tirto.id - Ketika pembantaian Westerling dan pasukan khusus pimpinannya, Depot Speciale Troepen membabi buta di sekitar Makassar, Negara Indonesia Timur (NIT) mulai berdiri. Setelah teror anti Republik dan penghangusan pejuang pro Republik yang dicap ekstremis dilancarkan dalam Kampanye Pasifikasi ala Westerling, maka kota Makassar pun jadi ibukota NIT.
NIT adalah negara federal terbesar di Indonesia. NIT dibentuk setelah Konferensi Malino 16 hingga 22 Juli 1946 dan Koferensi Denpasar dari 7 hingga 24 Desember 1946. Tujuan pertemuan tak lain adalah membahas pembangunan Negara tersendiri, seperti ditawarkan oleh Belanda. Semula negara ini akan dinamai negara Timur Besar, namun diganti menjadi Negara Indonesia Timur pada 27 Desember 1946.
NIT terdiri dari 13 daerah otonomi: Sulawesi Selatan, Minahasa, Kepulauan Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor dan Kepulauan, Maluku Selatan dan Maluku Utara. Berdasarkan Konferensi Denpasar, wilayah NIT meliputi keresidenan yang termaktub dalam Staatsblad 1938 nomor 68 jo Staatsblad nomor 264. Keresidenan Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali, Lombok dan Maluku. Papua tidak di masukkan dalam NIT. Mr Tadjudin Noor pernah wakil dari Sulawesi Selatan pernah bertanya, mengapa Papua tidak masuk dalam Timur Besar? Ini bertentangan dengan Konferensi Maliono.
Republiken Pun Bercokol
“Van Mook menandaskan lagi bahwa sistem pemerintahan yang paling cocok untuk Indonesia adalah suatu pemerintahan yang berdasarkan federasi,” tulis Ida Anak Agung Gde Agung dalam Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat (1985). Hubertus van Mook mengajukan ide negara federal itu sejak 10 Februari 1946. Bagi van Mook, sistem federal sangat cocok untuk wilayah Indonesia.
Tanpa dukungan keuangan dari Kerajaan Belanda mendukung negara tidak bisa ada. Pejabat pemerintah Belanda memiliki pengaruh pada kebijakan besar dalam NIT. Di mana ada orang Belanda, Mr Hamelink, yang menjadi Menteri Keuangan NIT.
Setelah NIT berdiri, 10 Januari 1947, kabinet pertama NIT berdiri. Tjokorda Gde Sukawati Raka adalah yang pertama dan satu-satunya presiden negara ini . Nadjamudin Daeng Malewa dari Makassar menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Perekonomian. Ketika Agresi Militer Belanda Pertama dilancarkan NIT termasuk pendukung. Padahal Agresi tersebut adalah pelanggaran pernjanjian Renville. Kabinet NIT berganti lagi pada 10 Oktober 1947. Kali ini dokter S.J. Warrouw menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Kesehatan. Dalam kabinet ini Christian Robert Soumokil menjadi Menteri Kehakiman. Elvianus Katoppo, ayah dari Aristides Katoppo, pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Agama NIT.
Meski NIT dianggap pro Belanda oleh banyak orang, rupanya orang-orang pro Republik bersarang juga di Parlemen NIT. Ada Nasionalis bernama Arnold Mononutu di dalamnya. Pada 30 Desember 1947, dia mendirikan Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (GAPKI) di Makasar.
Selain GAPKI, salah satu organisasi penting adalah Partai Kedaulatan Rakyat. Ada Henk Rondonuwu dan Salawati Daud di dalamnya. Jumlah anggota Parlemen pro Republik ada 29 orang, 33 pro Belanda dan 6 netral. Setelah Warrouw tidak jadi Perdana Menteri lagi, posisinya digantikan Ida Anak Agung Gde Agung. Dua tahun ia mengisi jabatan itu sejak 15 Desember 1947. Ketika Anak Agung menjadi Perdana Menteri, hubungan dengan Republik Indonesia mulai dijalin.
Banyak pihak melihat Ida Anak Agung Gde Agung adalah seorang politisi mampu dan administrator. Dia berusaha menerapkan politik “Politik Sintesis” atau perpaduan dengan mendekati Partai Republik. Partai Republik kemudian mengakui Indonesia Timur sebagai negara di tahun 1948.
Aksi militer Belanda Kedua pada 19 Desember 1948, segera mendapat tentangan keras dari Pemerintah NIT. Anak Agung, yang didampingi Menteri Kehakiman Chris Soumokil, lalu menghadap Presiden NIT Sukawati. Dia mewakili kabinet yang dipimpinnya memaklumkan pembubaran kabinet yang dipimpinnya.
Sukawati menerima pengunduran diri tersebut. Sorenya, Anak Agung juga bicara di sebuah stasiun radio di Makassar soal pengunduran dirinya. Tak hanya Anak Agung, Perdana Menteri Adil Poeradiredja dari Negara Pasundan juga mengundurkan diri dari jabatannya, dengan alasan yang sama, karena menolak Agresi Militer 19 Desember 1949. Namun, akhirnya Anak Agung ditunjuk lagi menjadi Perdana Menteri. Jabatan itu diisinya sejak 12 Januari 1949 hingga 27 Desember 1949.
Anak Agung lalu mundur lagi dari jabatan Perdana Menterinya karena ditunjuk sebagai Menteri Urusan Dalam Negeri Republik Indonesia Serikat (RIS) jelang 26 Desember 1949. Penggantinya J.E. Tatengkeng. Hanya sampai Maret 1950 saja Tatengkeng memimpin kabinet peralihan tersebut. Dia lalu digantikan Diapari.
Beberapa menteri dalam kabinet Diapari masih ingin mempertahankan NIT. Sementara demonstrasi agar Indonesia Timur bergabung dengan Republik Indonesia setelah 29 anggota parlemen NIT pro Republik mengajukan mosi pembubaran NIT. Meski mosinya ditolak, demonstrasi besar terjadi pada 17 Maret 1950. Arnold Mononutu salah satu pimpinan di parlemen NIT. Belakangan, dia pun jadi Menteri Penerangan RIS.
Menurut Saelan, dalam bukunya Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 1966 (2008), menyebut anggota parlemen ini sering berhubungan dengan kelompok pro Republik yang tergabung dalam Badan Pejuang-pejuang Pengikut Republik Indonesia (BPPRI).
Dipertahankan Eks KNIL
Ketika Diapari masih menjadi Perdana Menteri, ketegangan terjadi di kota Makassar. Sebanyak 300 KNIL Ambon dan sekompi pasukan di bawah pimpinan Kapten Andi Azis yang sudah jadi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) menangkapi pejabat militer APRIS seperti Letkol Ahmad Yunus Mokoginta pada 5 April 1950.
Maksud Andi Azis adalah menghalangi pendaratan batalyon APRIS dari Jawa yang dipimpin Mayor Worang. Kabinet Diapari berhasil membujuk Andi Azis untuk membebaskan Mokoginta, sementara banyak perwira lain masih ditahan.
Perdana Menteri RIS, Mohamad Hatta, mengeluarkan pengumuman bahwa NIT tidak terlibat dalam pemberontakan Andi Azis. Hal ini agak sensitif, karena Andi Azis sebelum menjabat sebagai ajudan Presiden NIT. Andi Azis lalu disalahkan secara personal. Meski banyak yang yakin bahwa dia hanya diperalat oleh oknum politisi dari kalangan NIT juga.
Andi Azis yang dianggap melanggar disiplin militer itu lalu menyerahkan diri kepada pemerintah. Menyerahnya Andi Azis tak membuat kondisi kota Makassar aman, justru semakin keruh. Setelahnya, semakin banyak pasukan APRIS dari Jawa masuk ke Makassar lalu menyebar ke Indonesia Timur. Sementara ada sekitar 1.500 KNIL yang bisa mengamuk kapan saja karena mereka anti pasukan dari Jawa.
Kedatangan pasukan dari Jawa itu mempercepat pembubaran NIT, yang didukung kaum republiken di Makassar. Selanjutnya, Ir Putuhena mantan menteri pekerjaan umum kabinet Sjahrir dikirim ke Makassar untuk menjadi Perdana Menteri pada 10 Mei 1950. Dia mengisi jabatan itu hingga bubarnya RIS, pada 17 Agustus 1950. RIS dibubarkan dan seluruh bekas wilayahnya masuk ke Republik Indonesia. Sementara itu, mantan Jaksa Agung Soumokil, yang menuntut vonis mati pada Wolter Mongisidi, naik pesawat ke Ambon. Dia melakukan tindakan separatis, mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS).
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti