tirto.id - Di era 1960, tak ada serangan yang menghantam Amerika Serikat lebih keras selain apa yang disebut British Invasion. Untuk gelombang itu, satu nama yang paling layak ditunjuk batang hidungnya adalah The Beatles.
Pada 1963, The Beatles sudah matang sebagai sebuah band. The Fab Four sudah kenyang pengalaman manggung. Baik di kampung halamannya, Liverpool yang di era 60-an merupakan kota dengan aura depresif; ditempa residensi dua tahun di Hamburg dengan manggung di bar-bar penuh pelaut mabuk; juga keliling Britania Raya.
Di belahan dunia adidaya lain, Ed Sullivan sudah lebih dulu digdaya sebagai seorang impresario. Acaranya, The Ed Sullivan Show, telah mengudara sejak 1948 dan jadi salah satu siaran televisi paling populer di Amerika Serikat. Acaranya sudah menampilkan banyak musisi tenar untuk manggung di CBS Studio 50, yang kelak dikenal sebagai Ed Sullivan Theater. Mulai dari Itzhak Perlman hingga Elvis Presley.
Kemudian takdir membawa mereka bersimpang jalan.
Pada 31 Oktober 1963, The Beatles menuju pulang ke Inggris usai merampungkan tur musim gugur di Swedia. Dalam catatan Barry Miles di The British Invasion: The Music, The Times, The Era (2009), ada ribuan penggemar yang menyambut ketika George Harrison, Ringgo Star, Paul McCartney, dan John Lennon mendarat di Bandara Heathrow.
“Pemandangan itu ditayangkan di televisi nasional di Inggris. Membuktikan histeria yang disebut Beatlemania,” tulis Miles.
Ed sempat kebingungan melihat segala hiruk pikuk itu. Dia tak tahu ada apa, dan siapa yang memancing kegaduhan itu. Seorang dayang-dayang menyebut nama The Beatles. Ed menggeleng. Tak tahu siapa empat anak muda yang disambut dengan teriakan sepenuh tenaga ribuan orang itu.
“Who the hell are The Beatles?” ujar Ed.
Kala itu The Beatles, meski sudah solid dan menakik banyak jam manggung, namanya memang belum terlalu tenar di luar Britania Raya. Di Eropa pun, mereka hanya dikenal di beberapa negara.
Namun insting hiburan Ed menggedor kencang. Empat orang ini digilai belasan ribu orang, akan sangat mungkin mereka digilai lebih banyak orang. Ed kemudian menyuruh timnya untuk mengundang The Beatles ke acaranya.
Brian Epstein, manajer Beatles, kemudian terbang ke New York untuk bertemu dengan Bob Precht, menantu Ed sekaligus produser Ed Sullivan Show. Dalam obrolan itu, terlihat kalau Brian memang manajer handal. Dia berhasil nego dengan Bob. Alih-alih tampil hanya sekali, Brian minta anak asuhannya tampil tiga kali di pembukaan dan penutupan acara (top billing), walau dengan honor lebih rendah ketimbang standar. Saat itu, Ed Sullivan Show membayar Beatles sekitar USD2.400 per manggung.
Berbekal jaminan akan tampil di Ed Sullivan Show, Brian kemudian mendorong Capitol Records untuk merilis single “I Want to Hold Your Hand” di Amerika Serikat, dengan dukungan dana promosi sebesar USD40 ribu. Hasilnya: rekaman itu terjual 250.000 keping dalam waktu tiga hari saja. Pada Januari 1964, single itu sudah terjual lebih dari satu juta unit, dan di akhir bulan sudah menempati puncak tangga lagu Billboard.
Dampaknya, ketika Beatles mendarat di Bandara John F. Kennedy, New York, 7 Februari 1964, Beatles disambut tiga ribuan penggemar yang teriak macam orang kehilangan akal. Banyak fans rela mendirikan tenda di The Plaza Hotel, tempat menginap Beatles.
Saking populernya The Beatles di AS kala itu, ada 50.000 orang yang rikues tiket masuk. Padahal kapasitas studio hanya 700 orang. Sebagai perbandingan, ketika Ed Sullivan menghadirkan Elvis Presley, hanya sekitar 7.000 orang yang rikues tiket.
