tirto.id - Pada 6 Juli 1950, kaum gerombolan dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan memutuskan angkat senjata setelah usulan mereka ditolak sebagai tentara resmi oleh Alex Kawilarang, panglima Indonesia Timur di Makassar. Lima hari sebelumnya usulan yang sama dari Kahar Muzakkar juga ditolak oleh Kawilarang.
Kahar yang didatangkan dari Jawa untuk meredam kaum gerombolan itu justru ikut bergerak bersama mereka.
Meski tentara bukan profesi yang menarik pada zaman Hindia Belanda, tapi situasinya sudah berbeda pascaproklamasi. Banyak tentara dari kalangan rakyat biasa—sebagaimana Kahar—yang sebelumnya berkarier sebagai gerilyawan.
Berbeda di masa sekarang, layak tidaknya seseorang jadi komandan pada masa revolusi bukan karena latar belakang pendidikan dan sekolah atau pengalaman tempur, melainkan seberapa banyak pengikutnya.
Zaman dulu orang bisa menjadi sersan bila punya pengikut belasan (setara regu), menjadi letnan bila punya pengikut puluhan (setara peleton), menjadi kapten jika punya pengikut seratusan (setingkat kompi), diangkat sebagai mayor bila punya pengikut ratusan orang (setingkat batalion), dan memanggul pangkat letnan kolonel kalau punya pengikut ribuan orang (setara resimen).
Di Sulawesi, jumlah gerilyawan yang ingin jadi tentara ada ribuan orang dan mereka terhubung dalam jaringan Kahar Muzakkar sedari zaman revolusi. Kahar Muzakkar sendiri sudah berpangkat Letkol ketika di Jawa.
Di mata mereka, Kahar layak jadi komandan resimen. Mantan gerilyawan itu punya pemimpinnya masing-masing.
Komandan bawahan gerilyawan itu antara lain Andi Selle, Andi Sose, Usman Balo, Hamid Ali, dan Azis Taba. Sebagaimana gejolak pasca-kemerdekaan pada tahun 1950-an, baik di Jawa maupun di sebagian daerah di luar Jawa, masa pembangkangan—ada yang menyebut pemberontakan—Kahar Muzakkar sebagai "Era Gerombolan."
Dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: dari Tradisi ke DI/ TII (1989), Barbara Harvey menulis bahwa gerombolan ini "berpegang teguh pada tuntutan […] agar diakui sebagai satu kesatuan: Brigade Hasanuddin.” Mereka sudah menyiapkan formula: Brigade akan berisi lima batalion, dan punya wewenang teritorial atas Sulawesi Selatan, termasuk wilayah Luwu—tempat Kahar dulu terusir.
Perlahan Meninggalkan Kahar
Setelah kaum gerilyawan berbulan-bulan di hutan, Alex Kawilarang sebagai panglima tentara Indonesia Timur ditarik dari Sulawesi Selatan. Apa yang dimaui oleh mantan gerilyawan itu mendapat isyarat bagus pada 13 November 1950 ketika Perdana Menteri Mohammad Natsir, pemimpin Masyumi, berkenan memenuhi tuntutan mereka.
Mereka diterima masuk TNI. Sebuah mekanisme diatur: akan ada peralihan dan pelatihan untuk dijadikan batalion-batalion infanteri, yang membentuk Brigade Hasanuddin dan para pemimpin gerilyawan itu diangkat sebagai komandan resmi. Kabar ini diterima oleh kaum gerilyawan.
Pelan-pelan mereka turun gunung. Kondisi mereka agak compang-camping. Rambut mereka gondrong. Mereka boleh turun sendiri-sendiri atau berombongan.
Menurut Arsip Sekretaris Negara Kabinet Perdana Menteri RI jilid II No. 716 (Surat-surat Mengenai Seleksi Tenaga Bekas Pejuang Yang Ingin Masuk Angkatan Perang, November 1951), prasyarat bagi mereka yang turun gunung itu adalah mereka harus memperlihatkan senjata dan harus memakai janur (daun kelapa) sebagai tanda damai. Mereka dimasukkan ke dalam Corps Tjadangan Nasional (CTN) sebagai persiapan Brigade Hasanuddin.
Pasukan Kahar yang turun gunung itu disambut ribuan orang di sekitar Maros. “Dia bersama prajurit-prajuritnya memasuki kota pukul tujuh malam hari,” tulis Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: sebuah pemberontakan (1995).
Pasukan-pasukan eks Komando Gerilya Sulawesi Selatan itu antara lain: Batalyon Batu Putih pimpinan Kaso Gani; Batalyon Wolter Monginsidi pimpinan Andi Sose; Batalyon 40.000 pimpinan Syamsul Bachri; Batalyon Arif Rate pimpinan Azis Taba, dan Batalyon Bau Massepe pimpinan Andi Selle.
Pada 24 Maret 1951, mereka dilantik di Makassar oleh pejabat Panglima Indonesia Timur, Letnan Kolonel Kosasih.
Selesai pelantikan, pasukan-pasukan itu kembali ke Baraka—wilayah Enrekang yang jadi markas mereka. Namun, menurut Harvey, “Kedua belah pihak tetap menaruh curiga satu sama lain.”
Staf-staf Kosasih di Makassar curiga bahwa Kahar berdamai untuk memperoleh lebih banyak senjata dan perlengkapan lain agar bertambah kuat. Sebelum pelantikannya, di depan khalayak, ia sempat bilang, “Saya dicurigai sangat mendambakan pangkat letnan kolonel, tetapi pangkat Letkol ini yang didesakkan kepada saya.”
Petinggi TNI berkeinginan melantik satuan-satuan dari calon Brigade Hasanuddin satu per satu, bukan sekaligus seperti kemauan Kahar.
Kahar agaknya merasa dikibuli. Pihak TNI, tanpa melalui Kahar, mendekati komandan-komandan batalion Corps Tjadangan Nasional.
Tujuannya, tulis Harvey, “Untuk mengetahui apa ada orang di antaranya yang bersedia dilantik tersendiri." Kubu Kosasih sukses membujuk Andi Selle, Komandan Batalyon Bau Massepe di Pinrang (kini sebuah kabupaten yang berbatasan dengan Polawali Mandar). Pasukan Selle berangsur masuk TNI pada Juli-Agustus 1950 dan menjadi Batalyon 719.
Berikutnya, pada 4 Maret 1952, Batalyon Wolter Monginsidi yang dipimpin Andi Sose ikut TNI dan menjadi Batalyon 720. sebulan berikutnya, Batalyon Arif Rate yang dipimpin Azis Taba menjadi Batalyon 722. Komandan-komandan batalion itu diberi pangkat kapten.
Namun, tiga kompi dari batalion lain, yang dipimpin Usman Balo, masih setia kepada Kahar dan kemudian bergabung dengan Hamid Ali.
Awal 1952, Kahar Muzakkar mulai dekat dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Mereka melakukan surat-menyurat lewat kurir.
“Usman Ballo dan Hamid Ali bersikap dingin terhadap gagasan satu negara Islam,” tulis Harvey.
Komandan lain, seperti Bahar Mattalioe, tampak tertarik dengan gagasan itu. Hubungan Kahar dengan komandan-komandan yang tersisa itu tak selamanya baik.
Di mata Kahar, anak buah Usman Ballo terlibat perampokan dan perkosaan. Selain itu, ia dikenal kejam. Ketidakakuran itu membuat Usman dan Hamid berusaha mengontak pemerintah dan ingin bergabung dengan TNI. Usman menyerah pada 1956. Sementara Mattalioe berseteru dengan Kahar pada 1959. Ia berharap sama seperti Usman dan Hamid—masuk TNI.
