya bahwa umat Islam yang senantiasa menggunakan akal, berpikir kritis, dan memperkuat pendidikannya akan dapat maju serta mampu bersaing dengan umat atau bangsa lainnya.

Rasyid Ridha juga memiliki pemikiran bahwa ilmu pengetahuan modern tidak bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu, umat Islam pun seharusnya terus mempelajari ilmu pengetahuan agar bisa maju seperti dunia Islam di zaman lampau.

Gagasan Politik Islam

Rasyid Ridha melihat bahwa salah satu faktor yang membuat Islam mengalami kemunduran adalah adanya perpecahan. Rasyid Ridha meyakini bahwa umat Islam dapat maju jika mau bersatu dalam satu keyakinan, satu sistem moral, pendidikan, hukum, dan tunduk dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara.

Tentunya bukan negara ala bangsa Barat yang diinginkan oleh Rasyid Ridha, melainkan negara berbentuk khilafah. Menurutnya, sistem pemerintahan Islam dianggap paling ideal untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat.

Kontribusi dalam Tafsir Al-Qur’an

Ilustrasi Al-Qur'an

Ilustrasi Al-Qur'an. (istockphoto)

Salah satu kontribusi besar Rasyid Ridha dalam perkembangan Islam modern adalah adanya tafsir Al-Qur’an yang dikenal dengan nama tafsir Al-Manar. Dinamakan demikian karena tafsir terhadap kitab suci Al-Qur’an tersebut awalnya diterbitkan melalui majalah Al-Manar

Tafsir Al-Manar

Tafsir Al-Manar merupakan salah satu karya monumental dalam sejarah tafsir Al-Qur’an modern. Tafsir ini digagas oleh Rasyid Ridha dan didasarkan pemikiran-pemikiran gurunya, Muhammad Abduh.

Tafsir Al-Manar tidak lengkap dan tidak pernah dirampungkan oleh pencetusnya. Tafsir yang didasarkan dari pemikiran Muhammad Abduh terhenti sampai surah An-Nisa ayat 125. Tafsir kemudian diteruskan oleh Rasyid Ridha hingga surah Yusuf ayat 101.

Meski demikian, pemikiran atau pendapat Rasyid Ridha juga ditemukan di sebagian surah-surah awal, termasuk di surah Al-Fatihah, Al-Baqarah, hingga An-Nisa.

Mengingat hasil tafsirnya yang lebih banyak, maka tak heran bila tafsir Al-Manar dianggap sebagai hasil karya Rasyid Ridha meskipun mengandung gagasan dari Muhammad Abduh.

Sementara terkait metode atau gaya tafsirnya, Al-Manar mencontoh sang guru, Muhammad Abduh, yakni menjauhi israiliyat serta menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh orang awam.

Rasyid Ridha diketahui menggunakan metode tahlili atau analisis dalam tafsirnya. Hal ini terlihat lewat penjelasan dan penafsiran per ayat. Ia menjelaskan makna yang terkandung di dalamnya lewat kata per kata dari ayat yang dimaksud.

Di sisi lain, Rasyid Ridha juga memakai metode lain dalam penafsirannya, yaitu metode maudhu'i (tematik). Artinya, ia menghimpun ayat-ayat yang memiliki redaksi sama, lalu di akhir penafsiran, Rasyid Ridha menjelaskan hubungan atau korelasi antara ayat-ayat tersebut.

Persamaan Pemikiran dengan Muhammad Abduh

Muhammad Abduh

Muhammad Abduh. (FOTO/Wikimedia Commons)

Pemikiran Rasyid Ridha banyak dipengaruhi oleh gurunya yang tak lain adalah Muhammad Abduh. Sebagai murid, tentu gagasan Rasyid Ridha memiliki beberapa kesamaan dengan gurunya.

Lalu, bagaimana persamaan pemikiran dari Muhammad Abduh dengan Rasyid Ridha? Berikut beberapa contohnya:

1. Pembaruan di Bidang Agama

Baik Rasyid Ridha maupun Muhammad Abduh, keduanya sama-sama menekankan pentingnya penggunaan akal (rasionalitas) dalam memahami ajaran Islam. Mereka menolak praktik taqlid yang sekadar mengikuti pendapat ulama terdahulu tanpa alasan atau pemikiran yang kritis.

Oleh karena itu, keduanya sama-sama mendorong umat Islam untuk melakukan ijtihad, yaitu usaha sungguh-sungguh dalam memahami dan menerapkan ajaran Islam untuk menentukan solusi dari sebuah masalah sesuai dengan konteks zaman.

Ijtihad diyakini dapat memicu umat Islam untuk berpikir lebih kritis. Meski demikian, ijtihad tidak berlaku pada masalah yang berkaitan dengan ibadah, tapi lebih kepada masalah-masalah muamalah atau kemasyarakatan.

2. Pembaruan dalam Pendidikan Islam

Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha sepakat bahwa sistem pendidikan Islam (di masa mereka saat itu) perlu direformasi. Mereka berpendapat bahwa pendidikan adalah salah satu kunci agar umat Islam bisa berkembang pesat dan mengalami kemajuan.

Mereka pun mendorong agar umat Islam tak hanya belajar agama, tapi juga ilmu pengetahuan modern. Dengan berbekal kedua ilmu tersebut, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yakin bahwa umat Islam dapat bersaing dengan bangsa-bangsa Barat yang saat itu jauh lebih maju.

3. Kritik terhadap Bidah

Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha sama-sama menentang praktik-praktik keagamaan yang dianggap sebagai bidah dan tidak memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur'an dan hadis.

Mereka pun mendorong umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam yang murni dan menjauhkan diri dari praktik-praktik yang dapat menyesatkan atau mengaburkan esensi ajaran Islam.

Demikian biografi Rasyid Ridha dan pengaruhnya dalam perkembangan dunia Islam modern. Pemikirannya yang visioner telah membuka jalan bagi pembaruan di banyak bidang.

Sebagai generasi muslim, penting bagi kita untuk memahami pemikiran-pemikiran tokoh pembaru seperti Rasyid Ridha. Memahami gagasannya mendorong kita untuk bersikap lebih kritis, tidak jumud (beku) dalam beragama, dan senantiasa terbuka terhadap perubahan demi kemaslahatan umat.

Baca juga artikel terkait TOKOH ISLAM atau tulisan lainnya dari Erika Erilia

tirto.id - Edusains
Kontributor: Erika Erilia
Penulis: Erika Erilia
Editor: Erika Erilia & Yulaika Ramadhani