tirto.id - Masjid Ibrahim yang terletak di Kota Hebron, Palestina, pagi itu 25 Februari 1994, tepat hari ini 27 tahun lalu, mendadak mencekam. Ketika ratusan warga muslim Palestina baru memulai salat Subuh berjemaah pada bulan suci Ramadan, seorang pria tiba-tiba memasuki masjid dengan memakai seragam militer dan membawa senapan serbu buatan Israel, Galil. Pria itu langsung menembaki jemaah yang sedang khusyuk ibadah. Sebagian jemaah langsung kocar-kacir dan tidak sedikit yang tumbang bersimbah darah.
Pria itu terus-menerus menembakkan peluru ke arah jemaah dan hanya berhenti beberapa detik untuk mengisi ulang peluru. Setelah 10 menit menembak, aksi brutalnya akhirnya terhenti ketika para jemaah menyerang balik dan memukulinya hingga tewas—sumber lain menyebut pria itu bunuh diri.
Suasana damai dan tenang di Masjid Ibrahim kemudian berubah menjadi sangat menegangkan. Seorang penjaga masjid bernama Mohammad Suleiman Abu Saleh berkisah bahwa setelah penembakan, “ada banyak mayat dan darah di mana-mana”.
Beberapa menit setelah aksi brutal itu, diketahui bahwa pelaku penembakkan adalah seorang warga Israel bernama Baruch Goldstein. Ia adalah dokter militer Israel kelahiran New York, Amerika Serikat, yang sejak tahun 1983 pindah ke Israel dan bermukim di wilayah pinggiran kota bernama Permukiman Kiryat.
Dikutip dari Middle East Monitor, Goldstein adalah pengikut Meir Kahane, seorang Yahudi dan rabi ekstrimis yang dikenal karena pemikiran anti-Arab dan ultra-nasionalis. Terkait peristiwa berdarah ini, banyak yang menduga bahwa Goldstein mengambil inspirasi berdasarkan pemikiran Kahane.
Kejadian penembakan ini belakangan dikenal dengan sebutan Pembantaian Masjid Ibrahim atau Pembantaian Gua Makhpela. Pembantaian sadis ini tentu saja sangat membekas dalam ingatan beberapa korban yang selamat.
Fatima Hamis al-Jabari mengisahkan peristiwa ini kepada Aljazeera. Kala itu, ia beserta suami dan dua anaknya hendak menunaikan salat Subuh berjemaah di Masjid Ibrahim. Sesampainya di sana, mereka langsung menempati tempat salat. Fatima beserta jemaah perempuan lain berada di saf berbeda dengan jemaah laki-laki.
Beberapa menit setelah mereka memulai salat, suara tembakan terdengar. Fatima kaget dan langsung mencari keberadaan suaminya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat suami dan anaknya terkena peluru hingga tergeletak di tanah dan bersimbah darah. Setelah suara tembakan tak lagi terdengar, ia harus menerima nasib nahas bahwa suaminya dinyatakan tewas. Sementara anaknya masih bisa diselamatkan meski membutuhkan perawatan yang lama di rumah sakit.
“Saat penembakan dimulai, suami saya mencoba melindungi putra bungsu kami, Sari, yang berusia delapan tahun. Suleiman (suami) tertembak dari belakang. Pelurunya menembus dirinya hingga masuk ke tubuh Sari,” tutur Fatima.
Nasib serupa dialami Kamal Abdeen. Sebelum penembakan dimulai, Kamal melihat sesuatu yang berbeda dari hari-hari sebelumnya di kawasan Masjid Ibrahim. Jika biasanya di kawasan tersebut terdapat banyak tentara yang memeriksa pengunjung sebelum masuk kawasan masjid, baik secara langsung ataupun mengawasinya melalui detektor logam, maka pada hari itu berbeda. Hanya ada beberapa tentara dan pengunjung bebas keluar-masuk tanpa pemeriksaan oleh tentara dan detektor logam.
Kepada The Times of Israel,Kamal memberi kesaksian bahwa ketika terdengar letusan peluru, para jemaah langsung terjatuh ke lantai atau tanah. Juga ada yang meneriakkan, “Allahu Akbar!” sembari kebingungan dengan kondisi yang terjadi. Sampai akhirnya, Kamal yang saat itu berusia 40 tahun terkena peluru yang menembus leher dan melewati tenggorokannya. Ia harus menahan sakit yang cukup lama hingga mengalami koma selama empat bulan.
Setelah bangun dari koma, Kamal diberitahu dokter bahwa ia tidak dapat lagi bergerak bebas karena sebagian tubuhnya dinyatakan lumpuh dan mengharuskannya beraktivitas dengan kursi roda.
Kesimpangsiuran Pelaku Lain dan Bahan Peledak
Tewasnya Baruch Goldstein sesaat setelah aksi kejinya membuat peristiwa ini tidak dapat ditelusuri lebih lanjut melalui mekanisme persidangan. Tidak diketahui motif utama dan keterkaitan pihak lain terhadap tindakan Goldstein. Sampai akhirnya, empat bulan setelah peristiwa terjadi, tim investigasi bentukan Israel memberi pernyataan, “Berdasarkan bukti yang ada, Baruch Goldstein bertindak sendirian dalam penembakan dan menjadi satu-satunya orang yang disalahkan atas pembunuhan tersebut.”
Pernyataan ini tentu tidak dapat mengungkap keterkaitan pihak lain dibalik gerak keji Goldstein. Padahal sesaat setelah kejadian, banyak warga yang bersaksi bahwa terdapat pelaku lain selain Goldstein. Kesaksian ini semakin diperkuat satu bulan sesudah kejadian, tepatnya pada 16 Maret 1994 setelah jurnalis Chris Hedges dari The New York Times memublikasikan reportase bertajuk “That Day in Hebron -- A special report; Soldier Fired at Crowd, Survivors of Massacre Say” yang didasarkan atas kesaksian penyintas pembataian.
Zeinab al-Natsheh adalah salah seorang penyintas yang melihat satu tentara menembak ke dalam masjid. Menurutnya, saat itu tiga tentara sedang bertugas di dekat pintu sembari menenteng senjata. Salah satu tentara tiba-tiba meletuskan senjatanya dan menembaki orang-orang tanpa alasan yang jelas.
Kesaksian Zeinab dipertegas oleh Amin Joulani yang menyatakan bahwa dirinya korban penembakan seorang tentara saat ia berlari ke masjid untuk melihat suasana setelah mendengar penembakan. Sebelum sampai di dalam masjid, ia diadang oleh tiga tentara dan salah satunya menembak kaki kanannya hingga terjatuh.
“Saya jatuh ke tanah. Saya tidak bergerak. Para prajurit terus menembak. Saya melihat seorang pria dan seorang anak laki-laki berusia 10 tahun-an tertembak,” tutur Joulani kepada The New York Times.
Penggalan kisah Zeinab, Joulani, dan para penyintas penembakan lainnya dapat menjadi landasan bukti tim investigasi peristiwa ini. Hasil reportase mengarah pada fakta bahwa, “satu tentara Angkatan Darat Israel menembaki kerumunan yang mencoba melarikan diri dari pembantaian dan tembakan tentara itu menewaskan sedikitnya satu orang Palestina”. Meski terdapat kesaksian para korban serta didukung oleh hasil reportase, namun tim investigasi dalam pernyataan resminya bersikukuh bahwa itu adalah tindakan Goldstein sendirian. Mereka mengabaikan kesaksian para penyintas.
“Bukti yang diberikan kepada kami menunjukkan bahwa dia (Goldstein) bertindak sendiri. Kami (tim investigasi) tidak diberikan bukti yang dapat dipercaya bahwa dia telah ditolong orang lain yang bertindak sebagai kaki tangannya baik saat melakukan pembunuhan atau sebelumnya. Juga kami tidak dapat membuktikan bahwa dia punya rekan rahasia,” simpul tim investigasi dikutip dari The New York Times.
Reportase ini juga mengungkap kesaksian penyintas lainnya bahwa Goldstein menggunakan ledakan dalam kejadian berdarah itu. Hal ini didasari oleh suara ledakan keras ketika penembakan dan pecahan logam yang tertancap pada mayat korban. Salah satu penyintas bernama Jawdi Abu Hadid menuturkan, dirinya mendengar ledakan keras setelah melihat Goldstein melemparkan granat ke arah kerumunan.
Menanggapi kesaksian ini, tim investigasi bentukan Israel mengatakan bahwa tidak ada penggunaan granat, dan menduga suara keras itu dihasilkan oleh suara pintu masjid yang ditendang Goldstein sehingga menghasilkan suara mirip seperti ledakan. Pernyataan ini diperkuat pihak medis yang mengungkap bahwa tidak ada indikasi pecahan granat dari hasil rontgen dan pemeriksaan fisik pada korban. Medis menduga pecahan logam pada korban berasal dari serpihan peluru, bukan dari serpihan granat.
Di luar kesimpangsiuran tersebut, peristiwa ini menjadi salah satu peristiwa berdarah nan sadis dalam sejarah pendudukan Israel terhadap Palestina yang menewaskan 29 orang dan 125 orang lainnya terluka.
Editor: Irfan Teguh