Gatot Subroto, yang jadi Panglima Tentara & Teritorium Indonesia Timur saat itu, memandang bekas komandan gerilyawan yang ikut Kahar tak akan berkembang bila masih berjuang di hutan. Menurut Anhar Gonggong dalam Abdul Qohar Muzakkar: dari Patriot hingga Pemberontak (2004), perwira macam Sose bisa hidup tenang bila jadi tentara resmi, bahkan bisa sekolah lagi dan berbisnis.
Gatot Subroto benar belaka. Azis Taba, misalnya, hanya sebentar menjadi komandan pasukan dan kariernya berlabuh sebagai staf Kodam di Sulawesi Selatan. Belakangan Taba menjadi staf di Departemen Perindustrian ketika M. Jusuf diangkat menjadi Menteri Perindustrian.
Andi Sose dan Andi Selle lebih betah jadi komandan di luar Makassar dan terlibat bisnis tentara. Selle berbisnis hasil bumi macam kopra dan beras, sementara Sose berbisnis hasil bumi di sekitar Tana Toraja dan Enrekang. Berbisnis sebagai perwira membuat mereka kaya.
Menurut Anhar Gonggong, Andi Selle masih menjalin kontak dengan Kahar Muzakkar. Mereka melakukan barter: Selle menerima hasil bumi dari daerah yang dikuasai Kahar; dan sebagai gantinya, Kahar mendapat pasokan senjata dan pakaian. Menurut Mattalioe, Selle memegang sumber senjata. Kehidupan Sose dan Selle pun suram ketika M. Jusuf menjadi panglima di Sulawesi Selatan.
Mualaf Karena Kahar
Kehilangan para pemimpin gerilyawan, yang punya kekuatan setara batalion, bikin Kahar cari orang baru untuk jadi komandan.
Pada 1959, saat Bahar Mattalioe turun gunung, Kahar punya sekutu dari utara. Ia adalah Jan Willem Gerungan alias Dee Gerungan, seorang pelarian Permesta. Gerungan pernah belajar di Sekolah Perang di Belanda. Setelah pasukan Permesta melemah karena digempur TNI pada 1958, ia bersama 200 pengikutnya melarikan diri ke Sulawesi Selatan.
Gerungan berasal dari keluarga Kristen. Begitu juga kebanyakan pasukan yang ikut dengannya. Lepas dari agamanya, Kahar seharusnya bisa memanfaatkan ilmu kemiliteran yang dimiliki Gerungan, yang lebih tinggi dari Kahar.
Di Permesta, Gerungan terbilang penting. Ia pernah jadi Komandan Resimen Anoa dalam pasukan Permesta. Di utara, Gerungan dekat dengan orang-orang terpandang. Ia adalah suami dari Hetty Warouw—putri dari Semuel Jusof Warouw, yang pernah jadi Perdana Menteri Negara Indonesia Timur.
"Ketika pasukan yang sebagian besarnya beragama Kristen ini hendak bermaksud membelot dan harus dengan paksa ditundukkan, terjadi pertempuran antara dua kekuatan yang bertentangan ini pada awal 1960, dengan kemenangan di pihak Kahar Muzakkar,” tulis van Dijk dalam Darul Islam.
Gerungan berhasil diringkus bersama 150 sisa pengikutnya sekitar April 1960. Orang-orang kalah itu diampuni Kahar, dan memeluk agama yang dianut Kahar sebagai salah satu perwujudan DI/TII Sulawesi Selatan.
Setelah menganut Islam, Gerungan jadi orang kepercayaan Kahar dan menjabat Menteri Pertahanan. Setelah Kahar terbunuh pada Februari 1965, Gerungan terus bergerilya. Tentara terus mengejarnya.
Menurut catatan Siliwangi dari Masa ke Masa (1979), Gerungan ditangkap pada 19 Juli 1965 setelah pengikutnya yang mencari rokok untuknya ditangkap aparat terlebih dulu. Setelah itu Gerungan dieksekusi.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam