tirto.id - Saat masih berusia enam belas tahun, Pete Seeger nekat mendatangi acara Mountain Dance and Folk Festival di Asheville, North Carolina (1936). Tak disangka-sangka, pengalaman pertama mendengarkan musik folk itu mengubah hidup dan cara pandangnya.
Sebagai musisi terlatih sekaligus anggota band jazz yang tak asing dengan berbagai genre musik, Seeger merasa aneh dengan musik folk. Ia merasakan sesuatu hal yang berbeda pada aliran ini.
Dalam sekejap ia terpukau melihat seorang musisi dengan lincahnya memainkan banjo senar lima dengan ritme dan melodi yang sangat apik. Dan ia amat kagum sekaligus tersentuh oleh lirik lagu yang begitu merakyat. Ini pengalaman baru yang tak pernah ia temukan di genre lainnya.
Terkait pengalaman itu, Seeger menjelaskan: “Dibandingkan hal-hal sepele dari lagu yang paling populer, kata-kata lagu ini memiliki semua isi kehidupan manusia. Mereka menyanyikan pahlawan, penjahat, pembunuhan, bodoh... Di atas itu semua, mereka tampak jujur dan lugas.”
Tanpa berpikir panjang, Seeger langsung mengubah haluannya dan memantapkan hati untuk menggeluti musik folk. Dan yang paling penting, ia menjadi paham arti musik sesungguhnya. Setelah berpuluh-puluh tahun berkecimpung dalam genre ini, ia akhirnya menyimpulkan bahwa sebuah lagu bisa membantu orang belajar tentang dirinya sendiri dan belajar tentang satu sama lain.
Segger juga menjelaskan bahwa musik folk memungkinkan orang Amerika memahami persoalan sesama warganya, termasuk dengan siapa mereka berinteraksi, terutama untuk mereka yang tak pernah bertanya: “Berapa banyak orang kulit putih telah menemukan kembali kemanusiaannya melalui nyanyian lagu Negro Amerika.”
Itulah sekelumit kisah Seeger terkait pengalamannya menekuni musik folk. Pengalaman ini ditulis ulang Rachel Clare Donaldson dalam disertasi berjudul Music For the People: The Folk Music Revival and American Identity, 1930-1970.
Sejarah Musik Folk Indonesia
Pengalaman seorang Pete Seeger terjun menekuni musik folk bisa jadi berbeda dengan pengalaman musisi-musisi lainnya. Ada yang hanya mengikuti tren, gaya-gayaan dan numpang tenar, ada pula yang memang berangkat dari keresahan sosial. Tetapi setidaknya genre ini pernah memiliki sejarah panjang, tidak hanya di Amerika, tetapi juga di Tanah Air.
Lantas siapakah musisi Indonesia yang pertama kali membawa semangat ini?
Pengamat musik Denny Sakrie dalam tulisannya berjudul “Selayang Pandang Folk Indonesia” menyebutkan Gordon Tobing adalah penyanyi folk pertama di Indonesia. Melalui suaranya yang khas, Gordon berhasil mempopulerkan lagu folk Indonesia, tidak hanya di ranah nasional, tetapi juga ke ranah Internasional. Ia menggunakan strategi yang sangat tepat: memakai bahasa Batak dalam lirik-lirik lagu utamanya.
Bersama vokal grup Impola, Gordon berhasil berselancar ke berbagai negara untuk membawakan lagu folk Indonesia, dari mengisi acara Press Fest di Jerman pada 1965 serta terpilih oleh Tim Ahli Seni Australia untuk mewakili Asia pada acara Art Festival of Perth pada 1969.
Gelombang musik folk Amerika seperti Joan Baez, Peter Seeger, Phil Ochs, Bob Dylan hingga kelompok seperti Crosby, Stills, Nash & Young tentunya menjadi pemantik berkembangnya skena musik folk di Indonesia.
Setidaknya tercatat tiga kota besar di Indonesia memiliki figur folk terkenal yakni Jakarta, Bandung dan Surabaya. Di Jakarta ada Kwartet Bintang yang digagas Guntur Sukarnoputra, Noor Bersaudara hingga Prambors Vokal Grup. Di Bandung ada Trio Bimbo hingga Remy Sylado. Sementara di Surabaya ada Lemon Tees yang didukung Gombloh dan Leo Imam Soekarno atau yang dikenal dengan Leo Kristi.
Kehadiran musisi-musisi tersebut akhirnya menjadi pemicu kemunculan acara seperti Parade Folk Songs yang berlangsung pada 8 Juli 1973 di Youth Center Bulungan Jakarta Selatan. Acara itu diisi sederet kelompok seperti Noor Bersaudara, Gipsy, Prambors Vokal Grup pimpinan Iwan Martipala serta Remy Sylado Company.
Setahun berikutnya digelar pula acara Pesta Folk Songs se-Jawa yang berlangsung di Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Bandung, yang menampilkan kembali Noor Bersaudara dan Prambors Vokal Grup dari Jakarta serta Manfied,Vraliyoka dan Lemon Never Forget dari Surabaya, Azwar AN & The Ones dari Yogyakarta, Daniel Alexey dari Semarang, serta Singing Student Bandung (Double SB), The Gangs, The Mad, Numphist Group, Hande Bolon, GPL Unpad dan Remy Sylado Company.
Musik folk menjadi berkembang dengan munculnya sosok-sosok baru seperti duo Franky & Jane, Mogi Darusman, Tara & Jayus, Tika & Sita, Iwan Fals, Wanda Chaplin, Tom Slepe, Doel Sumbang, Ritta Rubby Hartland, Elly Sunarya hingga Ully Sigar Rusady, Ebiet G Ade serta Kelompok Kampungan dari Yogyakarta.
Dengan mengangkat tema lagu yang bercerita tentang alam, lingkungan, kritik sosial dan juga memasukkan unsur humor, karya-karya kelompok ini cepat merasuk telinga dan menjadi populer di masyarakat.
Tapi dari sekian banyak musisi, mungkin Iwan Fals yang bisa dikatakan sebagai musisi folk paling populer di Tanah Air. Meskipun tidak seproduktif dulu, namun karya-karyanya terdahulu berhasil memotret keadaan sosial politik di Indonesia, dinyanyikan berbagai kalangan di kota maupun desa, bahkan menjadi lagu yang jamak dimainkan para pengamen atau mereka yang sedang belajar main gitar.
Musik Folk Indonesia Era Sekarang
Di era sekarang, musik folk pun tak kalah peminat. Hal itu ditandai kemunculan kelompok macam Dialog Dini Hari, Tetangga Pak Gesang, Stars and Rabbit, Payung Teduh, Banda Neira, Float, Nostress, Jason Ranti, Oscar Lolang, Junior Soemantri dan Sisir Tanah.
Ditambah lagi Mr. sonjaya, Frau, Silampukau, Ari reda, Tigapagi, Endah N Rhessa, Deugalih & Folks, Harlan Boer, Sir Dandy, Adhitia Sofyan, Teman Sebangku, Nada Fiksi, Semakbelukar hingga Rusa Militan.
Mereka tentu memiliki karakter yang berbeda-beda. Sebut saja Oscar Lokang melalui lagunya berjudul “Eastern Man” kembali mengenalkan folk sebagai media untuk berjuang dengan cara yang puitis. Lagu itu bercerita tentang ketimpangan kondisi Papua yang sangat menyedihkan
“Saya terganggu sama pergolakan di Papua yang sebenarnya tidak penting, dan di balik itu ada orang-orang yang mengambil keuntungan dari kondisi tersebut,” katanya dikutip dari Qubicle.
Sementara karya duo folk Silampukau lebih banyak menceritakan kondisi kota mereka, Surabaya. Jika mencerna lirik lagu “Si Pelanggan”, pendengar seakan diajak mengenang kembali lokalisasi fenomenal Dolly yang telah ditutup. Dengan lirik yang nakal, lagu ini berhasil terpatri di telinga pendengar.
Berikut liriknya: "Dolly, yang menyala-nyala di puncak kota, yang sembunyi di sudut jalang jiwa pria Surabaya... Meski beritamu kini sedang tak pasti, yakinlah, pelacur dan mucikari ‘kan hidup abadi."
Munculnya kembali musik folk di Indonesia juga merangsang lahirnya acara Cikini Folk Festival yang digelar pertama kali pada 17 Desember 2016 lalu. Acara ini juga menampilkan musisi-musisi folk seperti Sisir Tanah, Iksan Skuter, Marjinal, Vira Talisa, Adrian Yunan, Sir Dandy, AriReda, Gabriel Mayo, Jason Ranti, Harlan Boer dan Junior Soemantri.
Dalam blog pribadinya, Felix Dass selaku penggagas acara mengatakan: “Dan dengan berani, Cikini Folk Festival 2016 diselenggarakan. Saya sejujurnya tidak (atau mungkin belum) punya kemampuan untuk membuat sesuatu yang besar dari segi pertunjukan...Tapi saya percaya bahwa festival sesungguhnya adalah kepercayaan orang akan sebuah ide yang diusung dan bisa dialami secara komunal nantinya.”
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Zen RS