tirto.id - “Betapa malang negeri yang tak mempunyai pahlawan,” ujar Andrea Sarti kepada Galileo Galilei dalam lakon Bertold Brecht, Leben des Galilei. Galileo, si ilmuwan, ternyata tak setuju. “Tidak, Andrea,” katanya, “negeri yang malang ialah negeri yang memerlukan pahlawan.”
Indonesia adalah negeri yang malang dalam ukuran Brecht. Jumlah pahlawan nasional dari tahun ke tahun terus bertambah. Kementerian Sosial yang mengurusi proses pengangkatan pahlawan nasional, melalui Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, mengatakan tahun ini Presiden Joko Widodo menandatangani surat pengangkatan pahlawan nasional baru. Jika benar, berarti per 2016 Indonesia sudah memiliki 169 pahlawan nasional.
Jumlah itu niscaya akan terus bertambah. Nama-nama yang dianggap layak menjadi pahlawan nasional masih antri untuk diangkat. Tiap kelompok, tiap daerah, tiap suku bangsa, bahkan banyak keluarga besar, menyorong-nyorongkan daftar nama yang tentu mewakili nilai-nilai atau kepentingan masing-masing.
Indonesia bahkan memiliki hari khusus untuk merayakan kepahlawanan. Hari yang dipilih adalah 10 November, awal pecahnya pertempuran kota di Surabaya melawan serdadu Inggris pada 1945.
Kepahlawanan, juga peristiwa-peristiwa yang melibatkan tindak kepahlawanan, sering diceritakan dengan penuh haru biru. Seorang pemuda yang sehari-hari hanya memandikan kerbau berlari ke arah kendaraan baja musuh sembari memeluk granat. Guru sekolah rakyat yang biasa berbicara di muka kelas dalam nada rendah gugur setelah memberondong lawan dengan mitraliur. Seorang centeng, hanya dengan belati di tangan kanannya, melubangi tubuh tiga dari selusin serdadu yang mengepungnya. Dan seterusnya, dan sebagainya.
Tak ada yang salah dengan rasa haru. Bagaimanapun, keberanian orang-orang yang terjun ke medan laga walau tahu akan kalah, sambil membawa tekad membela sesuatu yang lebih besar dari diri mereka, sepatutnya menghidupkan perasaan itu. Tetapi ada yang tak boleh dilupakan. Sebagaimana koin yang mempunyai dua sisi, perjuangan bersenjata senantiasa punya dua wajah. Di belakang heroisme yang agung, ada wajah bopeng yang mengerikan.
Dan Idrus, dalam novel pendek Surabaya, mengajak kita memandang sisi yang tak menyentuh itu.
Suara Idrus dengan mudah mengingatkan kita kepada suara Voltaire. Ia menampilkan kenyataan yang telanjang, lalu menyuntikkan sarkasme dalam dosis tinggi ke urat nadi cerita.
“Orang tidak banyak percaya lagi kepada Tuhan,” tulis Idrus tentang kelakuan pemuda-pemuda Surabaya setelah Jepang menyerah. “Tuhan baru datang dan namanya macam-macam: bom, mitraliur, mortir.”
Mereka, katanya, bercokol di jalan-jalan dengan revolver—yang dilucuti dari tentara Jepang—menggelantung di pinggang, seperti koboi-koboi di Barat Liar.
Para pemuda yang sampai beberapa waktu sebelumnya biasa disepak Jepang dan diteriaki “bakayaro!” sampai separuh budek itu sibuk menebar pesona kepada gadis-gadis pribumi, membantai orang-orang yang mereka anggap bukan pribumi (orang-orang Ambon, Tionghoa, dan kaum Indo), dan, saat mati gaya, menembakkan senjata-senjata api mereka ke langit sebagai tanda kegembiraan sekaligus jingoisme.
Kemudian Inggris, dalam wujud tentara Gurkha yang, menurut Idrus, bermuka hitam seperti kepala kereta api, sebuah gambaran yang sebenarnya meleset, tiba di Surabaya. Mereka berusaha merampas senjata para koboi. Tentu saja para koboi, yang barangkali menganggap dirinya koboi sungguhan, menolak. Kedua pihak bersitegang. Baku tembak terjadi di sana-sini. Dalam satu harmal, sekitar seribu orang Indonesia dan tiga ratus serdadu Inggris terbunuh.
Tetapi pertempuran yang sebenarnya baru dimulai pada 10 November, setelah A.W.S Mallaby, komandan brigade Inggris, dibunuh seorang koboi pada masa gencatan senjata. Pasukan Inggris yang didukung tank dan pesawat tempur menyapu kota itu dalam tiga pekan. Antara 6.300 hingga 15 ribu pejuang Indonesia gugur dalam pertempuran itu, dan sekitar 200 ribu orang mengungsi ke kota-kota lain.
Situasi kaum pelarian itulah, dan bukan suasana pertempuran, yang justru banyak dibicarakan Idrus dalam Surabaya. Goenawan Mohamad, dalam “Catatan Pinggir” yang terbit pada 18 November 2012, menduga Idrus memang tak cukup mengerti keadaan di garis depan.
“Waktu itu, dalam usia 24, ia tak turut di garis depan; ia jadi wartawan surat kabar Berdjoeang di Malang. Dan sebagai wartawan, ia mengambil jarak...,” tulis Goenawan.
Namun kemungkinan dari Goenawan tentu tidak menutup kemungkinan lain: Idrus dengan sadar memilih mengisahkan dampak perang ketimbang perang itu sendiri, bahwa ia lebih memilih demistifikasi perang serta kepahlawanan dan bukan sebaliknya.
Agar menghasilkan efek yang kuat, maka ia memilih mengisahkan orang-orang yang tidak mengangkat senjata. Idrus mencari cerita di antara pengungsi, yang sebagian besarnya adalah perempuan dan orang-orang lanjut usia, dan di sanalah ia menemukan kegilaan dalam segala bentuk.
Ada pemuda dirajam beramai-ramai ketika kedok “ketuaan”-nya terbongkar. Ada perempuan yang merisaukan harta yang ditinggalkannya sepanjang perjalanan dan pelan-pelan jadi senewen. Ada pula wartawan yang, jengkel karena pertanyaannya ditanggapi dengan ketus oleh seorang dokter, menulis di surat kabar bahwa perawatan kesehatan kaum pelarian amat buruk dan para dokter belum insaf akan perjuangan.
Setelah berjalan berhari-hari, kaum pengungsi memperoleh tempat bernaung di kota-kota lain. Namun, itu tak berarti kehidupan mereka bertambah baik. Jatah beras terus-menerus dicatut petugas, harga barang-barang pokok sepenuhnya berada di tangan pedagang serakah, dan banyak perempuan pengungsi yang memutuskan jadi pelacur—sebagian karena lapar dan sebagian lagi karena merasa barang neneknya gatal.
Sinisme, bahkan sarkasme, terhadap perjuangan para pemuda terhampar di mana-mana dalam Surabaya. Idrus lempang saja menggunakan perumpamaan yang profan. “Kepercayaan kepada diri sendiri dan cinta tanah air meluap seperti ruap bir. Pemakaian pikiran menjadi berkurang, orang-orang bertindak seperti binatang…” tulis Idrus.
15 bulan setelah pertempuran Surabaya berakhir, pada Maret 1947, muncul iklan yang mempromosikan Surabaya di harian Merdeka. Kalimatnya separuh bombastis separuhnya lagi tepat sasaran: “Satu-satunya roman Indonesia yang berderajat internasional. Kritis realistis menegakkan bulu roma. Cynisme yang menyayat, tetapi lepas dari sentimen-sentimen chauvinisme.”
“Berderajat internasional” tentu bombastis, “sinisme yang menyayat” boleh jadi hanya penghalusan dari “sarkasme”. Tetapi “lepas dari sentimen-sentimen chauvinisme” bisa dikatakan tepat sasaran. Alih-alih menggelorakan semangat jingo, Surabaya mengambil jarak dari tendensi melebih-lebihkan revolusi fisik.
Membaca Surabaya pada saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan masih berlangsung tentu menjengkelkan. Menyulitkan para pemimpin yang hendak memaksimalkan segenap potensi rakyat untuk angkat senjata. Dan bukan tidak mungkin digunakan kekuatan reaksioner, katakanlah Belanda, untuk mengkampanyekan betapa revolusi yang didengungkan para pemimpin Indonesia hanyalah amok massa tak terkendali, cuma serbuan kaum bar-bar. “Seperti binatang”, jika memakai perumpamaan Idrus.
Tak mengherankan jika Idrus kena hadang banyak orang. Usaha untuk menyelengkat “misi” Surabaya dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan membeberkan ketidakakuratan novel itu dalam menggambarkan suasana perang. Untuk itu, diutarakanlah kabar bahwa Idrus bukan hanya tidak ikut berperang tapi juga tidak menginjakkan kaki di Surabaya pada saat peristiwa terjadi.
Rosihan Anwar bahkan menlengkapi hal itu dengan mengatakan Idrus sekadar mencari sensasi. Untuk apa? Apa lagi jika bukan, kata Rosihan, “menghasilkan uang dari sebuah pertempuran yang memikat perhatian dunia”.
Kendati menjadi suara minor pada masanya, Surabaya tak sendirian. Kritik terhadap para pemuda yang ugal-ugalan di medan juang sudah menjadi perhatian Soetan Sjahrir bahkan sejak sebelum pertempuran Surabaya pecah.
Sjahrir yang sejak masa sebelum proklamasi sudah sangat sering mewanti-wanti bahaya fasisme, kembali mengingatkan bahaya chauvinisme dan fasisme lewat risalah tipis berjudul Perjuangan Kita pada awal November 1945. Ia menyebut para pemuda tidak punya cukup kecakapan untuk memimpin dan hanya tahu berbaris, menerima perintah menyerang, menyerbu dan berjibaku.
Sjahrir menulis: “Segala kegelisahan yang ada di dalam masyarakat dijuruskan oleh pemuda-pemuda kita, pada kebencian terhadap bangsa-bangsa asing yang hidup di dalam negeri kita, pada berbaris-baris dengan tombak yang sekarang juga menjalar menjadi pembunuhan dan perampokan serta rupa-rupa kegiatan lain lagi, yang diilik dengan kaca mata perjuangan kemasyarakatan tidak berarti atau adalah reaksioner, seperi tiap-tiap tindakan fasistis itu selamanya reaksioner.”
Yang dianggap musuh oleh para “koboi” atau “tukang baris-berbaris” itu bukan hanya si asing yang hendak menjajah, tapi juga bangsa sendiri. Dari rakyat jelata yang dianggap mata-mata, sampai para elit lama yang dianggap bekerja sama dengan Belanda atau Jepang. Korban para pemuda revolusioner di antaranya adalah bangsawan kesultanan-kesultanan pra-Indonesia, termasuk penyair Amir Hamzah.
Bahkan Pramoedya Ananta Toer, yang takzim benar pada prosa-prosa Idrus, namun di kemudian hari berseberangan haluan politik, tidak kurang-kurangnya menulis tentang amuk para pemuda revolusioner. Cerpen-cerpennya yang terhimpun dalam Percikan Revolusi + Subuh kaya dengan penggambaran brutalnya para pemuda revolusioner itu. Salah satu yang dikisahkan Pram adalah eksekusi seorang warga yang dianggap mata-mata. Korban yang punya ilmu kebal tidak kunjung mampus walau sudah digebuki beramai-ramai. Akhirnya korban diikat di belakang truk dan lantas diseret sampai mati.
Roman Pramoedya yang lain, Keluarga Gerilya atau Di Tepi Kali Bekasi, juga banyak memuat gambaran yang tidak meyakinkan tentang kesungguhan para pemuda. Alih-alih heroisme yang solid dan tanpa cela, para pemuda sering digambarkan sebagai tidak serius, kurang patriotik, ragu-ragu, bimbang. Belum lagi gambaran tentang kelakuan amoral orang-orang Indonesia yang menipu sesamanya untuk mencari keuntungan di tengah situasi yang sempit, atau ecabulan ngegrepe para mbakyu bakul beras di atas kereta.
Pretensi untuk menghadirkan anti-hero, atau demistifikasi revolusi, dalam contoh-contoh karya di atas agaknya cocok dengan langgam politik angkatan tua yang moderat (Sjahrir, yang saat itu baru berusia 36 tahun, sudah dianggap tua). Mereka menghendaki cara berjuang yang lebih berhati-hati, tak sekadar main sergap dan ganyang, yang dalam praktiknya berarti berunding dengan Belanda ketimbang jadi arang sekaligus abu berkat pertempuran.
Idrus baru berusia 24 tahun saat pertempuran Surabaya pecah. Pramoedya bahkan lebih muda lagi, baru 20 tahun. Tetapi pikiran mereka berbeda dari golongan muda pada umumnya di masa itu.
Di kemudian hari, saat politik telah menjadi cara Pramoedya menakar realitas, terutama saat ia menjadi tokoh penting Lekra, ia justru meningkatkan dosis revolusi dalam tindakan dan karya-karyanya. Sampai akhir hayatnya, Pramoedya justru getol bicara tentang keharusan angkatan muda menggebuk angkatan tua yang bobrok.
Idrus berbeda. Kendati gaya dan nada-nada tulisannya lebih terukur (lalu berbalik jadi lebih buruk dari apa pun saat ia tinggal di Malaysia), ia tak pernah mengubah pandangannya tentang revolusi. Tak pernah ia menyesali Surabaya. Ia masih berdiri di atas kata-kata yang pernah ia ucapkan pada 1948, dalam sebuah wawancara yang terbit dengan judul “Terus Terang”.
“Orang-orang bertanya kepada saya,” kata Idrus, “mengapa saya membuat tulisan panjang tentang kotoran sapi ketika kita dilingkupi kisah-kisah indah. Kotoran sapi yang saya lukiskan dapat menjadi pupuk bagi Indonesia dan masyarakat yang telah tidur selama 350 tahun.”
Bagi Idrus, kotoran sapi adalah antitesis dari fantasi-fantasi indah zaman silam. Dari sanalah akan lahir sintesis. "Itulah sintesis yang saya kejar, walau saya belum berhasil mencapainya,” kata Idrus.
Gambaran tentang kotoran sapi di tengah perjuangan revolusioner mempertahankan kemerdekaan jelas takkan datang dari orang-orang yang melulu meromantisir perang kemerdekaan sebagai laku heroik, sebagai bakti yang bebas pamrih, sebagai “kerelaan jadi tumbal bagi orang banyak”. Padahal perang, tak peduli atas nama apa pun, ialah keadaan “yang terburuk dari yang mungkin.” Perang ialah kubangan busuk dan kita dibiasakan untuk memandangnya sebagai taman bunga.
Sesekali ia perlu dilihat sebagaimana aslinya. Itulah sumbangan Idrus.
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Zen RS