Menuju konten utama

Usaha Mempertahankan Surabaya Tanpa Komandan Terlatih

Tanpa persenjataan memadai, juga dengan para pejuang yang mayoritas tidak terlatih, para pejuang Surabaya mencoba mempertahankan Surabaya dari agresi Sekutu. Koordinasi yang buruk mempersulit para pejuang Indonesia mempertahankan Surabaya. Apalagi tidak ada satu pun pemimpin pasukan yang benar-benar terlatih berperang.

Usaha Mempertahankan Surabaya Tanpa Komandan Terlatih
Hotel Yamato

tirto.id - Ketika Militer Inggris dari Brigade Infantri India ke-49 hendak mendarat, Moestopo mengirim telegram kepada militer Inggris untuk tidak mendaratkan pasukannya di Surabaya. Tak lupa Moestopo mengancam jika Inggris bersikeras mendarat, maka sekutu harus siap menghadapi perang.

Ketika itu Mohammad Jasin, pendiri Brimob, sedang bersama Moestopo. Seperti ditulis dalam memoarnya, Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang (2010), Jasin bertanya pada Moestopo: “Apakah pasukan kita harus menghadang pasukan sekutu yang lengkap dengan persenjataan mutakhir?”

“Daripada bangsa kita dijajah oleh bangsa asing, lebih baik kita memeranginya, bagaimanapun juga!” kata Moestopo pada Jasin.

Tak lama kemudian jawaban dari militer sekutu Inggris pun datang. Nadanya jelas, tegas, dan tinggi hati. Maklum mereka baru saja menjadi pemenang Perang Dunia II. Begini jawabannya: “Kami tidak menerima perintah dari siapapun selain dari Panglima Sekutu.”

Dengan agak mengejek mereka mengatakan tidak akan tunduk pada seorang dokter gigi (Moestopo memang seorang dokter gigi). Di bawah kepemimpinan Moestopo, bentrokan-bentrokan antara militer Inggris dengan pihak Republik sering terjadi. Hal ini dianggap tidak menguntungkan pemerintah republik di mata negara-negara besar pemenang Perang Dunia II.

Rencana Kacau Karena Moestopo

“Sejak pecahnya pergolakan perebutan senjata Jepang dan disusul pendaratan tentara Sekutu, Moestopo adalah orang yang paling menonjol dan memikul tanggung jawab di Surabaya. Dialah orang pertama yang berhadapan dengan pemimpin tentara Jepang sewaktu terjadi pergolakan itu,” tulis Mukhardi dalam R Mohamad Dalam Revolusi 1945 Surabaya (1993). Moestopo adalah bekas komandan kompi Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di Sidoarjo, dalam kompi yang dipimpin Mohammad Mangundiprojo ketika zaman pendudukan Jepang.

Sebagai Komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Surabaya, Moestopo menemui para pejuang untuk membahas soal pendaratan sekutu. Banyak pemuda pejuang yang hadir tidak suka kedatangan Sekutu. Akhirnya pasukan Sekutu mendarat juga dan mendapat gangguan dari pemuda Indonesia. Hal ini diadukan pada pemerintah republik di Jakarta. Mereka memberi tahu kedatangan mereka hanya untuk membebaskan tawanan Belanda dan melucuti tentara Jepang yang sudah kalah.

Pemerintah Indonesia di Jakarta berusaha menghindari konfrontasi dan berusaha menampilkan Indonesia sebagai negara baru yang beradab di mata dunia internasional. Sukarno pun mengirimkan telegram yang isinya agar pemuda dan tentara Indonesia tidak bertempur dengan pasukan sekutu tersebut. Perintah itu tak didengar Moestopo dan pertempuran terus berlangsung dan memanas di Surabaya.

Banyak yang percaya Moestopo adalah Menteri Pertahanan ad interim. Sukarno dan Hatta pun kesal pada Moestopo. Dalam Peristiwa 10 November dalam Lukisan, Roeslan Abdoelgani menceritakan gambarannya. Ketika Sukarno-Hatta datang ke Surabaya untuk meredakan situasi, Moestopo dengan gagah menghadap ke Kantor Gubernur Jawa Timur. Ia mengenakan pakaian serba hitam dan berikat kepala juga. Kepada Sukarno, Moestopo bicara soal kelicikan Sekutu.

Saat itulah datang Bung Hatta bersama para perwira republik dari Jakarta juga beberapa tamu asing. Sementara itu Moestopo memilih menepi di sebuah sudut. Hatta yang penasaran pada sikap Moestopo karena dianggap aneh pun bertanya pada Sukarno: “Siapa orang itu?”

Pucuk dicinta ulam tiba. Hatta mendatangi orang bertingkah aneh itu. Rasa kesal Hatta pada orang keras kepala yang tidak mau mengerti strategi politik pemerintah RI. “Lha, ini dia pemberontaknya, ekstremisnya!” kata Hatta dalam nada sinis.

“Memang, saya ekstremis, saya pemberontak. Bukankah lebih baik menjadi pemberontak, mati dalam perjuangan, daripada dijajah bangsa asing lagi?” jawab Moestopo seraya menunjuk-nunjuk para perwira dan tamu-tamu asing di sekelilingnya.

Hatta dan Moestopo pun berdebat. Sampai akhirnya Sukarno melerai. “Sekarang saudara Moestopo saya pensiunkan dan saya angkat menjadi Penasihat Agung Presiden Republik Indonesia di Jakarta,” kata Sukarno dengan lembut.

“Lalu siapa yang menggantikan saya sebagai Menteri Pertahanan ad interim, penanggung jawab Revolusi Jawa Timur? Siapa?” tanya Moestopo.

“Saya sendiri,” kata Soekarno.

Moestopo lalu memberi hormat militer dan balik kanan pulang menuju rumahnya di Gresik. Untuk sementara waktu “kegilaan” Moestopo di Jawa Timur pun terhenti. Setelah ditarik ke pusat, Moestopo tak lama menjadi penasihat Presiden. Pada 1948 dia bersama Divisi Siliwangi kembali pergi Jawa Timur lagi. Dia terlibat dalam pembantaian orang-orang komunis di Madiun.

Infografik Rekonstruksi 10 November Hari Pahlawan

Setelah Moestopo Ditarik

Tak pernah jelas siapa sebetulnya Panglima Tertinggi dari kalangan Republik yang memimpin seluruh komando di Surabaya. Sudah jelas Mayor Jenderal Mansergh memimpin semua pasukan Inggris di Surabaya. Tapi pihak Republik?

Orang-orang lebih banyak yang percaya Soetomo, yang dikenal sebagai Bung Tomo, adalah pemimpin tertinggi pihak Republik. Soetomo dikenal karena pidatonya di Radio pada 10 November 1945 yang diakhiri teriakan takbir yang mengguntur: “Allahu, Akbar! Allahu, Akbar! Allahu! Merdeka! Merdeka! Merdeka!”

Soetomo lebih mirip perwira propaganda yang membakar semangat pasukan yang bersenjata seadanya ketimbang panglima pasukan yang punya strategi besar untuk memenangkan pertempuran. Menurut Mangundiprojo, seperti ditulis Moekhardi dalam biografi Mohammad Mangundiprojo, muncul perselisihan soal siasat antara Komandan BKR Kota Surabaya, Soengkono, dengan Komandan BKR Keresidenan Surabaya, Jonosewoyo.

Jonosewoyo menginginkan pasukan Republik mundur dari Surabaya. Sementara Soengkono berpendirian sebaliknya. Kota Surabaya, kata Jonosewoyo, tak boleh ditinggalkan demi memelihara moral pasukan. Soengkono didukung banyak perwira seperti Hasanudin Pasopati, komandang Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR), Moh Jasin, juga Djarot Subianto. Khusus Djarot, ia sebetulnya di bawah komando Jonosewoyo.

Setelah 10 November 1945, Soengkono berusaha memelihara garis komando dan mengkordinasikan pasukan untuk pertempuran. Karena kesibukan dan kepanikan yang luar biasa menyusul luar biasanya serangan Inggris, usaha Soengkono tidak berjalan mulus.

Soemarsono lantas berinisiatif membicarakan masalah koordinasi pasukan, baik pejuang dari tentara, polisi maupun laskar. Di Wonocolo, pada 15 November 1945, mereka pun rapat. Selain Soengkono, hadir pula Atmadji dari BKR Laut, Soejono Prawiro Bismo dari Polisi, Soemarsono dari PRI, Koesnandar dari PRI juga, Soemarno dari BPRI juga laskar-laskar lain seperti API dan Hizbullah.

Seingat Mangundiprodjo, rapat berlangsung lancar tanpa banyak cingcong dan perdebatan. Selain bicara soal bagaimana mengkoordinasi para pejuang, Soengkono mengusulkan pembagian area pertempuran menjadi empat sektor. Mereka menyepakati pendirian Dewan Pertahanan Rakyat Indonesia (DPRI) untuk memimpin jalannya pertempuran. Mangundiprdojo ditunjuk sebagai ketua umum untuk sementara waktu. Sementara Soengkono menjadi Kepala Markas Pertahanan Kota Surabaya.

Pihak Republik hanya berpikir untuk mempertahankan wilayah Surabaya dari serbuan Inggris. Mereka tidak terlalu mengindahkan perhitungan kekuatan militer. Para pemimpin pasukan republik itu hampir semuanya tak pernah menjalani pendidikan perwira militer secara intensif. Para pimpinan pasukan yang pernah menjadi perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA), menurut Joyce Lebra dalam Tentara Gemblengan Jepang (1989), paling lama hanya menjalani masa latihan selama 1,5 tahun. Mereka biasanya para calon komandan peleton (shodancho). Calon Komandan Kompi (Chudancho) justru hanya 6 bulan saja dan komandan batalyon (Daidancho) malah hanya 3 bulan saja.

Soengkono, menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1988), hanya mantan shodancho PETA hingga 1945. Sebelumnya, ketika zaman Hindia Belanda, Soengkono adalah pelaut Koninlijk Marine (Angkatan Laut Belanda). Setelah Indonesia merdeka, karena punya pengikut dan pendukung banyak, Soengkono bisa menjadi komandan resimen.

Dalam struktur militer, resimen lebih besar ketimbang kompi. Tak ada orang Indonesia yang pernah dilatih dan berpengalaman menjadi komandan resimen, baik dalam kemiliteran Jepang maupun Belanda. Orang Indonesia yang punya pangkat paling tinggi dalam kemiliteran Belanda atau Jepang hanya memimpin pasukan sekelas batalyon yang anggotanya tak lebih dari 500 atau 1000 orang.

Jonosewoyo, yang berbeda paham dengan Soengkono, berusia lebih muda dari Soengkono. Keduanya sama-sama bekas komandan peleton PETA. Menurut Joyce Lebra, Jonisewoyo termasuk pemuda yang terpilih untuk dilatih Seinen Dojo di Tangerang oleh Letnan Yanagawa.

Ia terpilih berlatih di Tangerang bersama Daan Mogot, Kemal Idris, Supriyadi, Umar Wirahadikusumah dan bapak intelejen Zulkifli Lubis. Untuk diketahui, Seinen Dojo sudah lebih dulu ada ketimbang PETA, bahkan bisa dikatakan menjadi cikal bakal PETA. Jadi Jonosewoyo termasuk yang dilatih lebih lama oleh militer Jepang. Mantan PETA yang lebih tua umurnya tentu mengalami masa latihan yang lebih singkat.

Mohommad Mangundiprojo sendiri adalah mantan komandan batalyon PETA di Buduran. Di sana Moestopo pernah menjadi komandan kompi dalam batalyon yang dipimpin oleh Mangundiprdojo. Keduanya dilatih Jepang hanya dalam hitungan bulan. Mereka tak mengalami latihan dan pelajaran strategi perang secara mendalam.

Menurut Joyce Lebra, latihan kepada mereka lebih banyak pada penekanan semangat dan keberanian menghadapi perang. Tak heran semangat dan keberanian lebih menonjol ketimbang kepemimpinan sebagai komandan pasukan modern.

Perwira Republik lain yang cukup diandalkan adalah Mohammad Yasin yang memimpin Polisi Istimewa. Pasukan Yasin ini menjadi cikal bakal pasukan para-militer kepolisian bernama Brimob. Pasukan kepolisian, meski seringkali punya kemampuan perang kota, tetap saja bukanlah militer yang kemampuannya sepadan dengan pasukan Brigade 49. Yasin sendiri hanya mendapat latihan sebagai perwira polisi Jepang saja.

Ini memberikan gambaran betapa para pemimpin laskar perjuangan itu hampir semuanya hanya mendapatkan latihan semi militer. Tak heran jika pasukan Republik babak belur dihantam militer Inggris-India yang jelas lebih tangguh.

Baca juga artikel terkait HARI PAHLAWAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS