tirto.id - “Hey, lo sudah kenal sama Pak Slamet Singgih (Brigjen TNI Purn) ya, lo kenal di mana? Nah ini ada dua kemungkinan lo bisa kenal Pak Slamet. Kalau lo dulu engga ditangkep atau diperiksa ama dia, lo pernah nganterin duit ke Pak Slamet.”
Kalimat canda itu dilontarkan oleh Tomy Winata (TW), konglomerat pemilik Grup Artha Graha yang dikenal dekat dengan kalangan elite TNI, saat bersama Brigjen TNI (Purn) Slamet Singgih bertemu dengan dua tamu yang datang ke ruangan khusus TW, di lantai dua, di atas Musro Club & Lounge, yang terletak di Hotel Borobudur, Jakarta.
Slamet rupanya tak tersinggung dengan kalimat soal "duit" dari TW yang memang dikenal suka bercanda oleh para koleganya itu. Maklum, saat itu, Slamet juga sedang diberi "pekerjaan" oleh Tomy untuk ikut "mengelola" dan meramaikan Musro Club & Lounge milik sang taipan.
Kedua tamu Tomy itu pun menjawab,”Enggak Pak, waktu itu kami kenal, dikenalin temen.” Sementara tamu satunya,”Saya kenal Pak Slamet di Lapangan Tembak Senayan.”
Perbincangan akrab antara Tomy Winata, Slamet Singgih dan dua tamu Tomy itu, tertuang dalam buku memoar Slamet Singgih yang ditulisnya sendiri dan diberi judul: "INTELIJEN, Catatan Harian Seorang Serdadu", yang diterbitkan Kata Hasta Pustaka, tahun 2014.
Brigjen TNI (Purn) Slamet Singgih yang merupakan lulusan Akmil 1965, mengakhiri karier militer sebagai Wakil Inspekur Jenderal TNI AD (Wairjenad), pada tahun 1998. Slamet memang piawai di dunia intelijen setelah memulai karier sebagai staf intelijen di Kodam X/Lambung Mangkurat dan Satgas Intel Laksus Kalsel. Ilmu intelijennya makin terasah saat bertugas di Satgas Intel Laksusda Jaya dan Detasemen Intel Kodam V/Jayakarta (kini Kodam Jaya) Jakarta, pada tahun 1974.
Selanjutnya pada tahun 1981, setamat Seskoad, Slamet bertugas di Kodam II/Sriwijaya mulai dari komandan batalyon, Dandim, Wakil Asisten Intelijen dan bahkan Asisten Intelijen Pangdam IV/Sriwijaya (kini Kodam II), Palembang. Berbekal ilmu intelijen yang tarasah, Slamet pun balik ke Jakarta dan bertugas di Badan Intelijen Strategis (Bais) ABRI pada tahun 1990.
Selanjutnya pada awal 1995, Slamet menjabat Direktur D Bais ABRI. Pascamengakhiri dinas kemiliteran pada tahun 1998, Slamet ditugaskan sebagai staf ahli Menteri ESDM di masa Menteri Kuntoro Mangkusubroto.
Pengalaman di dunia intelijen itulah yang agaknya membuat Slamet banyak "bersinggungan" dengan kalangan pengusaha. Beberapa bahkan meminta bantuan Slamet sebagai teman untuk kepentingan bisnisnya.
Awal Kenal Aguan dan TW
Slamet mengenal Tomy Winata setelah dikenalkan oleh Aguan alias Sugianto Kusuma, pemilik Agung Sedayu Group. Slamet mulai mengenal keduanya begitu kembali berdinas di Jakarta pada tahun 1990.
Soal perkenalan dengan Aguan, taipan yang baru diperiksa KPK terkait dugaan suap reklamasi Pantai Utara Jakarta pada Senin (27/6/2016), Slamet menulis sebagai berikut:
”Sebelum saya pindah ke Jakarta, saya diberi pesan oleh saudara Asun (Sugianto) agar sesampai di Jakarta menemui Aguan di Bank Artha Graha di Jalan Suryopranoto. Setahu saya, waktu itu Asung merupakan perwakilan kelompok TW di Palembang."
"Seperti pesan tersebut, setelah sampai di Jakarta, saya menemui Aguan yang sebelumnya tidak saya kenal, hanya mendengar nama saja. Aguan mengucapkan terima kasih atas bantuan Sinteldam II Sriwijaya sewaktu saya menjabat sebagai Waasintel/Asintel di Palembang."
"Sejak saya menjabat sebagai Waasintel di Palembang, Asintel Kodam dan Denintel Kodam, selalu diminta membantu kendaraan-kendaraan truk serta toko radio/TV merk Sony, yang katanya kepunyaan kelompok Aguan dan TW, setiap kali diganggu oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Bea Cukai dalam perjalanan dari Jambi-Palembang-Bakauheni. Asun inilah yang ditugaskan menyelesaikan segalanya apabila harus berhubungan dengan aparat-aparat terkait.”
Perbincangan menarik Slamet dan Aguan terjadi di akhir pertemuan. Sebelum berpisah, Aguan bertanya,”Apakah tiap bulannya sudah cukup?” Slamet menjawab: ”Ya cukup sajalah.” Aguan pun berpesan: ”nanti kalau ada keperluan apa-apa, tolong saya diberi tahu, enggak usah segan-segan.”
Lalu bagaimana setelah itu? Slamet pun menulis: “Setelah pertemuan dengan Aguan, saya tidak menyia-nyiakan tawarannya. Setelah Bank Artha Graha pindah ke SCBD di Jalan Sudirman, saya datang untuk meminta bantuan apabila ada keperluan. Sebenarnya pada saat itu saya lebih akrab dengan Aguan daripada Tomy Winata. Tetapi, setiap saya datang menemui di kantor bank Artha Graha di Jalan Sudirman, kalau kebetulan ada Tomy Winata, saya juga mendapat tambahan dari Tomy Winata.”
Success Fee Rp 463 Juta
Terkait "membantu" kalangan pengusaha, menarik apa yang dipaparkan Slamet saat menjadi Staf Ahli Menteri ESDM dan Ketua Timdu BBM (Tim Terpadu Pemantauan, Pengawasan, dan Pengendalian Dampak Kenaikan Harga serta Penanggulangan Penyalahgunaan Penyediaan dan Pelayanan Bahan Bakar Minyak).
Pada tahun 2002, Slamet didatangi oleh Ir Herry Purwanto yang disebutnya sebagai "rekan saya dari Palembang". Herry datang ke kantor Timdu di Jalan Tanah Abang, Jakarta. Herry kepada Slamet mengungkapkan soal PT Rekayasa Industri yang memenangkan tender CO2 Removal dari Pertamina, namun dikalahkan oleh perusahaan lain yang ternyata 'bermain' dengan oknum pimpinan proyek.
Herry pun meminta bantuan Slamet untuk bisa mempertemukannya dengan Ir Iin Arifin Tachyan (Direktur Pengolahan PT Pertamina). “Mas Herry menceritakan bahwa dia sudah mengeluarkan biaya yang jumlahnya tidak sedikit kepada anggota DPR yang menjanjikan dapat mempertemukannya dengan Ir iin Arifin Tachyan,” papar Slamet.
Singkat kata, Herry pun meminta bantuan Slamet. “Mas Herry mengatakan apabila dapat mempertemukannya dengan Pak Iin, saya akan diberi uang $25.000 (Rp231,5 juta karena kurs dolar tahun 2002 sebesar Rp 9.260). Apabila sudah ditandatangani akan diberi tambahan $25.000 lagi.
Saya katakan kepada Mas Herry: ”Loh Mas, engga usah kasih uang. Saya kan cuma angkat telepon aja. Apalagi Ir Hengky itu anaknya Pak Susilo Sudarman, Komandan Resimen saya sewaktu saya masih mengikuti pendidika di Akmil.” Mas Herry menjawab: "Itu uang bukan dari saya, dari perusahaan memang sudah menyediakan success Fee”.
Setelah itu, saya langsung menelepon Pak Iin dan berbicara singkat. “Pak Iin, ini ada temen saya mau ketemu Pak Iin.” Pak Iin langsung menjawab,”Oke, kalau untuk Pak Jenderal beres, besok pagi saya tunggu di kantor”. Keesokan harinya, Mas Herry bersama Ir Hengky Susilo Sudarman berangkat menemui Pak Iin.”
Akhir kata, Slamet pun menerima duit yang dijanjikan, termasuk tambahan karena proyek berhasil dimenangkan. Total jenderal, Pak Jenderal Slamet menerima 50 ribu dolar Amerika atau sekitar Rp 463 juta.
Slamet memang beruntung. Setahun kemudian, Ir Hengky kembali mengeluhkan soal PT Rekayasa Industri yang seharusnya menang tapi dikalahkan dalam proyek "Blue Sky" di Balongan.
Berikut pemaparan Slamet di halaman 390: ”Beberapa hari kemudian saya menemui Dirut Pertamina Pak Baihaki Haim dan menceritakan persoalannya. Setelah dipelajari kembali oleh tim Pertamina yang dibentuk Pak Baihaki Hakim, akhirnya PT Rekayasa Industri tetap ditetapkan sebagai pemenang tender tersebut. Setelah itu, Pak Hengky Susilo datang ke rumah saya dan memberi saya uang sebesar $50.000.”
Begitulah, Brigjen (Purn) Slamet Singgih buka-bukaan dalam buku memoarnya. Dia tak segan menceritakan berbagai hal yang terjadi di dalam kehidupannya. Menarik menyimak apa yang ditulis Slamet dalam prakata buku tersebut.
“Sebenarnya hal-hal yang saya ceritakan dalam tulisan ini bukanlah sesuatu yang bersifat rahasia karena sudah sering dibicarakan masyarakat pada umumnya dan khususnya di kalangan ABRI. Bahkan, tidak jarang cerita-cerita ini menjadi gosip sehingga perlu diluruskan. Sedangkan mengenai pengalaman pribadi saya, memang mungkin ada hal-hal yang kurang baik, kurang tepat untuk diceritakan, namun yang namanya suatu pengalaman, menurut saya, perlu juga disampaikan sebagai bahan instrospeksi yang mungkin bisa bermanfaat untuk orang lain.”
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti