tirto.id - Tahun 1994 Penghargaan Nobel Perdamaian untuk pertama kalinya diberikan kepada tiga orang sekaligus. Mereka adalah pemimpin Palestine Liberation Organization (PLO) Yasser Arafat, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, dan Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres. Mereka dipilih pada 14 Oktober 1994, tepat hari ini 27 tahun lalu, oleh Komite Nobel Norwegia karena dinilai berperan besar dalam upaya menciptakan perdamaian di Timur Tengah.
Setahun sebelumnya, tepatnya pada 13 September 1993, terjadi kesepakatan monumental di Gedung Putih, AS, antara Israel dan Palestina. PM Israel Yitzhak Rabin dan pemimpin PLO Yasser Arafat bersepakat untuk menandatangi Perjanjian Oslo (Oslo Accord). Beberapa poin penting dari perjanjian itu antara lain pemberian kedaulatan kepada rakyat Palestina di Gaza serta Tepi Barat; pembahasan masalah pengungsi; pengakuan PLO sebagai organisasi resmi wakil Palestina; pengakuan atas hak hidup damai bagi warga Israel; dan sepakat untuk merumuskan dan membangun administrasi, infrastruktur, dan keamanan negara melalui Otoritas Palestina (PA) yang akan memerintah selama lima tahun.
Berdasarkan kesepakatan yang dianggap menjadi awal mula perdamaian Timur Tengah tersebut, panitia Nobel meliriknya untuk menjadi nomine di bidang perdamaian.
Namun, sejumlah pertanyaan kemudian muncul dari para ahli dan masyarakat Timur Tengah. Salah satunya adalah "apakah benar mereka bertiga dapat menyudahi konflik berkepanjangan Israel-Palestina dan menciptakan perdamaian abadi?"
Jejak Berdarah
Dalam situs resminya disebutkan, penghargaan Nobel Perdamaian diberikan kepada orang-orang yang telah memberikan upaya terbesar atau terbaik dalam kontrol senjata, negosiasi damai, demokrasi dan hak asasi manusia, serta berbagai pekerjaan yang bertujuan untuk menciptakan dunia lebih terorganisasi dan damai.
Jika mengacu pada hal tersebut, ketiganya sudah masuk kriteria yang ditetapkan. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan ialah kebijakan panitia yang seolah alpa melihat tindakan masa lalu ketiganya yang memiliki jejak berdarah. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa mereka tidak pantas dianugerahi penghargaan itu.
Yasser Arafat dianggap sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas aksi-aksi teror dan kekerasan yang dilakukan anak buahnya di PLO dalam kurun 1960-an hingga 1970-an. Kala itu, PLO kerap melakukan tindakan kekerasan yang didasari oleh garis perjuangan organisasi. Mereka mengobarkan perang melawan Israel di seluruh dunia guna mewujudkan cita-cita terbentuknya negara Palestina merdeka.
Begitu juga Yitzhak Rabin. Dia harus bertanggungjawab atas tindakan kekerasan oleh militer dan kepolisian Israel terhadap rakyat Palestina. Dalam peristiwa pembantaian di Masjid Ibrahim kota Hebron pada Februari 1994, misalnya, banyak saksi yang menyatakan bahwa militer ikut menembaki jamaah masjid—meskipun pengadilan membantah hal ini dan memutuskan pelaku adalah aktor tunggal bernama Meir Kahane.
Sementara Peres adalah aktor utama yang memperbolehkan warga Israel mendirikan permukiman di Tepi Barat untuk pertama kalinya. Hal ini kemudian melahirkan demonstrasi dan protes dari warga Palestina dan berujung pada kekerasan yang dilakukan aparat keamanan Israel. Kekerasan ini kemudian dibalas dengan aksi serupa oleh militan Palestina. Pola saling serang inilah yang membuat aksi kekerasan antara militer Israel dengan warga Palestina menjadi tak berkesudahan.
Fakta-fakta inilah yang terus-menerus digaungkan oleh mereka yang menolak Nobel Perdamaian 1994. Meski demikian, munculnya protes terhadap masing-masing pihak sangatlah hitam-putih dan sentimental. Mereka, baik yang pro-Israel ataupun pro-Palestina, hanya membela pihak yang didukungnya dan menyalahkan pihak lawan tanpa melihat dari dua sisi yang berbeda.
Damai di Pucuk, Panas di Akar Rumput
Meski diselimuti beragam kritikan, Ketua Komite Nobel Norwegia, Francis Sejersted, menyatakan dengan tegas bahwa pemberian itu murni atas jasa besar mereka dalam mendinginkan suasana Timur Tengah. Sejersted, dikutip dari Los Angeles Times, menyebut bahwa ia tetap melihat latar belakang dan masa lalu dari masing-masing penerima Nobel, tetapi menolak untuk mengambil kebijakan berlandaskan hal ini. Ia berdalih bahwa tujuannya adalah, “bukan untuk menilai atau membagikan sertifikasi perilaku baik tetapi hanya untuk menghargai pekerjaan praktis untuk perdamaian.”
“Kesepakatan itu membuka kemungkinan jalan keluar dari lingkaran setan yang melahirkan kekerasan dan menuju hidup berdampingan secara damai, sehingga bisa menjadi contoh bagi wilayah lain yang sedang berkonflik,” tambahnya.
Pernyataan Sejersted ini diperkuat oleh ucapan para penerima Nobel. Dalam pidato resminya usai dianugerahi Nobel Perdamaian, ketiganya sama-sama meyakinkan publik bahwa mereka adalah orang yang tepat dan layak untuk menerima penghargaan itu. Peres menyebut bahwa Arafat adalah orang yang paling cocok diberikan Nobel karena usahanya membuka dialog perdamaian dan menghindari konfrontasi. Sekaligus menyatakan bahwa Arafat dan Palestina bukan lagi musuhnya.
Rabin turut mengatakan bahwa sudah saatnya manusia hidup dalam perdamaian sejati. Lalu Arafat menyebut, “Perdamaian akan membuat rakyat Palestina berada dalam suasana yang adil dan tenang guna mewujudkan tujuan sah mereka untuk [mendapatkan] kemerdekaan, kedaulatan, mencapai kehadiran nasional dan budaya dalam hubungan bertetangga; saling menghormati dan kerjasama dengan rakyat Israel.”
Ketika menerima Nobel Perdamaian, para pemimpin kedua negara menjadi lebih kalem. Mereka sangat percaya bahwa perdamaian abadi akan terjadi di Timur Tengah. Meski demikian, sikap ini rupanya hanya ada di pucuk pimpinan. Di akar rumput, banyak yang tidak menyukai sikap mereka. Lalu timbul kembali gesekan antarkelompok yang memanaskan suasana.
Dan benar saja, perdamaian abadi masih jauh dari yang diimpikan. Konflik kedua negara makin meruncing. Israel kian agresif membangun permukiman. Sementara militan Palestina beberapa kali melakukan serangan roket terhadap masyarakat sipil.
Editor: Irfan Teguh