tirto.id - Dalam sejarah sepak bola kita, sering kali terdengar pertanyaan yang menggelitik: benarkah Jepang, raksasa sepak bola Asia saat ini, pernah berguru tata kelola liga kepada Indonesia pada era 1980-an?
Pertanyaan ini muncul seiring klaim yang kerap diembuskan dalam diskusi sepak bola nasional, merujuk pada masa keemasan Liga Sepak Bola Utama (Galatama), liga semiprofesional pertama di Indonesia yang disebut-sebut menjadi acuan bagi delegasi dari Negeri Sakura.
Apakah ini folklor atau sekadar mitos heroik untuk menyuntikkan kebanggaan pada masa lalu sepak bola kita, atau ada kepingan fakta yang memang menghubungkan dua kutub sepak bola Asia ini di masa lampau?
Galatama dan Mitos Jepang hanya Berguru ke Indonesia
Pada 1979, delegasi sepak bola Jepang memang mengunjungi Indonesia untuk studi banding tentang Galatama, liga semiprofesional Indonesia saat itu.
Kunjungan terjadi ketika sepak bola Jepang belum berkembang pesat seperti sekarang. Saat itu, dalam beberapa pertemuan di sejumlah turnamen, Indonesia berkali-kali mampu mengalahkan Jepang, misalnya kemenangan 5-3 di Asian Games 1954 dan 7-0 di Turnamen Merdeka 1968. Kemenangan terakhir Indonesia terjadi pada 24 Februari 1980 dalam laga persahabatan dengan skor 2-0. Sejak saat itu, Jepang konsisten mendominasi.
Kompetisi Galatama berbeda dengan Kompetisi Perserikatan yang umumnya didanai pemerintah daerah. Galatama melibatkan tim yang didukung perusahaan swasta atau individu, seperti Niac Mitra (Surabaya), Pelita Jaya (Jakarta), dan Arseto (Solo).
Liga ini menawarkan format kompetisi modern dengan sistem poin: menang 2 poin, seri 1 poin, kalah 0 poin, dimainkan dalam format kandang-tandang dan dikembangkan secara profesional.
Galatama dimulai dengan 10 tim pada musim perdana 1979/1980 dan berkembang hingga mencakup lebih banyak klub, meski sempat menghadapi tantangan seperti skandal suap dan pengelolaan keuangan yang kurang stabil.
Kompetisi ini juga menjadi wadah bagi pemain legendaris seperti Ricky Yacobi dan Ronny Pattinasarani. Keunikan Galatama, terutama pendanaan swasta dan struktur profesionalnya, menjadi inspirasi bagi Jepang melakukan studi banding.
Istilah "Jepang berguru ke Indonesia" kemudian berkembang membentuk narasi dari kunjungan studi banding tersebut, namun konteksnya perlu dipahami dengan benar. Federasi Sepak Bola Jepang (JFA) tidak hanya belajar dari Indonesia, tetapi juga melakukan benchmarking ke berbagai negara dengan tradisi sepak bola maju seperti Jerman dan sejumlah negara Amerika Latin untuk mempersiapkan liga profesional mereka.
Kesuksesan sepak bola Jepang adalah hasil perpaduan pengetahuan dari berbagai sistem sepak bola global, bukan hanya dari satu sumber.
"Bahwa mereka meninjau dan studi banding ke Galatama, itu betul. Tetapi, sepak bola Jepang sebenarnya tidak sehijau itu," ujar pengamat sepak bola, Tommy Welly, seperti dikutip Skor.
Ketika delegasi Jepang berkunjung, Galatama yang dimulai pada 18 Maret 1979 menjadi rujukan tata pengelolaan sepak bola modern nasional. Ironisnya, meski Indonesia saat itu menjadi contoh, sepak bola Indonesia justru stagnan, berbeda dengan Jepang yang maju pesat.
Meski keduanya memulai liga profesional dengan selisih hanya setahun, Jepang (1993) dan Indonesia melalui Ligina (1994-1995), nasib mereka berbeda drastis.
Kesuksesan Jepang bukan hanya karena kunjungan ke Galatama, tapi kemampuan menerapkan strategi komprehensif, jangka panjang, dan disiplin. Mereka memadukan pelajaran dari berbagai sumber dan mengadaptasinya sesuai konteks mereka.
"Tapi justru setelah itu di Indonesia malah terkait dengan pemerintahannya seperti itu. Karena banyak skandal suap juga di Galatama. Namun bukannya dicari solusinya, malah akarnya dicabut (Galatama bubar)," kata Timo Scheunemann, mantan pelatih dan direktur pengembangan pemuda PSSI, seperti dikutip Historia.
Meski mengalami pasang surut karena tidak konsisten dalam format serta dihantam suap dan judi, Galatama mulai menemukan momentum sejak PSSI dipimpin Kardono pada periode 1983-1991.
Emas Sea Games 1991 merupakan buah dari bagaimana Galatama yang beriringan dengan Kompetisi Perserikatan berhasil membentuk tim nasional yang bagus.
Pengaruh Jerman dan Era Dettmar Cramer
Jepang memulai pengembangan sepak bola secara serius jauh sebelum kunjungan tahun 1979 ke Indonesia. Pada 1960, mereka mengundang pelatih Jerman Barat, Dettmar Cramer, untuk mempersiapkan tim nasional menuju Olimpiade Tokyo 1964. Mereka mengadakan tur ke Duisburg dan mempelajari dasar-dasar sistem sepak bola.
Cramer dikenal sebagai bapak sepak bola Jepang yang mengembangkan pelatih lokal dari 1960 hingga 1963. Ia membangun fondasi kuat yang berbuah medali perunggu sepak bola di Olimpiade Meksiko 1968.
Mengikuti rekomendasi Cramer tahun 1964, Japan Soccer League (JSL) semi-amatir didirikan pada tahun 1965 dengan delapan tim. JSL memiliki struktur unik yang didukung perusahaan di mana para pemain adalah karyawan perusahaan yang dibayar untuk berlatih dan bermain, sehingga menciptakan model semiprofesional. Liga awal ini meletakkan dasar bagi profesionalisasi di masa mendatang.
Visi J-League sebagai liga profesional mulai terwujud akhir 1980-an. JFA ingin mengangkat tim nasional agar lolos Piala Dunia. Pada 1989, JFA membentuk komite dengan kriteria ketat untuk klub: domisili kota, stadion, dan sponsor.
Transisi dari JSL semiprofesional melalui JFL (1992), lalu J-League resmi dimulai 1993 dengan 10 klub. Strategi awal merekrut pemain dan pelatih internasional terkenal untuk meningkatkan prestise dan kualitas liga. J-League juga mengadopsi model Bundesliga, menunjukkan pengaruh berkelanjutan dari Jerman.
"Sebelum J-League standar sepak bola di Jepang sangat buruk,” ujar Profesor Yasuo Kawabata, seorang pakar sepak bola di Universitas Wanita Jepang, dilansir When Saturday Comes.
Perkembangan sepak bola Jepang menunjukkan evolusi strategis selama puluhan tahun, bukan lompatan mendadak. Serangkaian langkah terukur membangun fondasi JSL hingga mencapai tujuan Piala Dunia. J-League adalah puncak visi berkelanjutan ini. Keberhasilan Jepang hasil perencanaan strategis yang konsisten dan jangka panjang, bukan sekadar meniru negara lain.
Kapten Tsubasa dan Mimpi Piala Dunia
Captain Tsubasa, manga sepak bola karya Yoichi Takahashi (1981) yang diadaptasi menjadi anime (1983), menjadi katalisator budaya sepak bola Jepang. Anime ini melampaui hiburan biasa dengan memotivasi generasi muda Jepang untuk bermain sepak bola.
Serial ini menanamkan kebutuhan akan prestasi pada penonton, membuat impian kesuksesan sepak bola terasa nyata. Anime ini juga menggambarkan JFA mengembangkan pemain muda melalui kompetisi antarsekolah (SD, SMP, SMA), memberikan inspirasi untuk pengembangan sepak bola akar rumput.
Pada 1998, Jepang lolos ke Piala Dunia untuk pertama kali dan terus menjadi peserta langganan sejak saat itu. Yang menarik, pemain Piala Asia 1992 sebagian besar adalah generasi yang tumbuh menonton Captain Tsubasa, membuktikan hubungan langsung antara anime ini dengan lahirnya pemain-pemain elite Jepang.
Manga ini dimuat di Weekly Shonen Jump yang memiliki sirkulasi besar hingga 6,53 juta pada puncaknya. Serial ini dianggap karya monumental Jepang yang mengubah impian menjadi motivasi konkret untuk pencapaian sepak bola nasional, sebagaimana Hidetoshi Nakata yang memilih sepak bola daripada baseball.
Captain Tsubasa membuktikan kekuatan budaya populer sebagai katalisator pengembangan olahraga nasional. Anime ini berkembang di berbagai negara dan diterjemahkan ke seluruh dunia dengan nama yang berbeda. Bahkan menginspirasi bintang-bintang internasional seperti Fernando Torres dan Alessandro Del Piero untuk mulai bermain sepak bola.
Keterlibatan budaya ini melengkapi reformasi struktural seperti J.League, menunjukkan pengembangan sepak bola sukses membutuhkan pendekatan multiaspek.
Japan's Way
Japan's Way adalah filosofi komprehensif yang dibuat JFA untuk mengembangkan sepak bola di Jepang. Filosofi ini diresmikan dan disebarluaskan setelah Jepang menjadi tuan rumah Piala Dunia 2002.
Filosofi ini berfungsi sebagai peta jalan strategis untuk mencapai visi ambisius dalam "Deklarasi JFA 2005", yaitu memiliki 10 juta keluarga sepak bola dan memenangkan Piala Dunia FIFA™ pada tahun 2050.
Japan's Way menggunakan pendekatan quaternity yang menghubungkan empat pilar utama: penguatan tim nasional, pengembangan pemain muda, pelatihan pelatih, dan sepak bola akar rumput. Buku digital Japan’s Way salah satunya mencakup budaya sepak bola yang mengutamakan kesenangan dan kesejahteraan, bukan hanya kemenangan.
Japan's Way menggunakan model piramida ganda. Satu piramida fokus pada pengembangan akar rumput untuk meningkatkan partisipasi dan kenikmatan sepak bola, mengatasi masalah seperti dominasi tim sekolah dan tingkat putus sekolah tinggi di usia 15 tahun. Piramida lainnya adalah sistem kompetitif untuk mengidentifikasi dan mengembangkan pemain internasional masa depan melalui pusat pelatihan nasional.
Keberhasilan sepak bola Jepang bukan hanya hasil belajar dari Indonesia, melainkan kemampuan strategis menggabungkan pengetahuan global dalam rencana jangka panjang mereka. Perjalanan Jepang menunjukkan pentingnya visi strategis, implementasi disiplin, dan membangun ekosistem berkelanjutan.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi