Menuju konten utama

Kahar Muzakkar, Si Pembangkang Sejak Belia

Di masa muda, Kahar Muzakkar dibuang ke Jawa lantaran melawan adat setempat. Revolusi menjadikannya seorang letnan kolonel.

Kahar Muzakkar, Si Pembangkang Sejak Belia
Abdul Kahar Muzakkar. FOTO/Istimewa

tirto.id - Kahar Muzakkar bukan nama pemberian orangtuanya. Sebelum beranjak dewasa, ia dipanggil La Domeng. Waktu kecil ia suka main (kartu) domino. Tak jelas benar nama sesungguhnya.

Menurut Barbara Sillars Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: dari Tradisi ke DI/ TII (1989), namanya menjadi Abdul Kahar Muzakkar setelah sekolah di Solo. Nama itu “digubahnya dari nama seorang guru kesayangannya, seorang pemimpin muda Muhammadiyah, Abdul Kahar Muzakkir.” Muzakkir adalah salah satu wakil Islam dalam Panitia Sembilan yang merumuskan Pembukaan UUD 1945.

Seperti Panglima Besar Sudirman, Kahar menimba ilmu sejak muda di sekolah Muhammadiyah. Seperti Sudirman pula, Kahar sempat menjalani hidup sebagai guru.

Dari koleksi arsip Sekretaris Kabinet Perdana Menteri 1950-1959 nomor 939 di Arsip Nasional Republik Indonesia, setelah melalui Sekolah Rakyat selama tiga tahun, Kahar lanjut belajar selama empat tahun di Standarschool milik Muhammadiyah dan lulus pada 1935. Setelahnya ia lanjut ke Muallimin Solo, sekolah guru milik Muhammadiyah.

Menurut Mattulada dalam Kahar Muzakkar: Profil Patriot Pemberontak di jurnal Prisma dan buku Manusia dalam Kemelut Sejarah (1977), Kahar tidak tamat dari sekolah itu. Di Muhammadiyah, ia aktif di Hizbul Wathan (HW). Ketika sudah mengajar di Palopo, Sulawesi Selatan, ia memimpin Pasukan HW di sana.

Pedagang yang Membangkang

Sekembali dari Jawa, selain pernah mengajar, Kahar Muzakkar “melanjutkan usaha dagang orangtuanya, mengekspor kulit kayu bakko ke negeri Jepang, yang mengakibatkan namanya masuk blacklist pemerintah Belanda.”

Ketika Jepang berkuasa, menurut Mattulada, “Kahar Muzakkar mendapat kepercayaan dari pemerintah Dai Nippon dan ditempatkan di afdeling Luwu (Palopo)." Karena caranya bekerja revolusioner, yakni mengubah pemerintahan adat feodal menjadi pemerintahan demokratis yang disukai oleh rakyat, "Kahar mendapat tentangan dari segolongan Hadat Luwu (Tomarilalang, Andi Baso Lanrang cs).”

Tentu saja apa yang dilakukan Kahar itu gila. Di mata kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, Kedatuan Luwu—yang berpusat di Palopo—adalah muasal mereka. Karena itulah Luwu dihormati secara kultural. Raja-raja terkuat di Sulawesi Selatan macam Arung Palaka dari Bone pun tak segila Kahar.

Kahar dijatuhkan, dan pemerintah Jepang memenjarakannya selama 1 bulan 11 hari di Palopo. Di dalam penjara, ia dihadiahi “pukulan tiga kali sehari, yaitu pagi, tengah hari, dan sore. Setelah dibebaskan, ia masih dihukum lagi oleh Hadat: harus meninggalkan Tanah Luwu paling lambat 24 jam setelah hukuman dikeluarkan."

Akhirnya Kahar Muzakkar meninggalkan Palopo dan menuju Makassar pada akhir tahun 1942.

“Selama berada di Makassar, Kahar Muzakkar bekerja di Kantor Perdagangan Jepang Ogata Shoten kurang lebih 6 bulan lamanya.”

Pertengahan tahun 1943, ia berangkat ke Jawa (Solo) bersama keluarganya. Selama di Jawa, pekerjaannya berdagang dan mendirikan perusahaan Usaha Muda di Solo, sampai Jepang menyerah.

Sekitar Proklamasi Kemerdekaan, Kahar berada di Jakarta. Sore hari 19 September 1945 di Lapangan Ikada, ribuan massa menanti Sukarno berpidato. Rapat raksasa di areal yang kini disebut Lapangan Monas itu semula hendak dibatalkan, tetapi sejarah mencatat aksi pengerahan itu merupakan gerakan politik penting pemuda pasca-proklamasi.

Di antara gagap gempita massa rakyat itu, muncul seorang pemuda. Ia membawa sebilah golok dan berada di sebelah Sukarno saat Bung Besar berjalan ke podium.

Menurut Bernard Wilhelm Lapian, nasionalis dari Minahasa dan ayah dari sejarawan Adrian B. Lapian, “Kahar Muzakkar turun aktif untuk menyusun kekuatan pemuda Sulawesi Utara dan mendirikan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS).”

Kahar terjun ke front Surabaya. Di Yogyakarta, ia bekerja sama dengan Kolonel Zulkifli Lubis. Ia juga mengumpulkan para pemuda dari Sulawesi Selatan, terutama di Nusakambangan, dan membentuk Batalyon Kemajuan Indonesia, di bawah komando Tentara Keamanan Rakyat yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman.

Menurut Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (1995), ide pembentukan Batalyon Kemajuan Indonesia (BKI) berasal dari kontak Sukarno dengan Andi Mattalata—anak bangsawan Barru, Sulawesi Selatan—yang ikut berjuang di Jawa. Kahar menjadi komandan di BKI, sementara Mattalata menjadi wakil komandan. Adapun Salah Lahade—juga dari Barru—menjadi kepala staf.

Selain itu Kahar dikenal membentuk Barisan Berani Mati.

Infografik HL Kahar Muzakkar

Karier Perwira Kepala Batu

Di Sulawesi Selatan, apa yang disebut kampanye Pasifikasi—alias mengembalikan keadaan seperti saat sebelum perang—justru menjadi aksi banjir darah.

Di bawah komando Kapten Raymond Paul Pierre Westerling, yang membawa sekompi pasukan khusus Belanda Depot Speciale Troepen (DST), kampanye itu mengakibatkan ribuan orang sipil terbunuh.

Versi Kahar Muzakkar, yang diperolehnya dari pejuang-pejuang Sulawesi Selatan, jumlah korban Westerling sekitar 40.000 orang. Kebanyakan orang-orang kampung yang dituduh tentara Belanda sebagai gerilyawan atau yang melindungi gerilyawan. Aksi Westerling itu bikin para gerilyawan pro-Republik di sana menyeberang ke Jawa untuk sementara waktu.

Di mata Herman Nicolas "Ventje" Sumual, salah seorang pencetus Permesta pada 1957, Kahar di masa revolusi adalah “kawan seperjuangan yang baik, cerdas, dan luar biasa berani”. Di sisi lain, Kahar adalah sosok yang keras kepala dan berdarah panas.

“Saya teman lama dia, kenal sekali wataknya, keras seperti batu!” ujar Sumual dalam Memoar Ventje H.N. Sumual (2011).

Menurutnya, ketika satuan bernama Resimen Hasanuddin diubah menjadi batalion, Kahar marah dan bikin darah panasnya naik. Ia bahkan menyerang markas Brigade XVI dan memerintahkan orang-orangnya merampas senjata.

Menurut Barbara Harvey, sekitar September 1948, Kahar Muzakkar memerintahkan sekompi pimpinan Masud untuk menangkap Komandan Brigade XVI, Letnan Kolonel Adolf Gustav Lembong di Markas Brigade di sekitar Sayidan, Yogyakarta.

Lembong dan stafnya dibawa penculik ke Klaten, daerah perbatasan Yogya-Solo. Lembong adalah bekas KNIL yang tak disukai Kahar. Kapten Sumual pun bergerak membebaskan komandannya. Berkat campur tangan Presiden Sukarno, ketegangan mereda. Lembong akhirnya bebas.

Lepas dari masalah-masalahnya di Jawa, setidaknya Kahar berjasa menggerakkan perlawanan di Sulawesi Selatan.

“Sejak Batalyon Kemajuan Indonesia berdiri (akhir 1945) sampai Komando Grup Seberang (awal 1950), Kahar aktif menyelenggarakan pengiriman rombongan-rombongan bersenjata ekspedisi ke Sulawesi dengan perahu-perahu liar,” terang BW Lapian.

Sejak penyerahan kedaulatan Republik Indonesia dari Belanda pada 27 Desember 1949, Kahar ditempatkan di Jakarta. Di sana ia membantu Wakil Kepala Staf Umum Angkatan Darat Jakarta. Kehidupan militernya di Jakarta tampaknya tidak menarik. Pada Mei tahun berikutnya ia hendak mengundurkan diri. Pangkatnya kala sudah itu letnan kolonel.

“Mengingat perjuangan kita dewasa ini telah berubah sifatnya (perjuangan dengan senjata menjelma menjadi perjuangan membangun dan menyusun), dan mengingat pula kesehatan kami yang [...] akhir-akhir ini tidak mengizinkan untuk meneruskan perjuangan di lapangan ketentaraan [...] kami mohon kepada Paduka Tuan supaya kami diperkenankan meletakan jabatan sebagai Pa DPB Wakil Kepala Staf Umum Angkatan Darat dan keluar dari ketentaraan,” mohon Kahar Muzakkar dalam surat pengunduran dirinya (Koleksi ANRI: Letnan Kolonel Kahar Muzakkar kepada Kepala Staf Angkatan Darat: Surat tanggal 20 Mei tentang Permohonan Mengundurkan Diri di Dinas Ketentaraan).

Jika mundur dari tentara, hal paling mungkin bagi Kahar adalah berdagang. Namun, pengunduran diri itu tak terjadi.

Setelah masalah bekas gerilyawan di Sulawesi Selatan tidak jua rampung, Kahar pun dikirim ke Makassar. Bersama Letnan Kolonel Mursito, ia tiba di ibu kota Provinsi Sulawesi itu pada 22 Juni 1950. Ia menemui gerilyawan yang kebanyakan ingin bergabung sebagai Tentara Nasional Indonesia. Kahar berusaha mengakomodir para gerilyawan yang dikenal sebagai Komando Gerilya Sulawesi Selatan tersebut.

“Pada 1 Juli 1950, Kahar bertemu Kolonel Alex Kawilarang (Panglima tentara Indonesia Timur). Atas nama kaum gerilyawan, Kahar mengajukan permohonan agar mereka dijadikan Brigade atau Resimen dari TNI, dengan ia sendiri menjadi komandan. Permohonan itu ditolak,” tulis Barbara Harvey.

Apa yang terjadi kemudian adalah sejarah: Kahar diculik oleh Andi Sose, salah satu komandan gerilyawan, dan masuk hutan. Kahar malah ikut bergerilya selama belasan tahun.

“Keputusan yang diambil oleh Kahar Muzakkar dengan memasuki hutan merupakan konsekuensi logis atas kegagalannya mengantarkan para gerilyawan Sulawesi Selatan menjadi tentara resmi," tulis Diks Pasande dalam 'Politik Nasional dan Penguasa Lokal di Tana Toraja,' dalam Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950an (2011).

Penolakan dari Alex Kawilarang itu menjadi semacam penghinaan yang membuat Abdul Kahar Muzakkar membangkang terhadap pemerintah Republik.

Baca juga artikel terkait KAHAR MUZAKKAR atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam