tirto.id - Hari itu adalah pertandingan terakhir Arsenal dalam lawatannya di Indonesia. Sebelumnya, klub asal London Utara tersebut telah menghadapi PSMS Medan dan PSSI Selection. Keduanya dibantai dengan skor yang telak. 16 Juni 1983, giliran NIAC Mitra menjajal kekuatannya.
Disaksikan sekitar 30.000 penonton yang memadati Gelora 10 November, di terik siang yang menyengat, pertandingan dimulai pukul dua. NIAC Mitra yang diperkuat sejumlah bintang nasional dan dua orang pemain asing asal Singapura, yaitu Fandi Ahmad dan David Lee, di luar dugaan mampu menggilas Arsenal dengan skor 2-0. Gol kemenangan mereka dicetak oleh Fandi Ahmad (menit 37) dan Djoko Malis (menit 85).
“Saya sebenarnya hampir mencetak dua gol, tapi yang satu kena tiang. Gol bermula ketika Fandi Ahmad memberikan umpan terobosan kepada saya. Dan saat itu saya langsung berhadapan satu lawan satu dengan kiper. Mendapatkan kesempatan bagus, akhirnya saya lepaskan sepakan ke pojok gawang dan gol pun tercipta,” kenang Djoko.
Arsenal diperkuat sejumlah pemain terbaiknya, seperti David O’Leary, Pat Jennings, Kenny Sansom, Brian Talbot, Alan Sunderland, dan Graham Rix. Karena kelelahan pasca melewati musim kompetisi yang panjang dan suhu cukup panas, mereka akhirnya tak berkutik di hadapan pasukan M.Basri, pelatih NIAC Mitra.
“Kami kalah 0-2 di pertandingan terakhir dan saat itu kami sedikit kelelahan setelah menjalani musim yang panjang. Mungkin di sana juga terlalu banyak sinar matahari,” ujar Terry Neill, pelatih Arsenal saat itu.
Namun kemenangan adalah kemenangan. Sejumlah permakluman tak melunturkan rasa bangga arek-arek Suroboyo. Kemenangan atas Meriam London itu akan selalu mereka kenang.
Kesebelasan Para Karyawan
Sebelum menjadi Niac Mitra, klub ini awalnya bernama Mentos Surabaya, sebuah perkumpulan sepakbola para karyawan yang bekerja di perusahaan milik Agustinus Wenas. Selanjutnya kesebelasan ini ditingkatkan ke jenjang yang lebih profesional karena mengikuti liga internal Persebaya, namanya diganti menjadi PS. Mitra.
Dalam sebuah laga uji coba melawan Warna Agung, mereka berhasil menahan klub kuat di masanya itu dengan skor 1-1. Hasil tersebut membuat Wenas sebagai pemilik klub menjadi semakin serius. Maka pada 14 Agustus 1978, PS. Mitra berganti nama menjadi NIAC Mitra dan bersiap menyongsong edisi pertama kompetisi Galatama.
NIAC singkatan dari New International Amusement Center. Banyak media menulis bahwa nama tersebut adalah bioskop milik Wenas. Namun Devana Bramantya Saksono dan Edy Budi Santoso dalam “Niac Mitra Surabaya: Potret Pasang Surut Kesebelasan Sepak Bola Tahun 1979-1990” (Verleden: Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No. 2, Juni 2015), menulis bahwa nama itu adalah sebuah perusahaan rumah judi atau kasino terbesar di Surabaya pada tahun 1974-1979, berdasarkan wawancara mereka dengan Rudi Wiliam Keltjes, mantan pemain NIAC Mitra.
Diperkuat sejumlah pemain bintang seperti Djoko Malis, Rudy William Keltjes, Syamsul Arifin, serta dua pemain asal Singapura, NIAC Mitra sempat merajai kompetisi Galatama. Setelah Warna Agung menjadi juara pada edisi perdana kompetisi tersebut, dua musim berikutnya klub asal Surabaya itu tak terbendung. Mereka menyabet gelar juara berturut-turut.
Pada musim 1980/1982, NIAC Mitra bahkan menjadi klub yang teramat subur dengan total melesakkan 102 gol (3 gol di antaranya bunuh diri). Mereka berkali-kali menang sangat telak atas lawan-lawannya. Pada 24 Februari 1980, NIAC Mitra membantai Tidar Sakti 12-0. Setahun berikutnya, tepatnya pada 7 November 1981, mereka kembali membenamkan Tidar Sakti dengan skor 11-0. Lalu pada 13 Januari 1982, giliran Cahaya Kita yang dihujani 14 gol tanpa balas.
Penyerang mereka, Syamsul Arifin, mencetak 30 gol sepanjang musim. 7 gol di antaranya ia lesakkan dalam satu pertandingan saat melawan Tidar Sakti pada 24 Februari 1980. Sebuah capaian yang sulit tertandingi sampai saat ini.
“Mr. Wenas, jangan bubarkan Niac Mitra…”
Pasca-menjuarai Galatama musim 1982/1983, PSSI mengeluarkan peraturan yang melarang setiap klub peserta memakai jasa pemain asing. Kebijakan itu terpaksa membuat Fandi Ahmad dan David Lee meninggalkan Surabaya. Sementara pemain bintang lokal seperti Djoko Malis, Rudy William Keltjes, dan Yudi Suryata pindah ke Yanita Utama Bogor, klub yang baru berganti nama.
Skuad NIAC Mitra menjadi compang-camping. Mereka hanya diperkuat anak-anak muda dan beberapa pemain senior yang tersisa. Perpaduan dua generasi ini terlambat kompak dan panas, sehingga mereka mulai terseok-seok.
Sejumlah kekalahan mulai mereka telan. Saking payahnya, mereka hanya mampu mencetak tiga gol ke gawang Cahaya Kita, kontestan terlemah langganan lumbung gol. Itu pun mereka raih dengan susah payah.
Kondisi ini membuat penonton enggan hadir di Stadion 10 November tempat NIAC Mitra menjamu lawan-lawannya.
“Kalau boleh saya katakan, para pemain senior masih belum percaya seratus persen pada yang muda-muda. Padahal ini harus mereka berikan,” keluh pelatih M. Barsi seperti dikutip Suryo Wahono dalam Tabloid Bola, edisi No. 3, 11 Februari 1984.
Ia menyesalkan terlambatnya NIAC Mitra melakuan regenerasi. Saat pemain-pemain senior mulai digerogoti usia, dan sebagian malah pindah klub, para pemain muda justru baru bermunculan. Hal ini membuat jarak antara keduanya terlalu jauh, yang berimbas pada kurang komunikasi di lapangan saat bermain.
Yang tua gairah bermainnya menyusut, sementara yang muda masih tampil kurang percaya diri. Mereka kerap bertubrukan antar kawan setim, bahkan lebih parah lagi mereka tak jarang saling bentak di lapangan.
Celah ini dimanfaatkan oleh lawan-lawannya untuk mendongkel NIAC Mitra, si penguasa dua musim untuk lengser dari posisinya. Maka empat tahun berikutnya NIAC Mitra puasa gelar. Empat musim dikuasai Yanita Utama dan Krama Yudha Tiga Berlian yang masing-masing berbagi dua kali gelar juara.
NIAC Mitra berhasil menjadi juara lagi pada musim 1987/1988. Namun prestasi ini rupanya gelar perpisahan, sebab dua tahun kemudian mereka bubar. Agustinus Wenas, pemilik NIAC Mitra kecewa dengan peraturan baru PSSI yang melebur beberapa divisi menjadi satu. Selain itu, ia juga merasa sudah lelah dengan sepakbola.
Klub yang pernah menaklukkan Arsenal ini resmi bubar pada 24 September 1990. Mereka menggelar pertandingan perpisahan, pamit kepada pendukung setianya. Pada 1 Oktober 1990, bertempat di Gelora 10 November, pertandingan perpisahan itu mempertemukan NIAC Mitra melawan Johor Malaysia. NIAC Mitra kalah 1-5.
Sebanyak 15 ribu penonton hadir di stadion, mengucapkan salam perpisahan kepada klub kebanggaannya. Tribun dipenuhi spanduk. Ragam tulisan terbentang, di antaranya:
“Mr. Wenas, jangan bubarkan Persatuan Sepakbola Niac Mitra Surabaya”
“Arek-arek Suroboyo gak ikhlas nek Niac Mitra bubar”
“Hallo… Jawa Pos…! Hanya kau tumpuan harapan arek-arek Suroboyo untuk menyelamatkan favoritku, Niac Mitra Surabaya”
“Niac Mitra bubar. Sebab, liga plinplan”
Haru dan kesedihan semakin berkuasa saat Suwasis Hadi, salah seorang pendukung NIAC Mitra, mengirimkan karangan bunga dukacita. Pemain, ofisial, dan pemilik klub yang menyaksikan dari bench tak sanggup menahan air mata.
“Kawan-kawan, atas nama seluruh pemain, kami mohon maaf bila selama ini ada tingkah laku kami yang kurang menyenangkan hati. Selama ini kami belum dapat memberikan yang terbaik buat pendukung NIAC. Kami tak lupa mengucapkan terima kasih atas dukungan dan fanatisme kalian. Dengan dukungan luar biasa itulah, NIAC Mitra menjadi besar,” ujar Hanafing, pemain asal Makassar.
NIAC Mitra diteruskan oleh klub baru yang bernama Mitra Surabaya yang didania bos Jawa Pos, Dahlan Iskan. Dalam perjalanannya, Mitra Surabaya berganti kepemilikan dan nama, serta pindah markas ke Kalimantan. Kiwari kita mengenalnya sebagai Mitra Kukar.
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti