Menuju konten utama

Yanita Utama, Bertukar Tangkap dengan Lepas

Kasus suap dan kekurangan dana adalah persoalan terbesar yang menghantui klub-klub di era Kompetisi Galatama

Yanita Utama, Bertukar Tangkap dengan Lepas
Kesebelasan Yanita Utama. FOTO/indonesianfootball.jimdo.

tirto.id - Sepakbola Indonesia dipenuhi bangkai. Banyak yang mati di usia muda, di antaranya kompetisi dan klub. Galatama (Liga Sepakbola Utama) adalah kompetisi semi profesional yang sempat hadir dari tahun 1979 sampai tahun 1994. Dalam rentang waktu 15 tahun tersebut, banyak klub datang dan pergi, hidup dan mati, subur lalu gugur. Salah satunya Yanita Utama.

Klub ini semula bermarkas di Lampung dengan nama Jaka Utama Lampung, dan sempat membawa Provinsi Lampung menjadi juara PON cabor sepakbola pada tahun 1981. Di final, mereka mengalahkan Provinsi Sumatera Utara yang diwakili Mercu Buana.

Sebenarnya Lampung pada waktu itu tidak difavoritkan, tapi nasib baik mengiringi mereka. Setelah dibantai 0-5 oleh Irian Jaya di pertandingan akhir fase grup, nilai dan selisih gol Lampung sama dengan Bali. Kedua provinsi tersebut kemudian bertanding untuk menentukan siapa yang mendampingi Irian Jaya ke babak 6 besar. Lampung akhirnya lolos setelah menang 6-5 lewat adu tendangan penalti.

Di pertandingan pertama babak berikutnya, Lampung lagi-lagi tidak meyakinkan, mereka kalah 0-2 dari Sumatera Utara. Namun beruntung, mereka berhasil mengalahkan DI Aceh 2-0, sehingga lolos ke babak semifinal.

Setelah itu, dewi fortuna benar-benar bersama mereka. Di semifinal Lampung mengalahkan Jawa Tengah 3-2, dan final mengandaskan Sumatera Utara 4-2, semuanya lewat adu tendangan penalti.

Masa kejayaan itu sempat diperingati oleh warga Lampung dengan menggelar Kapolda Cup I (2016).

“Banyak yang tidak tahu kalau Lampung itu pernah juara PON sepakbola. Nama klubnya Jaka Utama. Sampai sekarang kita tidak pernah dengar ada klub bola yang membawa nama besar Lampung,” ujar Kapolda Lampung, Brigjen Polisi Ike Edwin saat membuka turnamen tersebut.

Pasca-keberuntungan Jaka Utama di PON 1981, Lampung sepi prestasi. Kebanggaan mulai timbul lagi saat Lampung FC, klub peralihan dari PSBL Bandar Lampung menjadi finalis Liga Primer Indonesia (LPI) pada tahun 2013. Namun saat Liga Super League (LSI) digelar oleh PSSI, Lampung FC tidak bisa ikut karena dinilai membangkang dengan mengikuti LPI, kompetisi tandingan PSSI. Saat itu kondisi kepengurusan PSSI memang sedang ricuh dan terbelah. Lampung FC kemudian bubar.

Jaka Utama Lampung pindah ke Bogor dan mengganti namanya menjadi Yanita Utama Bogor. Pengenalan dan peresmian nama baru ini dilakukan dengan menggelar turnamen kecil dengan nama Yanita Utama Cup 1983, yang digelar di Stadion Persija, Menteng, Jakarta Pusat. Hanya empat klub yang ikut kejuaraan ini, yaitu Mercu Buana (Medan), Pardedetex (Medan), Arseto (Solo), dan Yanita Utama (Bogor) sebagai tuan rumah.

Selain bertujuan untuk mengenalkan nama Yanita Utama, turnamen ini pun dimaksudkan untuk menggalang dana perbaikan Stadion Pajajaran, Bogor.

Pada gelaran Galatama musim 1983/1984, Yanita Utama ikut serta dan langsung menjadi juara. Musim tersebut adalah pertama kalinya Galatama memakai format babak final. Empat besar dari wilayah barat dan timur melenggang ke babak 8 besar. Di final, Yanita Utama mengalahkan Mercu Buana dengan skor 1-0. Gol kemenangan dicetak oleh Bujang Nasril.

Kejayaan Yanita Utama pada musim pertamanya mengikuti Galatama tak bisa dilepaskan dari peran para pemain bintang saat itu, seperti Joko Malis, Rudy Keltjes, Bambang Nurdiansyah, dll. Hal ini disampaikan oleh Maura Helly, salah satu pemain yang ikut membawa Yanita Utama juara.

“Yanita klub yang dihuni pemain-pemain papan atas Indonesia. Ada Herry Kiswanto, Rudy Keltjes, dan Joko Malis, ujarnya.

Beberapa pemain bintang tersebut semula memperkuat Niac Mitra (Surabaya). Mereka hijrah ke Yanita Utama karena klub asal Surabaya tersebut melakukan peremajaan. Hal ini disampaikan oleh Syamsul Arifin, mantan pemain Niac Mitra yang menjadi pencetak gol terbanyak Galatama dua musim berturut-turut, 1980-1982.

“Joko Malis, Rudy Keltjes, dan Yudi Suryata memilih ke Yanita Utama Bogor. Kalau saya memilih pensiun,” ujarnya.

Perjalanan Yanita Utama sebelum meraih gelar juara pada musim pertamanya di Galatama bukan tanpa perjuangan. Mula-mula Jaka Utama Lampung didera kasus suap. Di tengah kondisi limbung itu, Pitoyo Haryanto—seorang pengusaha perkebunan, menerima Jaka Utama dengan membayar ganti rugi sebesar 25 juta.

Atas saran dari Sigit Harjojudanto, Pitoyo kemudian mulai membangun tim compang-camping ini. Sebelum berganti nama menjadi Yanita Utama, pelatih Yakob Sihasale yang didampingi Abdul Kadir sebagai manajer mulai melakukan perombakan. Mereka merekrut para pemain baru dari klub UMS 80, Jayakarta, Niac Mitra, Pardedetex, dan Tempo Utama.

Saat tengah membangun tim, tiba-tiba Yakob Sihasale meninggal. Dalam kondisi duka dan terpukul karena ditinggalkan pelatih, Yanita Utama terus melanjutkan perjuangannya. Yakob digantikan Abdul Kadir dan Sofyan Hadi.

infografik yanita utama

Sebagai klub yang kemudian bermarkas di Bogor, Yanita Utama sempat menjadi penawar dahaga prestasi sepakbola kota tersebut. Warga Bogor cukup antusias menyaksikan Joko Malis dkk. bertarung dalam tiap laga. Apalagi klub tersebut kerap memenangkan pertandingan.

“Kemenangan demi kemenangan disambut oleh warga Bogor saat itu yang rela berdesakan di Stadion Padjadjaran, sampai-sampai ada sebagian yang nekat memanjat pohon untuk menyaksikan tim kesayangannya berlaga,” kutip Asep Sukmawan.

Antusiasme warga Bogor semakin besar manakala Yanita Utama lolos ke final dan berhasil mengalahkan Mercu Buana 1-0 di Istora Senayan, Jakarta.

“Kemenangan gemilang paling utama yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba saat Yanita Utama untuk pertama kalinya melaju ke babak final Galatama, dan berhadapan dengan tim yang disegani saat itu, Mercu Buana. Tampil di hadapan sekitar 50.000 penonton yang memadati Istora Senayan, Yanita Utama keluar sebagai juara dengan gol semata wayang yang dicetak oleh Bujang Nasril di menit-menit awal pertandingan,” tambahnya.

Mahfudin Nigara dalam Tabloid BOLA edisi No. 13, Jumat 25 Mei 1984, melaporkan bahwa kemenangan Yanita Utama malam itu tanpa diperkuat Herry Kiswanto dan Yudi Suryata. Sementara Rudy Keltjes masih belum terlalu pulih dari cedera kaki. Di lapangan tengah bersama adik Sofyan Hadi, Arief Hidayat, ia lebih berhati-hati dalam bermain karena kondisi kaki tersebut.

“Tapi apa mau dikata, kekuatan seperti itupun ternyata cukup untuk menghulubalangkan Mercu dari posisi sebagai kuda hitam terus menerus. Sebuah gol kilat dari Bujang Nasril mengoyakkan gawang Mercu, memancing langsung sorak sorai dan genderang ria sebagian dari 50.000 penonton, mengantarkan Yanita dari reruntuhan jadi juara!” tulisnya.

Tahun berikutnya kegemilangan Yanita Utama terus berlanjut. Mereka kembali menjadi juara setelah di final membenamkan UMS 80, klub yang sempat dilatih oleh Endang Witarsa Sang Dokter Bola Indonesia dengan skor 2-0.

Pada tahun yang sama dengan raihan gelar keduanya, Yanita Utama mewakili Indonesia tampil di turnamen antarklub ASEAN I yang digelar 20-29 Desember 1984 di Stadion Utama Senayan, Jakarta dan Stadion Siliwangi, Bandung. Yanita Utama berhasil lolos sampai partai puncak, tapi gagal menjadi juara karena dikalahkan wakil dari Thailand, Bangkok Bank dengan skor 0-1.

Pertandingan final di laga ASEAN I itulah prestasi terakhir Yanita Utama. Awal tahun 1985 klub yang sempat menjadi kebanggaan publik Bogor itu bubar. Para pemainnya kemudian pindah ke klub Kramayudha Tiga Berlian yang bermarkas di Palembang.

Berakhirnya kiprah Yanita Utama menambah daftar panjang kematian klub di lapangan sejarah sepakbola Indonesia.

Baca juga artikel terkait LIGA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Olahraga
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Zen RS