Hari yang ditunggu pun tiba.
Pada 9 Februari 1964, 58 tahun silam, The Beatles tampil perdana di Amerika Serikat, di Ed Sullivan Show, membawakan total lima buah lagu: “All My Loving”, “Till There Was You”, “She Loves You”, “I Saw Her Standing There”, dan dipungkasi dengan “I Want to Hold Your Hand”.
Ada sekitar 73 juta orang yang menyaksikan tayangan itu. Rating Nielsen menyebut, 45 persen (sumber lain menyebut 60 persen) penonton televisi di AS menyaksikan penampilan Beatles ini. Hingga sekarang, tampilnya The Beatles di Ed Sullivan Show menjadi salah satu acara paling banyak ditonton dalam sejarah televisi di AS.
The Beatles resmi menjadi idola baru, memoles jalan mulus bagi fenomena British Invasion, merajai pasar global, dan tetap menjadi salah satu band paling disukai, berpengaruh, dan terlaris, bahkan hingga sekarang.
Efek Beatles
Tampilnya The Beatles di Ed Sullivan Show membawa efek domino yang nyaris tak terbendung.
Saat itu, publik AS masih diselimuti duka. John F. Kennedy ditembak, menimbulkan luka menganga bagi banyak orang. Di satu sisi, anak-anak muda sudah mulai jenuh dengan nama-nama musisi dan band yang beranjak tua. Para idola ini, mulai dari Elvis hingga The Everly Brothers, sudah dianggap tidak keren dan ketinggalan zaman.
Sebaliknya, Beatles membawa segala yang baru. Irama rancak, mengajak berdansa, lirik yang mudah diikuti dan dinyanyikan bersama, serta aura manis-tapi-tengil, membawa demam baru bagi para anak-anak muda ini.
Greil Marcus, jurnalis musik AS, menyebut penampilan Beatles di Ed Sullivan Show sebagai, “…ledakan musik pop. Menghadirkan sebuah perubahan kebudayaan secara cepat, yang menerabas semua tembok: kelas dan ras, dan juga umur.”
Lebih jauh lagi, Beatles mengenalkan musik Britania Raya pada publik AS. Seperti diketahui, pusat hiburan ada di AS. Menaklukkan AS berarti sudah membuka pintu paling penting dalam industri hiburan global.
Manusia-manusia penyuka hiburan dan kugiran, ramai-ramai menengok ke band-band Britania Raya yang selama ini agak terlupakan. Maka ditemuilah nama-nama lain yang juga kelak memberikan banyak pengaruh dan suka cita. Dari The Rolling Stones —yang jadi rekan sekaligus rival The Beatles dalam banyak hal— The Kinks, The Yardbirds, The Who, hingga solis seperti Dusty Springfield.
Benar saja. Segala yang populer di AS, pasti akan mewabah ke negara lain. Sebuah Postulat Negara Adidaya yang tak terbantahkan. Demam The Beatles akhirnya sampai ke Indonesia. Kehadiran musik dan gaya mereka disambut gila-gilaan oleh penggemar. Dari musik, sampai gaya berpakaian, banyak ditiru. Melahirkan band-band seperti Koes Plus sampai Dara Puspita.
Ketika perbedaan haluan politik makin runcing, Beatles turut pula diserang oleh banyak orang Indonesia. Presiden Soekarno menyebut musik The Beatles sebagai ngak-ngik-ngok, kontra revolusioner. Tak sejalan dengan semangat Amerika Kita Setrika, Inggris Kita Linggis.
Setelah penampilan di Ed Sullivan Show, The Beatles jalan terus, menjalani laku spiritual, melewati tapak pendewasaan diri, melahirkan album yang terus menerus ber-evolusi, dihantam berbagai turbulensi kencang, dan pada akhirnya memilih bubar pada 1970. Keputusan yang ditangisi oleh banyak orang.
Meski begitu, The Beatles masih membawa kegembiraan bagi banyak orang hingga sekarang, tak berubah sejak 58 tahun silam sejak mereka melahirkan histeria massa di Amerika Serikat. []
Editor: Irfan Teguh Pribadi