tirto.id - “Band-band tahun 1970-an akan menjadi luar biasa. Mereka akan membuka semua rahasia ke alam semesta.”
Empat puluh enam tahun silam, David Johansen, vokalis New York Dolls, menggambarkan betapa gempita kancah musik rock di New York. Dunia rock saat itu, katanya, “lusuh, memabukkan, tapi tetap menyenangkan.”
Jagat rock di New York era 1970-an dimotori oleh band-band macam The Velvet Underground, Television, Blondie, The Stooges, hingga The Ramones. Letupan energi mereka biasa memenuhi ruang-ruang intim di Mercer Arts Center, Max’s Kansas City, dan tak ketinggalan CBGB yang legendaris itu.
Banyak versi cerita ihwal kapan kali pertama kancah rock mendapatkan momentumnya di New York. Beberapa menyebut sesaat selepas Velvet Underground dibentuk. Lainnya berkata ketika The Stooges dan MC5 menghentak Ann Arbor pada 1968. Ada pula yang bilang kancah New York mulai bersemi tepat ketika Patti Smith membacakan puisi bersama Lenny Kaye di St. Mark’s Church pada Februari 1971.
Terlepas dari perdebatan mengenai siapa yang membuka pintu geliat kancah rock di New York, satu hal yang jelas: rock pada dekade 1970-an dalam masa keemasan.
Nyatanya memang demikian. Tak cuma di New York, wabah rock menjangkiti hampir seluruh dunia. Dirayakan jutaan manusia, dipuja bak wahyu ilahiah.
Bermula dari 'Invasi Britania'
David Kamp dalam “British Invasion: An Oral History” (Vanity Fair) menyebut sebelum 1964, hanya ada dua singel Inggris yang masuk tangga lagu Billboard’s Hot 100 AS. Dan, dari segi jumlah aksi panggung, band-band dari Inggris tak sering tampil di tanah Abang Sam. Singkatnya: band-band Inggris tak cukup menarik hati dan diminati masyarakat di sana.
Namun, situasi itu berubah pada 25 Januari 1964 tatkala The Beatles mengeluarkan singel 'I Want to Hold Your Hand'. Lagu ini sukses besar dan langsung nangkring di posisi pertama tangga lagu American Top 40. Publik mulai berbondong-bondong memburu album lagu The Beatles.
Kesuksesan itu mendorong The Beatles melebarkan sayap. Beberapa hari kemudian, 1 Februari, The Fab Four menginjakkan kaki di AS. Kedatangan mereka di New York disambut suka cita. Dua hari berselang, histeria publik tak terbendung saat empat bocah asal Liverpool ini memeriahkan "The Ed Sullivan Show".
Yang terjadi setelahnya bisa ditebak: The Beatles sukses merebut perhatian masyarakat AS. Keberhasilan ini menjadi penanda fenomena yang seringkali disebut “Invasi Britania” dalam dunia musik AS.
Secara statistik, masih mengutip laporan Kamp, ada lonjakan signifikan ihwal jumlah band ke pasar AS, imbas dari The Beatles. Semula hanya kurang dari lima musisi (1963) naik menjadi 68 musisi (1965). Di antara jumlah itu, terselip nama-nama macam The Rolling Stones, The Kinks, hingga The Who.
Fenomena invasi Inggris, apabila ditelisik, bukan perkara pasar dan perputaran uang semata. Lebih dari itu: ia serupa pertukaran budaya yang terbukti bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Orang-orang Inggris—terutama generasi muda—yang masih bergumul dalam suasana pasca-Perang Dunia II seperti mendapatkan ruang untuk menyalurkan hasrat berkreasi. Dunia tak lagi hitam-putih, melainkan berwarna. Sementara bagi publik AS, hadirnya band-band Inggris adalah obat penawar atas kematian John F. Kennedy pada 1963 serta hilangnya masa edar musisi dalam negeri macam Elvis Presley, Buddy Holly, hingga Little Richard.
Memasuki dekade 1970, The Beatles bubar jalan. Penyebabnya banyak: meninggalnya Brian Epstein, dominasi McCartney yang membuat anggota lain risih, kehadiran Yoko Ono, perbedaan visi dan selera musik usai merilis Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band (1967), hingga pertarungan ego yang semakin besar semakin menggelembung.
Kendati begitu, The Beatles bubar tidak melunturkan pengaruh invasi Britania. Ketenaran The Beatles memicu band-band baru dalam jumlah yang cukup masif dan, yang terpenting, bersiap mengejutkan dengan pernyataan musik mereka sendiri.
