tirto.id - Mantan jenderal yang menjadi komisaris atau pimpinan tinggi sebuah perusahaan bukan hal yang baru di Indonesia. Mereka bisa bertugas di perusahaan pelat merah atau perusahaan swasta.
Salah satu contoh adalah Prabowo Subianto yang pernah menjadi Direktur PT Kiani Kertas di Berau, Kaltim. Tentu saja, jabatan itu diemban setelah dirinya tidak aktif di militer. Jauh sebelum Prabowo, terutama di masa Orde Baru, fenomena perwira menengah atau perwira tinggi masuk jajaran pimpinan atau pemilik perusahaan adalah hal biasa.
Prabowo barangkali lebih beruntung dari mantan mertuanya, mantan Presiden Soeharto, saat menjadi Panglima Divisi Diponegoro, di Semarang, Jawa Tengah. Di akhir dekade 1950-an itu, Soeharto pernah terlibat bisnis dengan Liem Sioe Liong. Bisnisnya boleh dibilang ilegal, yakni penyelundupan barang. Sialnya, bisnis mereka terbongkar di akhir tahun 1959.
Hal itu diungkapkan, Subandrio, salah seorang korban politik Soeharto, dalam bukunya yang berjudul "Kesaksianku Tentang G 30 S" (2000). Dalam buku tersebut, Subandrio mengungkapkan, uang bisnis haram tadi masuk ke kantong Soeharto dan Liem. Konon, akibatnya, Kolonel Ahmad Yani menempeleng Soeharto. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) kala itu, Jenderal Abdul Haris Nasution, mengusulkan agar Soeharto diadili lalu dipecat.
Karier militer Soeharto nyaris tamat. Untunglah, Tien Soeharto, sang istri, konon melobi istri Letnan Jenderal Gatot Subroto. Atas "lindungan" Gatot, karier Soeharto selamat. Hukumannya hanya masuk Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung. Sekolah yang harus ditempuh seorang perwira untuk naik menjadi perwira tinggi.
Namun setelah itu, bintang keberuntungan terus memayungi Soeharto. Belakangan, Soeharto justru menjadi jenderal. Catatan bisnis kelamnya tak lagi dibicarakan orang selama dia memimpin rezim Orde Baru. Dalam autobiografi Soeharto yang ditulis Ramadhan KH, "Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya" (1989), bisnis itu dilakukan untuk kesejahteraan prajurit TNI di Jawa Tengah, yang kala itu merupakan daerah miskin.
Bisnis di Masa Pergolakan
Jadi tentara tak akan bikin kaya. Banyak bekas pejuang kemerdekaan yang berkeyakinan seperti itu. Bekas pejuang yang tak bernaluri bisnis, kebanyakan memilih masuk tentara setelah 1950. Mereka menjadikan tentara sebagai profesi, meski hidup pas-pasan. Sementara, orang macam Hasyim Ning, Tumpal Dorianus Pardede, atau Julius Tahiya pilih keluar dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Tiga bekas Letnan Kolonel, yang kebetulan lahir di tahun 1916 itu, memilih keluar ketika usia mereka sekitar 34 tahun. Mereka memilih masuk perusahaan atau berbisnis. Belakangan, Tahiya yang pernah menjadi pimpinan Caltex di Indonesia dikenal sebagai pemilik Bank Niaga, Hasyim Ning dikenal sebagai sebagai raja mobil Indonesia dan Pardede pemilik dari Pardedetex yang kaya raya di Sumatra Utara. Mereka bertiga hanya contoh. Agaknya, masih ada pengusaha lain yang punya latar belakang bekas pejuang.
Susahnya hidup sebagai perwira, tentu menjadi alasan hingga sebagian perwira memilih berbisnis. Di zaman kolonial, seorang militer tak punya waktu berbisnis sebbab mereka harus fokus di barak.
Gaji seorang sersan tentara kolonial Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlandsh Indische Lager (KNIL) tergolong baik. Bahkan, seorang Sersan KNIL bermarga Muskita, bisa menyekolahkan anaknya di SMA elit Hogare Burger School Koning Willem (HBS-KW III) yang sekarang menjadi Perpustakaan Nasional.
Namun, begitu memasuki masa kemerdekaan, kondisi berubah. Seorang Kapten TNI di daerah bahkan hidupnya tergolong susah. Jika perwira saja tergolong susah, para prajurit bawahan mereka bisa jadi lebih malang lagi.
Merasa tidak cukup penghasilan sebagai perwira TNI dengan pangkat mayor, Andi Selle memilih melakukan bisnis sebagai sampingan. Andi Selle yang menjadi Komandan Batalyon 719, memang sangat menguasai daerah Polmas, Mamuju dan Majene. Beras dan kopra di sana, bisa dibilang dalam genggaman jaringan Andi Selle.
Andi Selle memang bekas pejuang. Ayahnya adalah korban pembantaian Westerling pada tahun 1947. Salah satu adiknya adalah sejarawan senior Anhar Gonggong. Karena sibuk bergerilya melawan Belanda dari 1945 hingga 1950, keluarga besarnya tak terurus. Selle berusaha menebus rasa bersalah dengan berusaha mensejahterakan keluarga besarnya. Itulah mengapa Selle, yang pernah ikut gerilya dengan Kahar Muzakkar, memilih bergabung kembali dengan TNI lalu berbisnis.
Karena hidup di tengah pergolakan daerah di konflik, mau tidak mau Selle juga berbisnis dengan kelompok pemberontak Darul Islam Kahar Muzakkar. Bisnis memang membuat Selle kaya raya. Mungkin lebih kaya daripada perwira yang pangkatnya kolonel, bahkan para petinggi tentara di Jakarta.
“Selle dianggap sumber utama suplai barang bagi DI. Selle terkenal sebagai komandan yang kaya. Kancing baju dan lencananya terbuat dari emas. Dia bisa seenaknya memberikan jam tangan begitu saja kepada gadis-gadis cantik yang dia lihatnya di kota Makassar. Selle pernah memberikan hadiah Marcedes Benz kepada dokter yang merawatnya ketika sakit ringan di Rumah Sakit Pelamonia,” ungkap Barbara Sillars Harvey dalam buku terkenalnya dengan DI/TII Sulawesi Selatan, 'Pemberontakan Kahar Muzakkar: dari Tradisi ke DI/TII' (1989).
Tak hanya kaya, tapi makin berkuasa. Idealnya, Komandan Batalyon hanya memiliki anggota ratusan orang saja. Tapi Selle, punya pasukan ribuan orang. Konon hingga 3 ribu orang. Uang berlimpah hasil perdagangan membuat Selle bisa membiayai sendiri pasukannya. Pasukan Selle tergolong ditakuti rakyat sipil. Pasukan Selle juga punya jiwa korsa yang penuh amarah. Dua orang anggota pasukan Selle yang sedang mabuk pernah buat onar di sebuah pesta perkawinan.
“Kekacauan itu membuat salah seorang prajurit itu terbunuh, yang satunya terluka namun bisa kembali ke barak. Solidaritas buta kawan-kawan dua serdadu mabuk yang naas itu pun bergerak. Mereka datangi lokasi pesta. Pembantaian pun terjadi di mana orang-orang yang ada di sana terbunuh,” tulis Harvey.
Kolega Andi Selle yang punya jejak sebagai perwira pebisnis adalah Kapten Andi Sose. Seperei Selle, Sose juga pernah ikut Kahar Muzakkar. Dia dan pasukannya turun gunung ketika ada tawaran masuk TNI. Sose adalah Komandan Batalyon 720. Wewenang teritorial militernya adalah daerah Pare-pare, Sidrap, Wajo, Pinrang dan Enrekang.
Bisnis Sose pada umumnya adalah pedagangan hasil bumi seperti beras, kopra dan lainnya. Pengaruh Sose bahkan sampai Tana Toraja yang kaya hasil bumi seperti kopi. Sose dan pasukannya pernah dua kali diusir melalui baku tembak dengan TNI asal Tana Toraja yang dikomandani Kapten Frans Karangan dan Letnan Pappang, di tahun 1953 dan 1958.
Di antara Sose dan Selle tidak terjadi persaingan bisnis karena beda wilayah dan ada saling pengertian. Meski daerah-daerah di sekitar Pinrang, yang kaya beras dan ikan tambak, secara territorial berada di bawah Sose, namun kenyataannya dikuasai Selle. Sebab secara historis, keluarga Andi Sele adalah keturunan penguasa Pinrang.
Bisnis Sose dan Selle barulah tamat ketika Kolonel Muhammad Yusuf, yang belakangan dikenal sebagai Panglima ABRI M Yusuf, menjadi Panglima Wirabuana yang membawahi seluruh Sulawesi, termasuk Sulawesi Selatan. Di mana bisnis Sose dan Selle berjaya, Yusuf curiga bahwa bisnis dua perwira itu ada hubungan dagang dengan Panglima DI/TII Sulawesi Selatan Kahar Muzakkar. Sehingga persenjataan dan logistik pemberontak tercukupi untuk melawan TNI.
Pada 5 April 1964, Yusuf mengunjungi Selle di Pinrang untuk membujuknya agar tidak membantu Kahar. Namun, sebuah insiden terjadi. Yusuf justru nyaris tewas. Setelah tembak menembak, Selle menghilang dan ditemukan meninggal karena serangan jantung ketika kabur. Harta kekayaan Andi Sele kemudian disita oleh negara pada 1964.
Di tahun yang sama, Sose pun kena sial. Hartanya juga disita dan harus ditahan dan baru dibebaskan awal tahun 1965. Sose kemudian keluar dari militer dan kembali berbisnis hingga lebih kaya-raya. Sose masih hidup dan menjadi tokoh masyarakat yang cukup dihormati di Makassar dan Enrekang. Hebatnya, Selle masih dihormati sebagai pejuang di Sulawesi Selatan.
Bisnis-bisnis Perwira Lainnya
Di zaman Orde Lama, ada beberapa indikasi keterlibatan perwira berpangkat di atas Letnan Kolonel dalam dunia bisnis. Dalam bukunya berjudul "Pemikiran Militer 2; Sepanjang Masa Bangsa Indonesia" (2009), Hario Kecik pernah menyinggung kedekatan Kolonel Taswin dengan perusahaan minyak Shell di Balikpapan. Konon, menurut Hario, Taswin pernah menyuruh adiknya yang pernah bekerja di Shell Balikpapan mengunjungi Hario Kecik ketika menjabat Panglima Mulawarman di Kalimantan Timur.
Hario Kecik juga pernah melaporkan kepada Soekarno sebuah kejanggalan menyangkut hubungan Shell dengan petinggi Angkatan Darat. Namun, Hario justru "diamankan" oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Letnan Jenderal Ahmad Yani dengan disekolahkan ke luar negeri.
Belakangan, Taswin yang bernama lengkap Taswin Almalik Natadiningrat berpangkat terakhir Letnan Jenderal TNI. Taswin pernah jadi kepala staf pribadi Presiden Republik Indonesia dari 1966 hingga 1967. Kemudian menjadi Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda dari 1967 hingga 1971. Sebelum masuk militer, seperti Hario, Taswin juga mahasiswa kedokteran yang tak pernah buka praktik.
Tentu masih banyak lagi perwira yang terlibat dalam bisnis. Biasanya mereka berbisnis setelah pensiun dari militer. Kebanyakan mereka berhati-hati, tak bisa lagi seperti di zaman Andi Selle dan Andi Sose. Contohnya Josef Muskita, yang karirnya mentok, meski sebenarnya brilian sebagai militer. Dia pernah menjadi caretaker di Departement Store Indonesia Sarinah dari 1971 hingga 1978. Setelah dirinya tidak lagi menjadi militer
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho