tirto.id - Awal 2018, legenda jazz asal AS, Quincy Jones bikin geger. Dalam satu kesempatan, ia mengatakan bahwa The Beatles adalah “musisi terburuk di dunia” dan “kumpulan para bajingan yang tidak bisa bermain musik.”
Tak berhenti sampai situ, Jones juga tak luput menyerang Ringo Starr. Cerita bermula saat Jones ikut ambil bagian dalam proses pembuatan Sentimental Journey. Begini kira-kira petikannya, seperti dilansir SPIN:
“Aku ingat ketika kami berada di studio bersama George Martin. Di sana, Ringo mengambil waktu tiga sampai empat jam untuk mematangkan permainnya pada sebuah lagu. Tapi, ia tidak bisa berhasil."
"Aku dan George pun berkata, 'Bro, bagaimana kalau kamu makan kue pie dan minum beberapa bir atau jus jeruk dulu. Setelah itu, santai sedikit untuk beberapa jam ke depan.' Ia pun nurut. Kami lalu memanggil Ronnie Verrel, drummer jazz, dan bermain menggantikannya selama 15 menit."
"Ringo lalu kembali dan berkata, 'George, bisakah kamu menyuruhnya untuk bermain sekali lagi?' George memenuhinya dan Ringo berujar, 'Kedengarannya tidak begitu buruk.'"
"Aku langsung membalas, YA KARENA KAMU ENGGAK ADA SITU, BAJINGAN!"
Jauh sebelum Jones, pada 1983, komedian Inggris, Jasper Carrott juga mengungkapkan hal senada. Menurutnya, “Ringo bukanlah drummer terbaik di dunia.” Ia menambahkan, “Ringo bahkan bukan drummer terbaik di The Beatles!”
Baik pernyataan Jones maupun Carrott seperti merangkum narasi yang selama ini melekat pada sosok Ringo Starr: tak punya kecakapan spesial dalam menggebuk drum hingga hanya bermodal keberuntungan semata untuk bisa bergabung dan besar bersama The Beatles.
Banyak anggapan Ringo tak lebih dari sekadar pelengkap yang tak punya ciri khas (atau kontroversi?) yang membuat para penggemar takjub. John Lennon, misalnya, punya karisma serta pemikiran politis yang dahsyat (menentang perang, cinta damai). McCartney, mumpuni dalam memimpin band dan berinovasi. Harrison? Tentu kita tahu kecintaannya akan musik raga berhasil menaikkan musikalitasnya ke taraf tertentu yang mendorong penggemar makin jatuh hati kepadanya (dan juga kemisteriusannya).
Lalu, bagaimana dengan Ringo? Hampir tak ada narasi yang menempatkannya pada posisi istimewa. Ia dinilai biasa dan seringkali disudutkan media-media musik dengan kemampuannya “yang begitu-begitu saja.” Bahkan, saking ‘bencinya,’ orang-orang ini menyematkan status pada Ringo sebagai ‘Beatle paling buruk.’
Dari fans sampai kritikus rupanya saling sepakat bahwa dengan statusnya yang besar dan melegenda, The Beatles seharusnya merekrut pemain drum yang lebih dari sekedar Ringo. Jika Led Zeppelin punya John “Bonzo” Bonham dengan gebukannya yang atraktif lagi bertenaga, The Who memiliki Keith Moon yang ugal-ugalan, atau di Cream ada Ginger Baker yang kemampuannya bermain dapat membuat mulut berdecak kagum, mengapa tidak dengan The Beatles? Perdebatan ini terus menggema serta dianggap sebagai salah satu kegagalan tersembunyi The Beatles.
Meski banyak yang mencela, tapi yang mendukung kehadiran Ringo dalam The Beatles juga tak satu-dua. Todd Rundgren, rekan Ringgo di band All-Starr, menyebut bahwa Ringo merupakan “drummer yang dapat menangkap suasana lagu.” Ringo, tegas Rundgren, “bermain santai dan terdengar sangat alami.”
Harrison, gitaris The Beatles, juga menegaskan “Ringo adalah yang terbaik di bidangnya.” Senada dengan Harrison, Dave Grohl, pimpinan Foo Fighters, menyatakan “Ringo bermain dengan rasa.” Sedangkan Mark Lewisohn, penulis buku babon The Beatles, The Beatles: All These Years (2013) hingga The Complete Beatles Chronicle (1992) menyatakan bahwa “tidak ada permainan drum Ringo yang buruk di semua lagu The Beatles.”
Si Culun yang Berjiwa Rentan
Ringo terlahir dengan nama Richard Starkey. Orangtuanya bercerai saat umurnya masih tiga tahun. Ia lalu dirawat dan dibesarkan oleh orangtua tiri. Masa kecilnya bisa dikata tak menyenangkan. Ia menghabiskan waktu dengan bolak-balik rumah sakit sebab mengidap pleuritis (radang paru-paru) sampai usus buntu. Faktor itulah yang mengharuskannya menepikan urusan akademik.
“Kami semua datang dari kesulitan,” kata McCartney sebagaimana dituliskan Stephen Rodrick dalam “Being Ringo: A Beatle’s All-Starr Life” yang terbit di Rolling Stone. “Semua dari kita, kecuali George, kehilangan seseorang. Aku kehilangan ibuku ketika berumur 14. John juga kehilangan ibunya. Tapi, Ringo paling parah. Ayahnya pergi, ia sakit-sakitan, dan berkata pada ibunya bahwa ia tidak akan hidup lama.”
“Bayangkan bagaimana jika kamu berada di posisi Ringo. Tanpa keluarga, tanpa sekolah. Ia harus membentuk dirinya sendiri. Kami semua datang dengan pengalaman buruk dan mencoba kuat untuk itu. Tapi, Ringo adalah yang paling kuat.”
Dalam rentang 1955-1959, Ringo mengambil beberapa pekerjaan, salah satunya menjadi pengantar pesan di perusahaan kereta British Railways. Di masa-masa ini pula, Ringo intens mengulik drum. Pada Natal akhir 1959, ia memperoleh drum pertamanya dan segera bergabung dengan Ed Clayton Skiffle Group. Tak lama berselang, ia cabut dan mengisi posisi gebuk drum di band bernama Rory Storm and the Hurricane.
Pindahnya Ringo ke Hurricanes Rory Storm mengubah jalan hidup sekaligus karier musiknya. Ketika melangsungkan tur ke Hamburg, ia bertemu John, Paul, dan George. Ketiganya terkesima dengan aksi panggung Ringo. Usai tampil, mereka berbicang sebentar untuk sekedar basa-basi. Nyatanya, yang terjadi lebih dari itu. Pada 1962, ia bergabung dengan The Beatles menggantikan Pete Best.
“Beberapa menit pertama saat Ringo memainkan drumnya, aku melihat ke George dan Lennon. Kami tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tapi, aku ingat kalau aku berpikir, ‘Sial, ini luar biasa,’” papar McCartney.
Maka, dimulailah jalan baru pemuda asal Liverpool yang masa kecilnya terlunta-lunta itu. Bersama The Beatles, Ringo mengecap popularitas yang mungkin tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Mencetak banyak hits, albumnya laris manis di pasaran, mengisi gelanggang konser dengan penonton yang membludak, hingga berstatus musisi papan atas.
Namun, perjalanan Ringo dan The Beatles harus berakhir pada 1970. Faktor penyebabnya begitu banyak: meninggalnya Brian Epstein, dominasi McCartney yang membuat anggota lain risih, kehadiran Yoko Ono, perbedaan visi dan selera musik usai rilisnya Sgt. Pepper Lonely Hearts Club Band (1967), hingga pertarungan ego yang semakin waktu semakin sulit dikendalikan.
Ihwal keretakan tersebut, Ringo sudah menciumnya sejak proses pembuatan White Album pada 1968. Menurut penuturannya, suasana saat rekaman album itu begitu kompleks. Bingung menentukan kreasi, banyak debat, sampai muncul perasaan terisolasi. Akhirnya, ia menyimpulkan bahwa ada yang tidak benar selama sesi rekaman White Album.
Selama sekitar 10 hari, Ringo absen dari proses rekaman White Album. Ia pergi ke Sardinia bersama anak-anaknya, menikmati birunya lautan beserta menu santap ikan sampai cumi. Setelah dirasa cukup, ia kembali ke realita. Tapi, situasi tak berubah. Masa depan The Beatles sulit diselamatkan.
Harapan Ringo untuk menyatukan The Beatles sempat muncul. Ia menilai The Beatles tidak semestinya bubar begitu saja dan konflik-konflik yang ada punya kemungkinan untuk diselesaikan. Namun, harapan itu sirna ketika Lennon tewas ditembak penggemar gila bernama David Champan pada 1980.
Tanpa Ringo, Tak Ada The Fab Four
Berbagai pembelaan terhadap Ringo memang betul adanya. Drummer dengan hidung betet ini jelas bukan Bonham, Moon, atau Baker yang atraktif dan eksplosif. Ia juga jarang unjuk aksi lewat permainan solo. Gebukan drum Ringo sangat ringkas serta mengalir apa adanya. Justru itulah yang membuatnya hebat.
Kritikus musik Chicago Tribune, Greg Kot, menjelaskan permainan eksepsional Ringo bisa disimak lewat “Tomorrow Never Know,” “Here Comes the Sun,” sampai “Come Together” di mana ia begitu mahir mengubah ritme dengan hanya bermodalkan perkakas yang sederhana.
Ben Cardew dalam “In Defence of Ringo Starr: A Masterful Drummer and the Beatles’ Unsung Genius” yang terbit di The Guardian juga mengungkapkan pendapat serupa. Baginya, ketukan drum Ringo memang tak sefenomenal Bonham. Tapi, ia mampu memenuhi ruang-ruang nada dan harmoni dengan pas.
“Artinya, banyak orang-orang tidak menyadari permainan terbaik Ringo. Permainan drum Ringo dirancang untuk menyempurnakan lagu dibanding untuk ajang pamer kemampuan drummer. Lihat nomor “She Loves You” tatkala Ringo menyuntikkan adrenalin yang bikin pendengar bergetar. Atau pada “Can’t Buy Me Love” yang menunjukkan bagaimana ia membungkus perpaduan bunyi hi-hat sampai floor-tom dengan rapi seolah sedang mendengarkan lima pemain drum bermain sekaligus,” tulisnya.
Stabil. Konsisten. Harmonis. Tiga hal tersebut merupakan kekuatan dan keistimewaan Ringo. Ritme yang stabil merupakan detak jantung dari setiap musik, dan tanpa drummer yang kompeten, lagu-lagu The Beatles tak akan pernah terurai.
Selain kesederhanaan dalam bermain, yang bikin Ringo istimewa adalah kemampuannya menciptakan lagu. Hal ini pula yang kerap dilontarkan para pengkritik Ringo. Bahwa tak seperti John, Paul, atau George, Ringo dianggap tak punya daya kreatif dan tak jago bikin lagu.
Padahal, sejarah mencatat, Ringo juga berandil besar dalam proses kreatif The Beatles. Beberapa magnum opus The Beatles merupakan ciptaan Ringo seperti “Octopus’s Garden,” “Yellow Submarine,” “With a Little Help from My Friends,” sampai “Don’t Pass Me By.” Lagu-lagu yang dibikin Ringo punya karakter yang kuat dan bernas di setiap aspek; dari lirik hingga komposisi.
Pada akhirnya, kita harus segera memperbaharui dan mengakhiri perdebatan selama ini yang menempatkan sosok Ringo Starr bak pecundang. Sama seperti anggota lainnya, Ringo juga mutiara yang membuat nama The Beatles bersinar hingga sekarang. Andilnya begitu besar. Pengaruhnya begitu dahsyat.
Ringo adalah kepingan terakhir yang lahir untuk melengkapi The Beatles secara paripurna. Ia ibarat bagian hilang yang selama ini dicari Paul, John, dan George. Ketiganya, disadari atau tidak, membutuhkan Ringo lebih dari yang mereka kira. Dengan ego mereka yang saling bertarung satu sama lain, Ringo adalah perekat emosional yang menyatukan The Beatles. Ringo tidak nampak egois dan mengikuti apa yang ingin dilakukan oleh tiga lainnya. Satu hal yang pasti, tanpa Ringo mungkin The Beatles tak akan sebesar ini.
“Starr sangat berarti bagi kita semua dalam keluarga Beatle,” ungkap Yoko Ono beberapa waktu silam kepada Rolling Stone. “Mungkin tak ada yang percaya. Tetapi, ia adalah Beatle yang paling berpengaruh.”
Editor: Nuran Wibisono