tirto.id - Salah satu masalah pencernaan yang bisa muncul saat berpuasa adalah asam lambung naik atau GERD. Lantas, jika asam lambung naik apakah membatalkan puasa? Ada juga yang bertanya, apakah muntah karena asam lambung membatalkan puasa?
Untuk memahami jawaban atas pertanyaan tadi, perlu diketahui dahulu makna puasa dan hal-hal yang membatalkannya. Puasa adalah ibadah menahan makan, minum, dan segala hal yang membatalkannya sejak fajar shadiq terbit (waktu Subuh) hingga terbenamnya matahari (waktu Maghrib).
Secara umum, berbagai hal yang membatalkan puasa bisa digolongkan menjadi 8 jenis perkara. Syaikh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazy dalam kitab Fathul Qorib menuliskan 8 perkara yang membatalkan puasa sebagai berikut:
- Masuknya sesuatu ke dalam tubuh dengan sengaja melalui lubang alami seperti mulut, hidung, telinga, qubul (tempat keluar urin), dan dubur (tempat keluar tinja).
- Pengobatan dengan memasukkan benda ke qubul dan dubur.
- Muntah dengan sengaja.
- Melakukan hubungan seksual secara sengaja.
- Keluarnya air mani (sperma) karena bersentuhan kulit dengan sengaja.
- Mengalami haid atau nifas.
- Gila (junun).
- Menyatakan keinginan dan/atau murtad.
Apakah Muntah Karena Asam Lambung Naik Bisa Membatalkan Puasa?
Asam lambung naik bukan termasuk hal yang membatalkan puasa. Gejala GERD biasanya ditandai dengan naiknya asam lambung ke kerongkongan sehingga memicu sensasi panas di dada.
Gejala gerd tersebut semacam hendak muntah tapi gak jadi. Gejala ini disebut heartburn, dan termasuk ciri asam lambung naik yang paling umum, termasuk saat berpuasa.
Tidak jarang pula, gejala asam lambung naik itu disertai dengan muntah. Lantas, apakah muntah karena asam lambung membatalkan puasa?
Muntah dengan sengaja termasuk salah satu perkara yang membatalkan puasa. Orang yang dengan sengaja muntah saat berpuasa, wajib mengqada puasa di bulan lain setelah 1 Syawal dan sebelum Ramadan berikutnya.
Di sisi lain, muntah karena asam lambung adalah keadaan di luar kemampuan manusia atau perbuatan yang tidak disengaja. Karena itu, hukum muntah karena asam lambung saat puasa tidak membatalkan puasa.
Hukum muntah karena asam lambung saat puasa tersebut sebagaimana hadits berikut:
مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ, وَمَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ اَلْقَضَاءُ - رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ
Artinya: “Siapa saja yang muntah, maka ia tidak berkewajiban qadha [puasa]. Tetapi siapa saja yang sengaja muntah, maka ia berkewajiban qadha [puasa],” (HR lima imam hadits, yaitu Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i).
Akan tetapi, untuk mencapai kriteria terbebas dari batal puasa, seorang yang muntah karena asam lambung harus memperhatikan tiga hal berikut:
- Muntahan yang telah keluar sampai mulut harus dikeluarkan dan tidak boleh ditelan kembali dengan sengaja.
- Muntahan yang telah sampai tenggorokan, harus dikeluarkan jika memungkinkan.
- Jika muntahan bergerak kembali ke tenggorokan tanpa disengaja (bergerak sendiri), tidak membatalkan puasa.
Tiga poin tadi merupakan kesimpulan pendapat mayoritas ulama sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ibanatul Ahkam karya Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki sebagai berikut:
“Mayoritas ulama berpendapat bahwa, jika muntahan bergerak turun kembali ke tenggorokan seseorang padahal ia sebenarnya bisa memuntahkannya, maka puasanya batal dan ia wajib mengqadhanya. Tetapi yang benar menurut Mazhab Hanafi, jika muntahan bergerak kembali ke tenggorokan seseorang dengan sendirinya, maka puasanya tidak batal. Abu Yusuf berpendapat bahwa puasa menjadi batal sebab muntahan kembali bergerak masuk (ke dalam perut) sebagaimana kembalinya muntahan sepenuh mulut,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 306).
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum muntah karena asam lambung saat puasa tidak membatalkan puasa, selama muntahan yang bisa dikeluarkan tak masuk kembali ke dalam perut dengan sengaja.
Yang Perlu Dilakukan Setelah Muntah Karena Asam Lambung Saat Puasa
Apa yang perlu dilakukan setelah muntah karena asam lambung saat puasa Ramadhan adalah memastikan muntahan keluar karena sengaja atau tidak. Harus dipastikan pula bahwa muntahan yang semestinya bisa dikeluarkan tidak tertelan kembali secara sengaja.
Jika muntahan bergerak sendiri ke tenggorokan kemudian kembali lagi ke lambung, puasa tetap sah dan dapat dilanjutkan kembali tanpa qada (mengganti puasa di hari lain).
Di sisi lain, orang yang telah menelan kembali muntahannya dengan sengaja, puasanya batal dan wajib untuk mengganti (mengqada). Artinya, muntah karena asam lambung membatalkan puasa, jika saat muntahan telah sampai di kerongkongan, ditelan kembali dengan sengaja.
Allah SWT memberikan kemudahan kepada mereka yang sakit dan mewajibkan qada di lain hari, sebagaimana bunyi Surah Al-Baqarah ayat 184 sebagai berikut:
“[Yaitu] beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan [lalu tidak berpuasa], maka [wajib mengganti] sebanyak hari [yang dia tidak berpuasa itu] pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” (QS. Al-Baqarah [2]: 184).
Orang yang telah batal puasa sebaiknya segera mengonsumsi makanan dan minum serta melakukan pengobatan asam lambung. Dengan begitu, orang tersebut di hari berikutnya, diharapkan dapat kembali menjalankan ibadah puasa Ramadan.
Asam Lambung Naik Boleh Puasa?
Mengenai masalah apakah asam lambung naik boleh puasa, jawabannya dapat merujuk pada hukum berpuasa untuk orang yang sakit. Menukil dari laman nu.or.id, Syekh Nanawi Al-Bantani dalam Kitab Kaasyifatus Sajaa, membagi hukum puasa bagi orang sakit jadi 3 macam, yakni makruh, haram, dan wajib.
Pertama, hukum berpuasa bagi orang sakit bisa makruh (dianjurkan supaya ditinggalkan) apabila puasa diprediksi mengakibatkan madharat (dampak buruk) bagi kesehatan atau tubuh.
Kedua, hukum berpuasa bagi orang sakit juga bisa haram, jika ibadah puasa diduga kuat akan menimbulkan bahaya, atau bahkan mengancam keselamatan jiwa.
Ketiiga, hukum berpuasa bagi orang sakit bisa wajib, apabila masalah kesehatan terbilang ringan, semacam kepala pusing, sakit gigi, sakit telinga, dan sejenisnya. Hanya saja, jika puasa berisiko memperparah sakit, puasa Ramadhan boleh ditinggalkan dan bisa diganti dengan qada pada bulan yang lain.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Addi M Idhom