Menuju konten utama
Mozaik

Awak Pesawat Dakota Dimutilasi, Bekasi Jadi Lautan Api

Proklamasi 1945 tak lantas mampu meredam gejolak di akar rumput. Bahkan, sekadar insiden kecelakaan bisa memantik pembumihangusan di Bekasi oleh Inggris.

Awak Pesawat Dakota Dimutilasi, Bekasi Jadi Lautan Api
Header Mozaik Pembantaian 26 Tentara Inggris di Bekasi oleh Pejuang Indonesia. tirto.id/Tino

tirto.id - Baru beberapa waktu setelah tragedi pembantaian kaigun Jepang di Kali Bekasi, kota ini kembali dirundung tragedi.

Pada Jumat, 23 November 1945, langit Rawa Gatel di Cakung, Jakarta Timur, menyaksikan peristiwa yang kelak menjadi bara dalam sejarah republik muda. Sebuah pesawat C-47 Skytrain/Dakota milik RAF (Angkatan Udara Inggris), yang terbang dari Lapangan Udara Kemayoran menuju Semarang, terpaksa mendarat darurat di persawahan Cakung sekitar pukul 11.00 WIB karena kerusakan mesin.

Surat kabar De Volkskrant pada 4 Desember 1945 mencatat, pesawat itu membawa 25 orang: 5 awak berkebangsaan Inggris dan 20 lainnya tentara India (Sikh) yang tergabung dalam pasukan Sekutu Batalion 2/19 Kumaon.

Penduduk Cakung, yang hatinya masih hangat oleh semangat proklamasi, berbondong-bondong mendekat. Pada tengah hari itu, warga kampung berhamburan dengan niat mengulurkan tangan persaudaraan dan bantuan.

Hal itu diamini oleh pemberitaan Harian Merdeka (1/12/1945) pimpinan B. M. Diah. Mereka mengklarifikasi bahwa penduduk yang berkerumun hanya ingin menolong, bukan menyerang.

“Sebuah pesawat Dakota jatuh di Pondok Gedeh kemarin. Penduduk datang untuk menawarkan bantuan, tetapi tentara Inggris mulai menembaki mereka. Lalu dalam perkembangannya, api yang ditembakkan dengan karet (semacam bom molotov?) menjadi alasan pintu pesawat terbakar,” tulisnya.

Namun, kendala bahasa dan ketegangan pasca-kolonial membuat niat baik itu disalahartikan. Awak Dakota yang panik justru menembaki mereka yang mendekat.

Tembakan dari senapan menembus beberapa tubuh. Dalam suasana kalut, tentara Inggris beradu amuk dengan nyali penduduk.

Kala asap kokang senjata dan mesin Dakota masih menguap, tentara Inggris, yang kelabakan dan didera cedera akibat kecelakaan, mampu dilumpuhkan. Mereka terkepung.

Senjata beberapa pasukan Inggris dilucuti dan dirampas. Seluruh awak yang menumpang pesawat Dakota ditawan.

Mereka dijerat oleh warga dan sempat dihadapkan lebih dulu ke H. Maksum, anggota Barisan Rakyat pimpinan H. Darip, lantas diarak menuju markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Ujung Menteng.

Beberapa waktu selanjutnya, para tawanan diseret ke sel tangsi polisi Bekasi.

Sebagaimana epilog Merdeka menuliskan, “Apa yang kita lakukan sendiri adalah membela diri kita, membela kebebasan kita.”

Ditawan, Dimutilasi, Dibalas dengan Api

Menurut pemberitaan De Telegraf pada 15 September 1956, setelah ditawan, 25 awak Dakota itu dibunuh oleh unit republik. Pihak yang disebut sebagai dalang mutilasi adalah Zwarte Buffel (Laskar Banteng Hitam).

Tak hanya itu, orang-orang yang dibiarkan hidup dibikin cacat permanen. Sementara itu, beberapa yang mati dimutilasi dengan sadis. Jasadnya diceburkan ke sungai di belakang tangsi polisi Bekasi.

Tak ada perintah atau prakarsa dari satu sosok. Kejadiannya berlangsung begitu cepat.

Pihak Inggris marah besar ketika kabar tersebut sampai ke telinganya. Sebagai pembalasan, esok harinya Bekasi dibumihanguskan.

Laporan Nieuwsblad van het Zuiden mengabarkan, Jenderal Christison dari Inggris langsung memasang wajah murka. Ia pun mengerahkan sekompi lengkap resimen infanteri Punjab, satu skuadron kavaleri, 50 truk, serta lima meriam, untuk memburu Laskar Banteng Hitam.

Bekasi jadi lautan api. Tanah patriot jadi bopeng lantaran hunjaman bom-bom Inggris.

Richard MacMillan dalam The British Occupation of Indonesia: 1945-1946 (2005: 70—71) menuturkan, “Keesokan harinya, 24 November, sebuah ekspedisi dilakukan oleh pasukan dari Batalion Infanteri Ringan Mahratta ke-6/5, salah satu batalion dari Brigade Infanteri India ke-49 yang sebelumnya terlibat dalam pertempuran awal di Surabaya tetapi kini bermarkas di Jawa Barat.”

Kompi B, C, dan D, beserta Markas Besar Taktis serta satu pasukan tank, berhasil mencapai lokasi kecelakaan pesawat. Tak jauh dari sana, jasad seorang prajurit India ditemukan di sekitar kanal.

Sebagaimana dugaan-dugaan soal mutilasi awak pesawat Dakota yang terhimpun dalam Battalion War Diary, kondisinya digambarkan sebagai berikut:

“Tubuh hancur berkeping-keping, satu tangan putus. Banyak luka di sekujur tubuh. Satu kepala IOR dan satu tangan ... lima kaos kaki berlumuran darah, delapan pelat popor senapan yang terbakar ditemukan dari area yang sama. Kemungkinan pesawat lainnya mengalami nasib yang sama. Dakota ditemukan ‘hancur lebur dan terbakar habis kecuali sebagian badan pesawat’,” sebagaimana disitir MacMillan.

Penyisiran tawanan awak Dakota dan perburuan anggota Laskar Banteng Hitam terus dilakukan. Namun, tindakan balasan yang dilancarkan itu melampaui batas.

Sejauh 1.000 yard di sebelah utara jatuhnya pesawat, rumah-rumah penduduk dibakar tanpa sisa. Perintah pembakaran langsung datang dari Komandan Brigade Kompi B dan C.

Di salah satu rumah kayu yang tinggal puing dan abu, seorang penduduk setempat tepergok bersembunyi. Dia dilaporkan memiliki beberapa seragam tentara India dan sebuah senapan. Namun, nasib selanjutnya tak diketahui pasti.

Sebanyak 600 rumah warga dibakar dan bangunan-bangunan utama di area tangsi dipasangi jebakan. Di antaranya granat tangan dan ranjau darat yang sengaja ditanam sebelum pasukan Inggris meninggalkan Bekasi.

MacMillan mencatat, di antara rumah-rumah yang terbakar, tak ada sama sekali permukiman orang Cina yang terdampak. Namun, Het dagblad edisi 18 Desember 1945 mengabarkan, “Penduduk Cina di Bekasi tetap tinggal, bagaimanapun, karena mereka jelas tidak perlu takut kepada pasukan Inggris .... Sayangnya tidak dengan rumah-rumah mereka, sekitar 60 rumah orang Cina terbakar, menyebabkan sekitar 300 orang—pria, wanita, dan anak-anak—kehilangan tempat tinggal.”

Bahkan, ketika pengeboman mereda dan pasukan Inggris telah meninggalkan Bekasi, orang-orang Cina justru mendulang apes “balas dendam” yang mestinya bukan tertuju kepada mereka.

Lebih dari 20 orang Cina ditawan. Sementara itu, rumah-rumah yang terhindar dari lahap jago merah menjadi korban amuk penjarahan penduduk.

Rakyat Tak Tinggal Diam

Ketika penyisiran masih berlangsung, Kompi B diserang oleh sekira 100 laskar pejuang yang bersenjatakan pedang dan senapan. Namun, serangan itu gagal akibat hujan mortir dari kubu lawan.

Dua puluh lima pejuang republik tewas, 20 orang terluka, dan 15 lainnya ditawan. Lima orang di antara ratusan laskar yang menyergap itu berusaha melarikan diri, tapi kemudian dibunuh oleh Kompi D. Adapun di pihak Inggris memakan korban satu orang tentara India, tetapi hanya menderita luka ringan.

Di Pondok Ungu, pasukan yang melanggar garis demarkasi di Kali Cakung dihadang oleh sekelompok Laskar Hizbullah pimpinan KH. Noer Ali, dibantu oleh TKR Laut pimpinan Madmuin Hasibuan dan jawara silat Subang, Ama Puradiredja.

Ali Anwar dalam biografi KH. Noer Ali: Kemandirian Ulama Pejuang (2015) menceritakan, pada 29 November 1945, laskar rakyat membalas serangan Inggris dalam Pertempuran Sasak Kapuk. Kendati dilancarkan dengan penuh semangat juang, tak ada yang benar-benar diuntungkan atau menang dalam pertempuran tersebut.

Sekalipun persenjataan rakyat terbatas, patriotisme laskar patut diacungi jempol. Bagaimana tidak, hal yang mereka hadapi ialah satu kolom pasukan beserta tank taktis. Padahal, senjata-senjata mereka terkesan sederhana, seperti bambu runcing, golok, dan parang, selain memang dibantu beberapa senapan hasil rampasan.

Kelompok lain, yakni Laskar Banteng Hitam, pihak yang disebut-sebut sebagai dalang mutilasi awak Dakota, berhasil dibunuh seluruhnya.

Het dagblad edisi 21 Oktober 1947 mengabarkan, “Menurut surat kabar Keng Po, enam orang [Laskar Banteng Hitam] telah ditangkap di Klender, yang bersalah atas pembunuhan penumpang Dakota Inggris, yang melakukan pendaratan darurat di Rawa Gatel pada akhir 1945.”

Sebanyak 60 anggota Laskar Banteng Hitam lain, yang menyingkir dan bertahan di luar Bekasi, juga tewas diburu.

Akhir November sampai awal Desember, Kota Bekasi praktis kosong.

“Seorang anak laki-laki belanda, 20 orang Tionghoa dan Indonesia, serta tiga perempuan Ambon dibebaskan dari penjara. Salah satu perempuan Ambon menyatakan bahwa awak RAF dan pasukan India semuanya telah terbunuh dua atau tiga hari sebelumnya. Mayat-mayat itu ditemukan oleh Kompi ‘D’ dari Divisi 1/16 Punjab, terkubur di tepi sungai,” tulis MacMillan.

Christison Keukeuh Membenarkan Perintah Kejinya

Surat kabarAlgemeen Indisch dagblad edisi 22 September 1956 menganggap tindakan Christison "terlalu ekstrem", sampai-sampai dicap seperti genosida NAZI.

Christison menjadi sasaran pemberitaan dan label yang tidak menyenangkan dari pers karena disebut sebagai komando tertinggi perintah pembakaran Bekasi. Alih-alih mengakui kekejamannya, ia justru menganggap tindakannya benar sebab mampu menghentikan ekstremisme Laskar Banteng Hitam.

“Bakar Bekasi!” begitulah mandat Christison kepada pasukannya.

Menurut Peter Dennis dalam Troubled Days of Peace (1987), Louis Mountbatten, Panglima Angkatan Laut Inggris (SEAC) sekaligus atasan Christison, merasa “cemas” akibat tindakan sewenang-wenang bawahannya. Dia pun menyampaikan keluhannya kepada Kepala Staf Inggris.

“Meskipun pembalasan pasti akan terjadi sebagai akibat langsung dari reaksi manusia yang wajar terhadap kasus-kasus kebrutalan atau pembunuhan yang parah [terhadap tentara Inggris], hal itu tidak boleh dianggap remeh sebagai masalah prinsip,” tulis Dennis (hlm. 150).

Christison mengklaim kepada penasihat politik Mountbatten, H. F. C. Walsh, dari Kementerian Luar Negeri, bahwa pembumihangusan Bekasi bukanlah sebuah pembalasan, melainkan “kebutuhan operasional”.

Koordinasi antara Inggris dan Belanda dalam urusan pengeboman Bekasi sangat buruk.

“Jika ini memang benar—dalam catatan Mountbatten—sungguh disayangkan mereka tidak memberi tahu kami hal ini sejak awal,” sambung Dennis.

Baca juga artikel terkait SEJARAH KEMERDEKAAN atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin