tirto.id - Herman Nicolas “Ventje” Sumual muda sudah muak bekerja di kapal Jepang. Ia akhirnya kabur ke Jakarta, berkumpul dengan sesama kawan Minahasa.
Sumual dan teman-temannya menjalani kehidupan tanpa pekerjaan tetap—alias free man atawa preman. Saat itu Sumual sering nongkrong di Asrama Indonesia Muda, lokasi kursus politik yang dibentuk pada Oktober 1944 di bilangan Kebon Sirih, dikelola oleh Mr. Ahmad Subardjo atas sokongan Laksamana Maeda, Kepala Penghubung Angkatan Laut Jepang di Jakarta.
Berdasarkan penelusuran sejarawan Benedict Anderson dalam Revoloesi Pemoeda (1989), Laksamana Maeda “diperintahkan oleh pejabat-pejabat Angkatan Laut di Makassar untuk melakukan pengawasan” kepada orang-orang Minahasa itu.
“Sebagian besar dari mereka tampaknya bekas tentara KNIL (Belanda) yang kehilangan pekerjaan dan terpisah dari keluarga-keluarga mereka karena perang,” tulis Anderson.
Menurut pengakuan Sumual dalam Ventje Sumual: Menatap Hanya Ke Depan (1998), salah satu bekas KNIL Minahasa yang terkenal di sekitar Senen adalah Jan Rapar. Laki-laki ini—konon badannya seberat 100 kg—seorang yang jago berkelahi. Jan Rapar ialah jagoan yang cukup ditakuti. Setara Rapar, ada Evert Langkai—juga berkelahi.
Tak segan orang-orang Minahasa ini baku pukul dengan orang-orang Belanda. Kalau sudah berurusan dengan polisi, mereka akan datang Mr Alexanader Andries Maramis sebagai malaikat pembebas.
Ventje Sumual menyebut Rapar dan Langkai adalah pemimpin dari pemuda-pemuda Minahasa di sekitar Senen. Seperti Sumual, mereka juga nongkrong di Asrama Indonesia Merdeka. Banyak pemuda nasionalis di sana.
Orang-orang Minahasa itu, menurut Anderson, dilibatkan dalam unit semimiliter bernama Choku-eitai, yang dibentuk oleh Laksamana Maeda. Unit ini dibikin demi keperluan sabotase, kontraintelijen, dan pengintaian. Orang-orang inilah yang belakangan ikut serta dalam laskar yang cukup dikenal di masa revolusi: Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS).
Menurut Robert Cribb dalam Para Jagoan dan Kaum Revolusioner di Jakarta (2009), Jan Rapar adalah kolega dari jagoan Senen, Imam Syapi'i—ada yang Imam Syafei—alias Bang Pi'ie. Menurut, Jerome Tadie dalam Wilayah Kekerasan Jakarta (2009), jagoan yang dikenal buta huruf ini jago mengorganisir massa dari golongan orang-orang pasar, termasuk para pencopet. Bersama-sama, orang-orang Bang Pi'ie dan orang-orang Minahasa ini terseret dalam arus revolusi Indonesia setelah Jepang takluk oleh Sekutu pada 14 Agustus 1945.
“Tanggal 16 (Agustus), menjelang malam, Evert Langkai menyuruh kami berkumpul. Katanya, Wikana sudah sampaikan melalui dia. Proklamasi akan dibacakan besok, 17 Agustus pagi. Malam ini rapat perumusan. Kami diminta untuk menjaga keamanan di wilayah sentral Jakarta,” tulis Sumual dalam memoarnya.
Baca:
- (Tiada) Proklamasi Indonesia tanpa Wikana
- Pemuda Kiri Mendesak Proklamasi
- Bang Pi'ie, Sang Jawara yang Jadi Menteri
Para koleganya dari Minahasa membagi diri dalam beberapa regu. Di sekitar Menteng, ada regu-regu yang dipimpin Langkai. Regu yang dipimpin Sumual berjaga di sekitar Kebon Sirih.
Kepada preman-preman yang berjaga itu, Rapar berkata seperti diingat Sumual, “Ini saatnya kalian harus tunjukkan kelaki-lakian kalian.”
Sepanjang malam itu mereka tak menemukan masalah apa pun, kecuali sepi semata. Ketika pagi tiba, saat Proklamasi Kemerdekaan RI dibacakan, para preman ini tertidur.
Perjuangan Laskar Pasca-Proklamasi
Tak berhenti melulu mengamankan detik-detik proklamasi, preman-preman itu ikut angkat senjata melawan tentara Belanda.
Di sekitar Senen, Bang Pi'ie adalah pemimpin pemuda dari para preman atau jagoan sekitar Senen. Mereka sering bentrok dengan tentara Belanda yang bermarkas di sekitar Kwini. Bang Pi'ie dan pasukannya kemudian terhimpun dalam Laskar Rakjat Djakarta Raja.
Kelak orang-orang dari kalangan Laskar Bang Pi'ie maupun orang-orang Minahasa dalam KRIS diangkat dalam ketentaraan Republik. Bang Pi'ie belakangan jadi Letnan Kolonel TNI, begitupun Ventje Sumual.
Selain para preman yang sukarela bergabung, ada ratusan residivis alias narapidana yang dibebaskan dan bergabung dengan pihak republik.
Dalam autobiografi Abdul Haris Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1990), ada “sepasukan orang-orang hukuman yang diambil dari penjara-penjara” untuk dikerahkan ke daerah musuh di front Jawa Barat.
Menurut catatan Robert Cribb, orang seperti dokter gigi Moestopo—kelak sebagai mayor jenderal—punya gagasan membentuk pasukan Tentara Rahasia Tinggi (Terate) yang terdiri residivis, perampok, dan pelacur. Mereka dimobilisasi untuk menciptakan kekacauan dan kebingungan di kalangan serdadu-serdadu Belanda di sekitar Bandung.
Satu dari bekas pasukan semacam ini adalah Kusni Kasdut. Nasution menerima laporan soal meningkatnya angka perampokan di daerah yang diduduki Belanda.
Baca:Usaha Mempertahankan Surabaya tanpa Komando Terlatih
Kusni Kadut, dari Pejuang Menjadi Perampok
Pekerja Seks dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia
Selain Moestopo, Abdul Kahar Muzakkar melakukan langkah serupa. Perwira yang bekerja di bawah Kolonel Zulkifli Lubis dalam Penyelidik Militer Chusus (PMC) Pingit Yogyakarta ini, sekitar akhir 1945 dan awal 1946, mengumpulkan 800-an orang bekas residivis—yang dibui di penjara kelas berat.
“Ia mengumpulkan kawan-kawan pemuda yang berasal dari Sulawesi Selatan, terutama orang-orang Sulawesi di Nusakambangan, dan membentuk Batalyon Kemajuan Indonesia (BKI), langsung di bawah Tentara Keamanan Rakyat (TKR),” menurut laporan BW Lapian dalam Riwayat Hidup Kahar Muzakkar dalam koleksi arsip Sekretaris Kabinet Perdana Menteri 1950-1959 nomor 939 di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Kahar, yang tak pernah mendapatkan pelatihan militer, meyakini bahwa bekas residivis bisa dilatih sebagai tentara. Menurut catatan Barbara Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: dari Tradisi ke DI/ TII (1989), BKI pernah ikut bertindak sebagai pengawal dari Presiden Sukarno ketika di Yogyakarta, ibu kota Republik setelah Jakarta diduduki tentara Belanda dalam Agresi Militer.
Baca laporan khusus Tirto mengenai kiprah Kahar Muzakkar: Si Pembangkang Sejak Belia
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam