Menuju konten utama

Kontroversi Hadiah Nobel Bob Dylan: Lirik Lagu Bukan Puisi

Hadiah Nobel Sastra yang dianugerahkan kepada Bob Dylan menuai kontroversi. Salah satunya karena lirik lagu dianggap tak sama dengan puisi. Lagu seringkali merupakan puisi jelek, begitu kata Simon Armitage, penyair dan profesor puisi di Oxford University, Inggris.

Kontroversi Hadiah Nobel Bob Dylan: Lirik Lagu Bukan Puisi
Bob Dylan tampil di Benicassim, Spanyol, 2012. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Sepekan setelah pengumuman Hadiah Nobel Sastra 2016, Akademi Swedia tak kunjung berhasil menghubungi Bob Dylan. Sara Danius, sekretaris tetap lembaga itu, mengaku usaha ia dan rekan-rekannya sudah sampai pada batas. "Kalau dia tidak mau datang, terserah sajalah," katanya kepada The Telegraph. "Namun perayaan tetap akan kami selenggarakan dan kehormatan itu tetap milik dia.”

“Tapi saya tidak khawatir,” katanya lagi. “Saya pikir dia akan muncul.”

Bob Dylan, entah Danius tahu atau tidak, memiliki rekam jejak yang berbeda dari kebanyakan orang terkait penghargaan. Saat dianugerahi Hadiah Tom Paine (1963), misalnya, ia mengaku bersimpati terhadap Lee Harvey Oswald, pembunuh John F. Kennedy, dalam pidatonya. Ia juga tidak menghadiri penyerahan piala Oscar (2000) dan medali Prince of Asturias (2007).

Bahkan, sesaat setelah tampil di White House untuk memperingati Black History Month pada 2010, Dylan buru-buru pergi seolah khawatir bakal ditelan bulat-bulat oleh para penontonnya.

Barrack Obama, Presiden Amerika Serikat sekaligus penggemar Dylan, mengingat kejadian tersebut secara rinci. "Ia menyelesaikan lagunya, turun dari panggung, menghampiri dan menyalami saya—yang duduk di baris paling depan, tersenyum sedikit, dan berlalu. Begitu doang,” katanya.

Barangkali pria berumur 75 tahun itu cuma tak menyukai segala tetek dan bengek dan rombongan pengunyah kerupuk yang melulu bertepuk tangan dan berseru: "Jenius kau, Kawan!" di acara-acara semacam itu. Tapi, mungkin juga, sebagaimana dikatakan Obama kemudian, dasar sikap itu ialah pikiran Dylan yang skeptis.

Infografik Puisi dan Lirik Lagu

Bahwa Bob Dylan dan karyanya punya pengaruh yang tak tergantikan dunia fana ini tentu terang belaka. Selama lebih dari enam dekade, ia telah menyentuh hidup banyak orang dan memberi makna lebih pada pengalaman mereka. Sebagaimana ditulis The Guardian pada Oktober lalu, Dylan telah “menaruh keindahan pada tragedi-tragedi terbesar dalam hidup.”

“Ibarat menyematkan medali pada Everest sebagai gunung tertinggi,” ujar Leonard Cohen tentang keputusan Akademi Swedia memberikan Nobel Sastra kepada Dylan.

Cohen bukan satu-satunya musisi yang mengakui Dylan sebagai yang terbaik. Paul Simon, bahkan ketika membicarakan “The Sound of Silence” yang kerap dianggap sebagai mahakaryanya, tidak sungkan-sungkan menggotong nama Dylan. “Tanpa dia, lagu itu takkan ada,” katanya.

Namun, apakah Nobel Sastra ialah hadiah yang tepat buat menghargai pengaruh Dylan dan, seperti kata Akademi Swedia, “ekspresi puitis baru dalam tradisi panjang nyanyian Amerika” yang telah ia ciptakan?

Secara umum, pandangan yang menyambut baik Nobel Sastra untuk Dylan terbagi jadi dua, yaitu yang menarik dan yang tidak.

Yang menarik ialah asumsi bahwa, sebagaimana disampaikan penulis Inggris Salman Rushdie, “Akademi Swedia menyadari batas-batas kesusastraan terus meluas,” dan mereka memberikan Nobel Sastra tidak lagi hanya kepada para penyair, novelis, atau penulis lakon.

Yang tidak menarik: menganggap Bob Dylan penyair dan menyamakan lirik lagu-lagunya dengan puisi-puisi yang bermutu.

Simon Armitage, penyair dan profesor puisi di Oxford University, Inggris, menulis: “Penulis lagu bukan penyair dan lagu bukan puisi. Atau, tepatnya, lagu seringkali merupakan puisi jelek. Singkirkan musiknya dan yang tersisa hanya karangan kikuk penuh silabel yang menggumpal, rima norak, klise aus, dan metafora yang kacau-balau.”

Itu tak berarti menulis lirik lagu lebih mudah, atau nilainya lebih rendah, ketimbang puisi. Keduanya diciptakan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan yang berbeda pula. Kata-kata dalam lirik lagu disiapkan untuk bersipongang dengan informasi-informasi musikal dari luar: instrumentasi, warna suara penyanyinya, dan lain-lain. Sedangkan puisi, yang terkepung kesunyian bagian-bagian kosong pada kertas, mesti menanggung seluruh tugas musikalnya sendirian. Dan puisi, karena tak terikat musik dari luar, dapat diolah secara lebih leluasa.

Ini adalah lirik “Make You Feel My Love” milik Bob Dylan: “I know you haven’t made your mind up yet, but I would never do you wrong. I’ve known it from the moment that we met, no doubt in my mind where you belong.”

Dan ini puisi Wislawa Szymborska, penyair pemenang Nobel Sastra 1996, “A 'Thank-you' Note”: “I owe so much to those I don't love. The relief as I agree that someone else needs them more. The happiness that I'm not the wolf to their sheep. The peace I feel with them, the freedom—love can neither give nor take that. I don't wait for them, as in window-to-door-and-back. Almost as patient as a sundial, I understand what love can't, and forgive as love never would.”

Tanpa musik, seperti kata Armitage, lirik lagu cuma puisi yang buruk. Dan puisi yang buruk tak semestinya mengantarkan penulisnya meraih Nobel Sastra. Mungkin Dylan mengabaikan Akademi Swedia karena ia memahami hal tersebut. Tapi, mungkin juga ia cuma menganggap mereka merepotkan.

Baca juga artikel terkait NOBEL SASTRA atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Maulida Sri Handayani