tirto.id - Revolusi demi kemerdekaan Indonesia butuh ribuan bedil, dan untuk mendapatkannya, tak cuma mengandalkan jaringan penyelundup maupun pedagang Republiken. Ia butuh banyak tangan agar bedil-bedil—serta pelor-pelornya—itu bisa sampai ke tangan para pejuang yang bergerilya melawan tentara Belanda.
Suka tidak suka, para wanita tunasusila juga punya jasa dalam perkara tersebut. Mereka mengambil risiko dan meluangkan waktu untuk membantu para pejuang bersenjata mendapatkan perkakas revolusi.
Setidaknya, sejarawan Australia, Robert Cribb, dalam Gejolak Revolusi Di Jakarta 1945-1949 (1990), mencatat bahwa “senjata- senjata itu diperoleh dari hasil mencuri, melalui penyelundupan dari Singapura, dengan bantuan sejumlah wanita tuna susila Senen yang memperoleh senjata-senjata itu dari para serdadu India.”
Para pelacur itu adalah jaringan lama dari orang-orang yang tergabung dalam Laskar Rakjat Djakarta Raja. Hal ini terjadi ketika tentara Sekutu, dalam hal ini Inggris, berada di Jakarta.
Pada masa revolusi, keterlibatan para pelacur bukan hal baru. Pada dekade sebelumnya, ketika Sukarno masih di Bandung dan belum dibuang, para pelacur Bandung menolongnya.
Tak heran seorang kolonel eksentrik-cum-dokter gigi bernama Moestopo memanfaatkan para pelacur agar ikut membantu Republik Indonesia. Moestopo sebelumnya terlibat dalam front pertempuran Surabaya, dan sempat mengaku menteri sebelum 10 November 1945. Ia akhirnya ditarik ke front barat sekitar Bandung. Menurut Cribb, “Ia adalah seorang perwira eksentrik tapi imajinatif.”
Pertengahan 1946, ketika tentara Sukutu berangsur pergi dari Indonesia dan tentara Belanda mulai menguat, Moestopo dijadikan perwira Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) di Subang. Ia tiba di sana dengan unit bersenjata yang tidak biasa—disebut Pasukan Terate.
Terate adalah akronim dari Tentara Rahasia Tinggi. Selain terdiri taruna-taruna Akademi Militer Yogyakarta, ada pula pelacur dan pencopet dari Surabaya dan Yogyakarta. Mereka dikerahkan untuk menciptakan kekacauan dan kebingungan di kalangan serdadu-serdadu Belanda di sekitar Bandung.
Para pencuri dan para pelacur ini, menurut Abdul Haris Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1990), diberi pesan: “Boleh bergiat di daerah musuh terutama terhadap prajurit-prajurit musuh.”
Itu satu rencana yang cukup brilian, sebetulnya: Pihak Republik berusaha mengirim penyakit masyarakat ke daerah lawan.
Bekerja di daerah pendudukan Belanda, dalam masa revolusi, agaknya bisa lebih mendatangkan untung mengingat perekonomian daerah pendudukan lebih baik daripada daerah Republik. Selain itu, pelacur-pelacur pro-Indonesia bisa menjadi mata-mata bagi Republik.
Bagaimanapun, tentara-tentara Belanda yang dikirimkan ke Indonesia adalah pemuda-pemuda Belanda yang jauh dari pacar atau istri. Mereka butuh kehangatan dan tak jarang para pelacur jadi penuntasan birahi. Pelacuran di daerah pendudukan Belanda maupun medan perang lain di dunia adalah efek dari peperangan juga.
Kesulitan bahan makanan dan sumber uang membuat banyak perempuan rela jadi pelacur. Mengutip kesaksian seorang mantan veteran tentara Belanda di Indonesia, Frans Bentschap Knook: “Ketika kami memasuki kota dengan truk militer berkapasitas tiga ton, di sana-sini terdapat perempuan yang sudah siap bercinta dengan tentara-tentara Belanda.”
“Tetapi Kami sudah mendapat peringatan, dan takut setengah mati akan dampak perkencanan itu,” ujar Knook, sebagaimana dicatat dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 (2017) yang disusun Gert Oostindie.
Veteran lain, Jan Toledo, berkata: “Sewaktu masih dalam pendidikan, kami melihat beberapa film tentang penyakit-penyakit yang mengerikan. Waktu itu, saya masih begitu hijau sehingga mengira bahwa kami bisa tertular dengan penyakit-penyakit itu dari setiap perempuan.”
Tarif pelacur-pelacur itu, menurut veteran tentara Belanda lain lagi, hanya sekitar 25 sen.
Selain takut karena menderita penyakit kelamin, Polisi Militer Belanda mengawasi serdadunya yang memakai jasa pelacuran. Namun, ada saja serdadu yang bercinta dengan pelacur di daerah pendudukan. Larangan dan ketakutan serdadu-serdadu itu terlupakan begitu kebutuhan akan tubuh perempuan menguat dalam benak mereka.
Sialnya, ide “Moestopo tersebut kemudian ternyata menjadi ibarat senjata makan tuan. Karena adanya pelacur di front itu menyebabkan prajurit kita yang kesepian di front terkena getahnya, terkena wabah penyakit kotor,” tulis Moehkardi dalam Pendidikan Perwira TNI-AD di Masa Revolusi (1979).
Selain itu, Nasution juga menerima laporan: “Ada taruna Akademi Militer Nasional kita yang sedang praktik di front menjadi korban dari wanita tuna susila itu.”
Penyakit kelamin itu harusnya menghinggapi pemegang bedil Ratu Belanda. Kekeliruan fatal Kolonel Moestopo yang eksentrik dan imajinatif: ia tidak memisahkan daerah operasi pelacuran dan terkesan mencampurkannya.
Jika Moestopo jadi sasaran kesalahan mengirimkan pelacur-pelacur itu menyusupi daerah pendudukan, di sisi sebaliknya, membiarkan para pekerja seks terus beroperasi di daerah Republik pun tak terlalu baik bagi pendukung Republik yang kebanyakan menganggap mereka hanya sebagai penyakit masyarakat.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam