Menuju konten utama

Zaman Susah 'Negara Islam' di Sulawesi Selatan

Pemberontakan Darul Islam, termasuk di Sulawesi Selatan, menyebabkan urbanisasi dan Islamisasi. Kehidupan sipil terganggu.

Zaman Susah 'Negara Islam' di Sulawesi Selatan
Abdul Kahar Muzakkar (kiri, sedang bersalaman). FOTO/Istimewa

tirto.id - Pada masa awal pemberontakan pasukan Abdul Kahar Muzakkar, Baraka—kini sebuah kecamatan di Enrekang—telah menjadi markas bagi calon Brigade Hasanuddin. Setelah pemberontakan, Kahar Muzakkar bergerak berpindah-pindah.

Bagi masyarakat Barakka di masa sekarang, Kahar Muzakkar dan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpinnya "sangat berbekas dalam ingatan orang di sini,” ujar Haerul, warga di sekitar Baraka yang mendalami sejarah di Universitas Hasanuddin, Makassar.

“Kalau di sini gerakan DI/TII disebutnya gerombolan,” ujar Haerul.

Istilah gerombolan berlaku untuk menyebut Pemberontak DI/TII di Kalimantan Selatan pimpinan Ibnu Hadjar—seperti disinggung Anna Lowenhaupt Tsing dalam Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing (1998) dan ditulis Muhammad Iqbal dalam Kesatuan Rakjat jang Tertindas (KRjT): Pemberontakan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, 1950-1963 (2014).

Istilah gerombolan datang dari pemerintah pusat. Muhammad Iqbal mencatat, “Pada 1950-1951, hasil padi sangat merosot sekali, sehingga Kalimantan Selatan mengalami kekurangan beras sebesar 89.000 ton. [...] akibat gangguan keamanan," baik oleh gerombolan Ibnu Hadjar maupun lainnya. Tiap tahun, produksi pangan turun 10 persen.

Di Sulawesi Selatan pun tak jauh beda.

Jangankan Makan, Menjaga Nyawa pun Sulit

Warga sekitar Baraka mengingat “semua serba susah di masa gerombolan,” kata Haerul.

Masa itu beras sulit didapat. “Yang ada cuma nasi ubi, itu pun kalau (masih) ada yang tersisa di ladang,” tambah Haerul.

Jangankan mengisi perut, menjaga nyawa saja di masa itu juga sulit. Pada 1950-an, pemerintah Republik kerepotan menjaga kehidupan sipil karena gangguan keamanan.

“Pemerintah tidak sanggup mengerahkan usaha untuk membangun negara, melainkan harus menghadapi pemberontakan Darul Islam, yang memerlukan kampanye militer yang tinggi biayanya, sekaligus mengacaukan ekonomi serta mengakibatkan banjir pengungsi,” tulis Esther Velthoen dalam "Memetakan Sulawesi 1950-an"dalam Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an (2011).

“Geografi politik waktu itu sangat rumit dan tidak menentu,” tulis Velthoen.

Ada wilayah yang dikuasai DI/TII, ada wilayah yang dikuasai TNI. Di wilayah yang dikuasai TNI, di luar Makassar, tidaklah senyaman dengan wilayah yang dikuasai DI/TII. Ada satuan-satuan tentara pemerintah “yang dipimpin oleh ’kepala-kepala perang’ (warlords) yang secara resmi diterima TNI […] tetapi masih mengikuti agenda sendiri, seperti unit-unit Andi Selle,” tulis Velthoen.

Disiplin prajurit dalam unit-unit pimpinan Selle itu tak sepenuhnya bikin tenteram rakyat sipil. Pernah ada kejadian, “Dua anak buah Selle yang sedang mabuk pernah buat onar di sebuah pesta perkawinan […] Kekacauan itu membuat salah seorang prajurit itu terbunuh, yang satunya terluka tapi bisa kembali ke barak. Solidaritas buta kawan-kawan dua serdadu mabuk yang nahas itu pun bergerak. Mereka datangi lokasi pesta. Pembantaian pun terjadi di mana orang-orang yang ada di sana terbunuh,” catat Barbara Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: dari Tradisi ke DI/ TII (1989)

Rakyat di daerah perang antara gerombolan dan TNI ibarat pelanduk di antara dua gajah. Mereka jadi bulan-bulanan kedua kubu: dipaksa memberi bahan makanan atau perhiasan kepada gerombolan; tetapi tak jarang dicurigai oleh kubu gerilyawan sebagai mata-mata tentara pemerintah. Sebaliknya, pemerintah menaruh curiga kepada warga sipil sebagai mata-mata atau membantu gerombolan.

Lantara daerah-daerah di sekitar Sulawesi Selatan itu tidak terjamin keamanannya, banyak orang melakukan urbanisasi terutama ke Makassar, kota teraman pada masa itu. Dua dari pelaku urbanisasi itu adalah orangtua dari Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang mengungsi dari Bone. Ada juga orangtua dari Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib, yang juga dari Bone.

“Beberapa desa di Kabupaten Bone menjadi sasaran amuk dan pembumihangusan gerombolan Kahar Muazakkar. Rumah keluarga Andi Hadjar Petta Nudji di Desa Kaju termasuk yang menjadi sasaran pembakaran,” tulis Harsubeno dkk dalam H.A Muhammad Ghalib: Menepis Badai Menegakkan Supremasi Hukum (2000).

“Gerombolan ini mengincar orang dewasa. Mereka memaksa para lelaki dewasa untuk bergabung dengan kelompok Kahar. Yang tidak mau akan dibunuh. Karena itu banyak yang terpaksa mengikuti kemauan Kahar,” tulis Harsubeno.

Jika seseorang sudah direkrut pasukan Kahar, tipis peluang orang itu akan pulang. Seseorang yang direkrut biasanya tak akan bergerilya di sekitar kampung asal. Menurut pengakuan Haerul, mereka tak pernah mengunjungi kampungnya lagi.

Infografik HL Kahar Muzakkar

Memaksakan Urusan Keyakinan

Tak hanya urusan perut dan nyawa yang jadi ancaman di masa gerombolan. Urusan menyembah Tuhan pun terbawa-bawa. Sebelum Islam dan agama lain datang ke Sulawesi Selatan, orang-orang di Sulawesi Selatan sudah punya agama lokal—yang kini perlahan punah.

“Laporan tentang serangan-serangan gerakan Darul Islam Kahar Muzakkar terhadap orang Kristen Toraja di Sulawesi Selatan menyebarkan ketakutan ke gereja-gereja di seluruh Indonesia,” singgung Gerry van Klinken dalam artikelnya "Mengkolonisasi Borneo: Pembentukan Provinsi Dayak di Kalimantan" dalam Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 195-0an (2011).

Dalam buku itu ada artikel Diks Pasande mengenai isu-isu Islamisasi yang membahas soal Andi Sose diusir dua kali dari Tana Toraja, pada 1953 dan 1958, terkait isu pemaksaan agama.

Eko Rusdianto, pemuda Luwu asal Sulli, dekat Palopo, yang pernah kuliah arkeologi di Universitas Hasanuddin, menemukan beberapa cerita soal pemaksaan agama di Luwu oleh jaringan gerombolan Kahar Muzakkar. Luwu sendiri tak jauh dari Tana Toraja dan Enrekang. Ekspansi pengikut Kahar bahkan sampai ke Luwu Timur.

“Saya dapat banyak cerita pemaksaan agama Islam di Luwu Timur,” ujar Rusdianto.

Salah satu cerita itu dari Thomas Lasampa—yang ayahnya, tokoh adat Padoe, terbunuh di sekitar Danau Matano pada 1950. Dari Lasampa, Rusdianto mendapat cerita tentang kejadian tahun 1952. Waktu itu ada upacara hari kemerdekaan Indonesia di lapangan desa Timampu. Seorang anggota dari pasukan gerombolan berpidato berapi-api. Isinya: mengharuskan semua orang menganut agama Islam.

“Kalau ada yang memelihara babi, diberi kesempatan seminggu untuk pulang dan membantai babinya,” ujar Lasampa kepada Rusdianto pada 13 Oktober 2011.

Lasampa yang Kristen pun ikut wajib belajar mengaji Alquran. Gerombolan sangat ditakuti kala itu. Seingat Lasampa, anggota gerombolan itu disapa "Bung" layaknya pejuang 1945, termasuk Kahar yang memang bekas pejuang kemerdekaan. Lasampa ikut mengaji selama dua tahun. Tiga kali ia khatam Alquran. Ia hafal dua kalimat syahadat dan surat Al-Kautsar.

Tak tahan hidup di bawah gerombolan, pada 1954, Lasampa dan keluarganya menuju Malili, juga banyak orang lain. Mereka kembali ke kampung pada 1968 ketika perusahan tambang nikel PT Inco membuka eksplorasi.

Selain Thomas Lasampa, Bissu tersohor bernama Saidi juga jadi incaran gerombolan. Ia harus lari dari Pangkep ke Bone, melintasi gunung dan hutan.

Christian Pelras dalam Manusia Bugis (2006) juga menyinggung bahwa Bissu—yang dulu penasihat spiritual raja Bugis di Sulawesi Selatan—jadi korban gerombolan. Mereka dipaksakan seperti laki-laki umumnya. Bissu dianggap tidak mencerminkan kehidupan Islami.

Cerita Islamisasi Kahar terjadi pula pada Jan Willem Gerungan—pemimpin kelompok pelarian Permesta yang bergabung dengan Kahar pada 1959.

Gerungan dan pasukannya pernah membangkang kepada Kahar; ia nyaris dihabisi tetapi diampuni. Setelahnya, Gerungan dan pasukannya masuk Islam. Gerungan bahkan diberi posisi penting sebagai menteri pertahanan di bawah kuasa Negara Islam Sulawesi Selatan-nya Kahar Muzakkar.

Baca juga artikel terkait KAHAR MUZAKKAR atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam