Menuju konten utama

Ketika Para Jenderal (Terpaksa) Mencari "Sampingan"

Keberadaan para jenderal purnawirawan dalam posisi elite sebuah entitas bisnis sudah muncul sejak era 1960-an. Ada permintaan, ada penawaran. Entitas bisnis membutuhkan kehadiran pak jenderal. Sementara pak jenderal juga diuntungkan karena bayarannya yang cukup menggiurkan.

Ketika Para Jenderal (Terpaksa) Mencari
Kepala kepolisian Republik Rndonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Tito Karnavian (kiri) berjabat tangan dengan panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (kanan) seusai acara pelantikan yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu (13/7).[antara foto/yudhi mahatma/kye/16]

tirto.id - Kasus dugaan suap Rancangan Perda Reklamasi Teluk Jakarta menyeret nama pengusaha dan politisi, juga seorang jenderal purnawirawan. Munculnya nama Letjen TNI Mar (Purn) Nono Sampono tentu mengejutkan. Sebab, Pak Jenderal ternyata tercatat sebagai Presiden Direktur PT Kapuk Naga Indah, perusahaan pengembang yang mendapat hak reklamasi di pesisir pantai utara Jakarta.

Kasus dugaan suap Raperda Reklamasi semakin menarik karena menyeret nama para pebisnis dan taipan, seperti Ariesman Widjaja -- mantan Direktur Utama PT Agung Podomoro Land – yang jadi pesakitan, atau Aguan alias Sugianto Kusuma -- pendiri Agung Sedayu Group-- yang dicekal KPK sejak 1 April silam hingga enam bulan ke depan.

Belakangan diketahui, PT Kapuk Naga Indah merupakan anak perusahaan Agung Sedayu Group yang mendapat hak reklamasi dari Pemprov DKI untuk lima pulau. Berbagai pertanyaan pun bermunculan terkait posisi Nono Sampono (63) yang sangat strategis di PT Kapuk Naga Indah. Begitu piawaikah Nono untuk memimpin sebuah perusahaan yang bidang garapannya jauh dari dunia militer?

Wajar jika muncul pertanyaan semacam itu. Sebab, perjalanan karier Letjen TNI Mar (Pur) Nono Sampono memang dihabiskan di dunia militer. Sebagai prajurit TNI, Nono bukan sosok sembarangan. Dia pernah menjabat Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) di masa Presiden Gus Dur, Gubernur Akademi Angkatan Laut (AAL) dan Danjen Akademi TNI. Nono pensiun dengan pangkat bintang tiga dari kesatuan Korps Marinir Denjaka atau Detasemen Jala Mangkara.

Pasca berdinas, Nono memang sempat berkiprah di politik dengan mencalonkan diri sebagai calon wakil gubernur, berpasangan dengan Alex Noerdin pada Pilgub DKI Jakarta, tahun 2012. Kini, dia menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Mantan Panglima Jadi Komisaris

Sebenarnya, keterlibatan seorang pensiunan jenderal TNI di dalam dunia bisnis memang bukanlah barang baru. Termasuk keberadaan para jenderal di posisi-posisi strategis sebuah perusahaan.

Selain Nono Sampono yang masuk ke perusahaan milik Aguan, tercatat beberapa nama jenderal lain. Tiga mantan Panglima TNI bahkan juga tercatat ikut terjun dalam dunia bisnis.

Sebut saja Jenderal Endriantono Sutarto (69), Panglima TNI periode 2002-2006, yang saat ini menjabat sebagai Komisaris Utama Bank Pundi milik konglomerat Hary Tanoesoedibjo. Sebenarnya begitu pensiun di tahun 2006, Endriartono sempat menjadi Komisaris Utama PT Pertamina Tbk.

Mantan Panglima TNI lainnya, Marsekal TNI Djoko Suyanto (65) yang menjabat periode 2006-2007, pernah digaet taipan Edwin Soeryadjaya untuk menjadi komisaris independen di PT Adaro. Djoko memang sempat melepas jabatannya di Adaro begitu diangkat Presiden SBY menjadi Menko Polhukam di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.

Namun begitu SBY lengser, Djoko pada 17 Maret --seperti ditulis situs Bursa Efek Indonesia-- membuat pernyataan bersedia diangkat menjadi Presiden Komisaris dan Komisaris Independen PT Chandra Asri Petrochemical milik Prajogo Pangestu.

Salah satu Panglima TNI lainnya yang juga terjun ke dunia bisnis adalah Laksamana TNI Agus Suhartono (61) yang menjabat periode 2010-2013. Agus tercatat sebagai Presiden Komisaris di PT Tambang Batubara Bukit Asam, BUMN yang berada di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.

Beberapa senior ketiga jenderal di atas yang juga terjun ke bisnis, tak boleh dilupakan Jenderal AM Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) periode 2001-2004. Selain menjadi Komisaris di PT Carrefour Indonesia sejak 2010, Hendro juga menjabat sebagai CEO PT Adhiperkasa Citra Lesatari dan chairman di PT Andalusia Bumi Pertiwi. Jika Carrefour milik konglomerat Chairul Tanjung, dua perusahaan lainnya milik Hendro secara pribadi.

Tak hanya pensiunan jenderal TNI yang menerima posisi sebagai komisaris di sebuah perusahaan, tapi juga pensiunan jenderal polisi. Jenderal Polisi Suroyo Bimantoro (69), mantan Kapolri periode 2000-2001, juga didaulat menjadi komisaris di PT Carrefour Indonesia.

Gaji Purnawirawan Kecil

Pertanyaannya kemudian, mengapa para pensiunan jenderal ini memilih 'bertugas' kembali di sektor bisnis setelah menanggalkan baju seragam militernya?

Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, mantan Wakil Panglima TNI periode 1999-2000 yang kini menjadi Presiden Komisaris PT Central Proteina Prima (CPP) Tbk, secara blak-blakan mengatakan menerima tugas menjadi petinggi perusahaan untuk mencari aktivitas dan tambahan uang pensiun.

“Ya pertama memang cari aktivitas. Kalau kita tak ada aktivitas, pasti kesehatan turun. Cepat pikun. Di pihak lain, kan pensiun tentara itu kecil. Jadi harus cari tambahanlah,” kata Fachrul Razi (69) kepada tirto.id, pada Kamis (21/7/2016).

Fachrul bahkan memaparkan bahwa dirinya tak hanya menjadi Preskom di PT CPP, tapi juga Preskom di PT Antam Tbk sejak 2015. Juga menjadi komisaris di PT Toba Sejahtera Group milik Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan, Menko bidang Kemaritiman.

Menurut Muradi, pengamat militer, keberadaan pensiunan jenderal di posisi strategis perusahaan sudah mulai muncul sejak era 1960-an. Keberadaan para jenderal di sebuah entitas bisnis, memang tak bisa dilepaskan dari kepentingan para konglomerat pemilik perusahaan.

“Memang ini lebih banyak pada mekanisme perusahaan yang merasa secure jika ada mantan jenderal yang secara figur dihormati dan punya posisi penting dapat mengamankan akses dan jaringan mereka,” kata Muradi kepada tirto.id, pada Senin (18/7/2016).

Lalu apa sisi positif dan negatifnya jika seorang purnawirawan jenderal memegang elite perusahaan?

Menurut Muradi, sisi positifnya, pemilik perusahaan bakal merasa lebih aman. Kedua, keberadaan para jenderal yang memiliki relasi luas, bisa diharapkan membuka akses bagi perusahaan. “Negatifnya kalau mereka tak punya kinerja bagus, ya akan jadi beban perusahaan. Ini yang harus diantisipasi,” katanya.

Terkait tudingan bahwa keberadaan seorang purnawirawan jenderal berada di sebuah perusahaan hanya untuk mengamankan bisnis sang pemilik, Fachrul Razi menolaknya.

“Wah, sama sekali tidak seperti itu. Kita betul-betul bekerja dengan baik. Kita kan juga kaya dengan pengalaman. Ada masalah cepat ditangani. Malah terkadang, mereka kalau ada masalah, merasa belum afdol, belum pas kalau belum minta pendapat kita,” ujarnya.

Menarik menyimak harapan Fachrul Razi kepada pemerintah terkait uang pensiun bagi para purnawirawan.

“Kalau bisa sih saran juga, pensiunan dikasih uang yang agak besar supaya bisa menikmati masa tuanya. Kalau di negara maju, walaupun tidak bisa dibandingkan, tapi pensiunnya bisa dimanfaatkan untuk jalan-jalan. Kalau kita tidak bisa, malah harus kerja lagi,” kata jenderal yang mengaku uang pensiunannya hanya sekitar Rp 4,5 juta itu.

Baca juga artikel terkait JENDERAL atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Indepth
Reporter: Aditya Widya Putri & Reja Hidayat
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti