tirto.id - Di Jalan Ir. H. Juanda, Marga Jaya, Kota Bekasi, sebuah monumen kokoh menjulang bercat gelap memunggungi Kali Bekasi. Di tubuhnya—yang mirip setengah cerobong—relief kereta, serdadu Jepang, dan rakyat Bekasi yang menenteng senjata.
Dibangun pada 1962, Monumen Kali Bekasi adalah mercusuar memoar berdarah. Di pilar-pilar besi dan granit yang menancap di bantaran kali, terbayang tetes darah korban perang dan revolusi yang membasahi rel kereta Bekasi pada 19 Oktober 1945.
Monumen ini bukan sekadar bangunan, ia adalah tengara ratapan dan pusara para tawanan Jepang di sisi kali yang menderu. Darah dikorbankan atas nama “merdeka”, mengubah gegap gempita revolusi menjadi titik kelam memori kolektif.
Sebanyak 90 anggota kaigun (angkatan laut Jepang) dibantai di tepi Kali Bekasi. Rombongan ini melintasi Bekasi hendak menuju Lapangan Terbang Kalijati, Subang. Tujuannya, terbang pulang ke Jepang. Karena kalah oleh Sekutu pada Perang Dunia II, para petinggi militer Jepang terpaksa menarik mundur sebagian besar pasukannya dari daerah pendudukan.
Tragedi terjadi akibat buruknya komunikasi. Laskar rakyat yang mengira senjata Jepang telah sepenuhnya diserahkan kepada republik—menyusul kapitulasi 15 Agustus 1945—meradang ketika melihat kereta yang penuh oleh serdadu Jepang melintas.
Mereka segera menghentikan kereta di atas rel Kali Bekasi, menuntut agar pasukan Dai Nippon benar-benar tak lagi bersenjata ketika kembali ke Negeri Matahari Terbit.
Ketika negosiasi di antara kedua belah pihak gagal meredam amarah, 90 serdadu Jepang dilucuti paksa, lalu dihabisi di tepi rel.
Menurut Robert Cribb dalam Gangster and Revolutionaries (1991), pembantaian di Kali Bekasi menancap dalam ingatan kolektif. Ada isu soal arwah-arwah para serdadu yang bergentayangan di sekitar tempat eksekusi.
“Arwah-arwah tentara angkatan laut Jepang yang tewas di Bekasi kembali menghantui tempat itu, berbaris dalam formasi melintasi jembatan dengan kepala terselip rapi di bawah lengan mereka,” tulis Robert Cribb (hlm. 80).
Rantai Komando yang Putus
Bekasi, 19 Oktober 1945, pukul 09.00 WIB. Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jatinegara mendapat instruksi mendesak dari pusat, lewat telepon yang diwakilkan oleh Komandan Resimen V TKR, Mayor Sambas Atmadinata. Kala itu, Bekasi bagian dari Kewedanaan Jatinegara.
Satu rangkaian kereta api yang memuat 90 anggota kaigun hendak melintas Stasiun Bekasi. Seluruh personel TKR diharapkan membiarkannya lewat.
Aziz Rahmatullah dalam “Pertempuran Bekasi 1945” (2023) menuturkan bahwa rantai komando TKR di Bekasi tak sinkron.
Instruksi tersebut diteruskan kepada Wakil Komandan, Letnan Dua Zakaria Burhanuddin. Namun nama yang terakhir justru merespons dengan gelagat lain.
Saat kereta itu melintas, mereka lolos dari blokade para laskar Bekasi. Namun ketika hendak ke Cikampek, kereta diberhentikan paksa, dan para awak di dalamnya diperiksa.
Laskar yang mencegat rombongan kereta itu dipimpin Zakaria. Ketika mendengar rombongan tentara Jepang hendak melewati Bekasi, Zakaria segera berkoordinasi dengan Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) Bekasi.
Radar Bekasi edisi 19 Juli 2010 menceritakan, Zakaria memerintahkan kepala stasiun untuk memindahkan wesel dari rel dua (arah Cikampek) ke rel buntu (menuju bekas jembatan lama sisi Timur Stasiun Bekasi).
Ada tiga gerbong yang berisikan tentara Jepang. Masing-masing berjumlah 30 orang.
Pukul 10.00 WIB, Zakaria yang berbekal pistol melompat naik, merangsek ke dalam gerbong kereta yang mandek. Dia menggeledah seluruh rangkaian kereta dan meminta untuk memperlihatkan surat jalan resmi dari pemerintah pusat di Jakarta kepada tentara Jepang.
Kendati surat telah disodorkan yang ditulis Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo dan bertanda tangan Sukarno, reaksi laskar di luar perkiraan. Surat tersebut tak ditanggapi dengan ramah. Rasa benci dan amarah membuncah akibat penjajahan, memicu dendam kesumat yang seolah wajib dibayar tuntas.
Apalagi ketika memergoki beberapa tentara Jepang menyembunyikan senjata di gerbong belakang, reaksi kaget dan kecewa menyembul. Keadaan memanas, sempat timbul cekcok dan provokasi, bahwa Jepang mengingkari gencatan senjata dan kembali mengobarkan perang.
Di tengah situasi kalut, komandan kaigun tiba-tiba melepaskan tembakan ke samping kepala Zakaria. Meski tembakan tersebut tak mengenainya, Zakaria membalasnya dan mengarahkan pistolnya ke tubuh sang komandan, menembaknya, dan tewas seketika.
Kekacauan kecil timbul. Para serdadu Jepang yang kalah jumlah dari serbuan laskar berhamburan keluar. Beberapa lainnya mendesak menyelinap gerbong belakang untuk mengambil senjata.
Namun belum sempat mengambil senjata, laskar rakyat berhasil menguasai keadaan. Para anggota laskar berhasil memojokkan kaigun dengan senjata khasnya: bambu runcing, golok, pisau, dan parang.
Beberapa tentara sempat kabur ke arah Teluk Buyung dan Teluk Pucung. Tetapi hasil akhirnya sama. Semuanya kembali tertangkap dan tertawan.
Kereta api disabotase. Barang-barang dirampas, termasuk ratusan pucuk senjata.
Setelah itu, seluruh anggota kaigun digelandang menuju Rumah Gadai, gudang terbengkalai yang terletak di belakang Stasiun Bekasi.
Tak diketahui apa yang terjadi di dalam sana. Tetapi yang jelas empat jam setelahnya, bermodal nekat, menghiraukan izin restu Mayor Sambas Atmadinata, laskar rakyat menggiring 90 kaigun ke tepian Kali Bekasi.
Semua tentara Jepang dibantai. Mayat-mayatnya diceburkan dan dibuang ke dalam sungai.
“Kali Bekasi sampai berwarna merah karena darah yang keluar dari tubuh para serdadu Jepang itu,” ungkap Dullah (89) yang dikutip oleh H. Andi Sopandi dalam Sejarah dan Budaya Kota Bekasi: Sebuah Catatan Perkembangan Sejarah dan Budaya Masyarakat Bekasi (2003: 32).
Salah satu sosok jawara lokal yang tertulis dalam catatan sejarah tragedi di Kali Bekasi adalah Haji Jole. Menurut Andriyansyah dalam “Resistensi Tradisional: Haji Jole dan Perlawanan Rakyat Bekasi Menghadapi Pasukan NICA 1945-1950” di Jurnal Pegon (2024), Haji Jole berperan besar dalam peristiwa tersebut.
Sebagai jawara, ia adalah sosok yang gemar berseteru dengan Sekutu, mahir bergerilya, dan sering membuat tentara NICA kewalahan.
Ketika masa pendudukan Jepang, Haji Jole yang bersinergi dengan TKR kedapatan turut serta dalam aksi sabotase kereta api Jepang.
“Serangan ini menunjukkan bahwa kelompok Haji Jole tidak hanya menargetkan pasukan Sekutu... Penempatan serangan di sekitar stasiun dan sungai menunjukkan kemampuan mereka memanfaatkan infrastruktur sebagai alat pengintaian dan serangan,” tulis Andriyansyah (hlm. 100).
Respons Jepang dan Pemerintah RI
Mengetahui tragedi yang menimpa para anggota kaigun, Laksamana Maeda berang. Komandan Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Dai Nippon itu melayangkan surat protes kepada Pemerintah RI.
Kepala Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, bersama seorang staf Departemen Luar Negeri RI bernama Boediarto diperintahkan untuk menghadap Maeda.
Kedua utusan meminta maaf kepadanya dan berjanji tragedi serupa tak akan terulang kembali. Mereka mengakui tragedi itu sebagai tindakan “mandiri” laskar demi kedaulatan, namun menegaskan perlunya kode etik dan penegakan disiplin dalam laskar rakyat.
Ali Anwar dalam Revolusi Bekasi (2016) mengisahkan, sebagai bentuk pertanggungjawaban, pada 25 Oktober 1945 Presiden Sukarno melawat ke Bekasi.
Di hadapan rakyat Bekasi, Sukarno memberi wejangan. Dia mengimbau agar seluruh elemen masyarakat menaati setiap instruksi dari pusat. Tak boleh lagi insiden serupa terjadi, apalagi sabotase sampai pembunuhan yang dilancarkan tanpa komando resmi.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































