tirto.id - Bob Dylan seringkali disandingkan dengan kebesaran. Namanya dipacak sebagai salah satu raksasa musik Amerika Serikat, juga dunia. Sama seperti banyak musisi lain yang merangkak perlahan dari bawah, Dylan juga pernah akrab dengan jatuh bangun, maupun album yang gagal secara penjualan.
Pria bernama asli Robert Allen Zimmerman ini sudah bermain musik sejak SMA, terpengaruh musisi seperti Elvis Presley maupun Little Richard. Bahkan saat ia lulus SMA pada 1959, di buku alumni, Dylan menulis cita-citanya adalah "bergabung dengan Little Richard".
Ia sempat mencicipi jalur akademis dengan masuk ke Universitas Minnesota. Di Minneapolis itu, jam terbang manggung Dylan diasah. Ia kerap manggung di Ten O'Clock Scholar, sebuah rumah kopi yang terletak beberapa lemparan tombak dari kampus. Pada 1959 itu pula, Dylan mendengar Odetta Holmes, seorang penyanyi dan aktivis hak asasi manusia. Ia dianggap sebagai salah satu orang penting dalam gerakan kebangkitan musik folk Amerika di akhir dekade 1950-an dan awal 1960-an.
Dalam The Cambridge Companion to Bob Dylan (2009) disebutkan bahwa setelah mendengar Odetta bernyanyi, Dylan langsung menukar gitar listriknya dengan gitar akustik. Ia melupakan Little Richard, Elvis Presley, rock n roll dan memilih untuk memainkan musik folk.
Dari Klub ke Klub
Pada 1960, Dylan mulai aktif di kancah folk lokal yang berpusat di kota Dinkytown, Minneapolis. Ia memakai nama panggung Bob Dylan, yang merupakan penghormatan terhadap penyair Wales, Dylan Thomas. Nama Dylan mulai dikenal, dan jam terbangnya bertambah banyak.
Namun hanya sekitar satu tahun Dylan aktif di sana. Tahun berikutnya, Dylan pergi ke New York untuk menjenguk idolanya yang sedang terbaring sakit: Woody Guthrie. Di New York, ia mulai aktif bermain di klub-klub folk, juga rumah kopi. Dylan banyak memainkan lagu-lagu folk klasik, sesekali menyisipkan lagunya sendiri.
Robert Shelton, kritikus musik The New York Times, memuji penampilan live Dylan dalam salah satu tulisannya. Hal ini membuat nama Dylan makin harum di kancah folk New York.
Suatu hari ia bertemu dengan John Hammond, petinggi sekaligus pencari bakat dari label Columbia Records. Ia yang menemukan musisi yang kelak jadi penting bagi dunia musik Amerika Serikat. Mulai dari Billie Holiday, Cab Calloway, juga Count Basie. Hammond terpukau permainan harmonika Dylan di album ketiga Carolyn Hester.
Hammond meminta Lou Levy, pemilik Leeds Music Publishing, untuk mengurus Dylan. Perusahaan itu kemudian memiliki hak untuk mengedarkan lagu Dylan setelah mereka sepakat bekerja sama. Uangnya tak banyak, memang. Tapi untuk musisi berusia 20 tahun, ini adalah momen penting. Dalam otobiografinya, Chronicles: Volume One (2004), Dylan mengingat jumlah panjar yang diterimanya.
"Lou kasih uang muka seratus dolar yang diambil dari royalti di masa depanku, dan yah aku tak masalah dengan itu," tulisnya.
Mengangkat Harkat Folk
Dari sana, sang petinggi label itu kemudian mengajak Dylan main ke Columbia. Jelas, Dylan gugup. Ia belum jadi raksasa musik dunia hari itu, hanya pria polos dari Minnesota yang bermain di klub-klub kecil. Dylan mengenang kembali masa Hammond mengajaknya ke Columbia.
"Columbia itu salah satu label musik pertama, sekaligus paling terkemuka di AS. Kakiku bisa menginjak lantainya saja sudah luar biasa. Waktu itu, musik folk dianggap sampah, musik kelas dua, dan hanya dirilis oleh label kecil," tulis Dylan.
Tapi kuping Hammond memang bisa diandalkan. Ia seperti melawan arus dengan mau merekrut Dylan. Saat bermain di depan Lou dan Hammond, Dylan memainkan lagu folk klasik dan musik jenis itu, ujar sang musisi sendiri, "jelas bukan lagu yang akan akrab dengan radio dan komersial." Tapi Hammond malah memuji permainan Dylan.
"Aku bisa melihat kalau kamu bermain musik dengan ketulusan," kata Hammond memuji.
Hammond langsung mengurus surat kontrak. Ia lalu berkata pada Dylan: "Kamu anak muda berbakat. Jika kamu bisa fokus dan mengontrol bakatmu, kamu akan baik-baik saja. Jadi aku akan mengontrak dan merekammu. Kita lihat saja bagaimana nanti."
Dylan langsung meneken kontrak saat itu juga. "Aku bahkan tidak melihat detail kontraknya, tidak butuh pengacara, penasihat, atau siapapun. Aku akan dengan senang hati menandatangani kontrak apapun yang disodorkan di depanku."
Dylan langsung rekaman pada 20 November 1961 dan 22 November. Biaya rekamannya murah, hanya 402 dolar. Tapi dasar anak bau kencur, Dylan masih gagap ketika berada di studio. Dalam Bob Dylan: The Recording Sessions, 1960–1994 (1995), Hammond mengisahkan sukarnya menangani rekaman Dylan.
"Ia punya kebiasaan menjauh dari mikrofon. Bahkan, ia tak belajar dari kesalahannya. Aku tak pernah bekerja dengan orang yang amat tidak disiplin seperti Dylan."
Ada 17 lagu yang direkam dalam waktu dua hari. Namun hanya 13 lagu yang dimasukkan ke album. Dari seluruh lagu itu, hanya dua lagu yang merupakan karangan Dylan, yakni "Talkin' New York" dan "Song to Woody" yang merupakan persembahan bagi idolanya sepanjang masa, pria yang membuatnya pindah ke New York, Woody Guthrie.
Album self titled itu dirilis pada 19 Maret 1962, tepat hari ini 56 tahun silam. Sampul depannya menunjukkan wajah Dylan yang mengenakan jaket, topi pet hitam, dan memegang gitar akustik. Nubuat Dylan benar. Lagunya jauh dari hits radio dan tak akrab dengan komersialisme.
Dalam setahun, album ini hanya laku 5.000 keping. Di AS, album ini tak muncul dalam tangga lagu manapun. Hal ini membuat para petinggi Columbia mulai mengejek Dylan dengan sebutan "Hammond's Folly", alias hasil kebodohan Hammond—tapi Hammond dan Dylan yang tertawa paling akhir.
Album pertama Bob Dylan memang jauh dari kata mengesankan. Album itu belum menampakkan diri Dylan yang sebenarnya, baik sebagai penulis lagu maupun sebagai seorang penyanyi. Maklum, hanya dua lagu ciptaannya di album itu, pun "Song for Wood" mengambil mentah-mentah lagu "1913 Massacre" milik Guthrie.
Maka wajar kalau banyak kritikus musik maupun akademisi, semisal yang tampak di bab "Landmark Albums" dalam The Cambridge Companion to Bob Dylan, tidak memasukkan album pertama sebagai album penting. Barulah di album kedua, The Freewheelin' Bob Dylan (1963), Dylan mulai menunjukkan jati diri sebagai seorang penulis lagu yang brilian dan tajam.
Tapi album pertama Dylan memberikan semacam petuah bahwa seorang raksasa pun pernah menjadi kecil.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Ivan Aulia Ahsan