Di sinilah rock modern mulai menggema.
Mendefinisikan Rock Modern
Era 1970-an, dilihat dari sudut pandang dunia musik, adalah masa-masa bernas tatkala rock menjadi pusat manifestasi alam batin dan pikiran. Rock adalah wajah kehidupan bebas. Mewakili potret hawa nafsu, mitos, pemberontakan. Majalah musik Rolling Stone mencatat ada banyak sekali band yang membawa cita rasa rock pada dekade 1970-an.
Walaupun banyak, satu kesamaan bisa ditarik: mereka menjadikan blues, musik yang dijadikan simbol perlawanan kulit hitam AS, sebagai pijakan kreasi.
Band-band rock dengan kualitas menjanjikan pada era itu: Cream, yang dimotori trio Eric Clapton-Ginger Baker-Jack Bruce; atau Black Sabbath lewat album Paranoid (1970); ada pula Jimi Hendrix, The Yardbirds, Grand Funk, Mountain, Ten Years After, Yes, The Grateful Dead, Jefferson Airplane, The Allman Brothers, sampai Pink Floyd.
Namun, di antara band-band itu, hanya ada satu band yang dianggap mampu mendefinisikan bagaimana musik rock modern terbentuk. Band itu adalah Led Zeppelin.
Menjadikan Led Zeppelin sebagai patokan rock modern sangat bisa memunculkan ruang perdebatan. Sebelum Led Zeppelin, ada Bob Dylan yang dianggap membentuk musik rock modern saat mengganti gitar akustiknya dengan gitar listrik dan menyanyikan “Like a Rolling Stone” pada 1965. Atau, saat The Beatles merilis album Sgt. Pepper's yang sarat eksperimental pada 1967.
Meski begitu, jawaban atas mengapa Led Zeppelin yang dijadikan standar rock modern bisa dijelajahi lewat warisan jazirah empat album perdana mereka bertajuk nama band tersebut, dari 1969 hingga 1971, yang bila dirangkum sepanjang 171 menit 28 detik.
Empat album itu adalah khazanah bagaimana empat anak muda memainkan musik dengan gairah yang besar serta energi melimpah ruah.
Permainan gitar Jimmy Page tak sekadar jadi bayang-bayang Clapton, Hendrix, atau Beck. Jemarinya meliuk cepat, tenang, dan membentuk melodi maupun riff berbahaya, yang kelak disembah para gitaris di seluruh dunia. Page menolak tunduk pada pakem baku seorang gitaris. Ia berimprovisasi dengan alat gesek dan menyatukannya bersama dawai pada Gibson klasik sehingga lahirlah bunyi surgawi nan menyayat lagi membius. Page juga memberi gambaran kepada kita betapa dahsyat letupan suara gitar 12 dawai—atau kerap disebut double neck.
Duet John "Bonzo" Bonham dan John Paul Jones: Gebukan Bonham adalah candu—ritmis, seksi, dan bertenaga; perkakas snare, tom, dan hi-hat di tangannya menjadi satu spektrum yang rapat, termasuk saat ia bermain solo; Jones—sang penjaga ritme—mencabik bass di antara ruang-ruang kosong Page; dan bersama Bonham membentuk lagu-lagu Led Zeppelin sebagai sebuah kanon.
Robert Plant: vokalnya adalah perlambang keindahan, kemewahan, mukjizat; lengkingannya menjangkau misteri, membelah sekaligus menggetarkan gelanggang.
Kualitas-kualitas itu melahirkan repertoar "serupa sihir", ujar Robert Christgau, tetua kritikus rock Amerika.
Dazed and Confused, Immigrant Song, Black Dog, Rock and Roll, Heartbreaker, God Times Bad Times, Moby Dick, Kashmir, Stairway to Heaven—Anda bisa sebut apa saja untuk menyebut beberapa di antaranya. Pada masanya, lagu-lagu itu berperan sebagai cetak biru musik rock. Di sisi lain, bagi generasi rock masa kini, lagu-lagu Led Zeppelin yang termaktub dalam empat album perdana mereka adalah senarai inspirasi: rock selalu menolak ajal.Karya-karya Led Zeppelin, hingga setengah abad sejak kelahirannya, dirayakan, didaur ulang, dan disembah sebagaimana manusia meyakini agama.
Editor: Fahri Salam