tirto.id - Rangkap jabatan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) sering kali memunculkan polemik, baik dari segi etik maupun peraturan. Meskipun demikian, ada banyak kasus rangkap jabatan PNS tetap dipraktikkan di institusi pemerintahan.
Karena itu, muncul pertanyaan seperti: apakah PNS bisa rangkap jabatan?; PNS rangkap jabatan boleh atau tidak?; Bagaimana peraturan rangkap jabatan untuk PNS?; dan yang sejenisnya.
Jika melihat ketentuan yang berlaku, sebenarnya PNS dilarang rangkap jabatan. Namun, ada ketentuan pengecualian yang memperbolehkan PNS rangkap jabatan, dengan syarat tertentu.
Ada beberapa regulasi yang memuat peraturan tentang rangkap jabatan PNS. Sejumlah ketentuan termuat dalam regulasi level undang-undang (UU), peraturan pemerintah (PP), hingga Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Setiap regulasi itu memuat ketentuan yang substansinya adalah PNS tidak boleh rangkap jabatan, tetapi ada pengecualian untuk kondisi tertentu.
Beberapa peraturan tersebut perlu dipahami oleh PNS atau CPNS (calon pegawai negeri sipil), agar tidak melakukan rangkap jabatan yang menabrak ketentuan.
Apa yang Dimaksud dengan Rangkap Jabatan PNS?
Rangkap jabatan adalah kondisi ketika seseorang mempunyai lebih dari satu jabatan atau cabang kekuasaan pada waktu bersamaan. Istilah lain rangkap jabatan adalah concurrent position.
Di Indonesia, rangkap jabatan di kalangan aparatur negara sudah menjadi praktik umum. Sayangnya, rangkap jabatan belum secara jelas dianggap pelanggaran sekalipun praktik ini menyalahi prinsip good governance.
Berdasarkan data Ombudsman RI pada 2019, ada 397 kasus rangkap jabatan di kalangan pegawai pemerintahan Indonesia. Mayoritas kasus rangkap jabatan tadi berkaitan dengan posisi tinggi di BUMN/BUMD. Padahal, rangkap jabatan PNS di BUMN/BUMD dilarang.
Berdasarkan peraturan yang berlaku, pegawai BUMN yang sudah diterima menjadi PNS diharuskan mundur dari jabatannya. Begitu pula sebaliknya, PNS tidak boleh melamar ke BUMN/BUMD.
Mengutip laporan riset Indonesia Corruption Watch (ICW) bertajuk Studi Kasus Rangkap Jabatan Penegak Hukum sebagai Komisaris BUMN (2023), praktik rangkap jabatan kerap terjadi di Indonesia karena ada banyak peraturan yang saling tumpang tindih.
Padahal, rangkap jabatan dapat memicu konflik kepentingan. Konflik kepentingan itu bisa terjadi karena ada pemanfaatan suatu jabatan untuk kepentingan jabatan lainnya. Aparat negara yang merangkap jabatan pun bisa memiliki komitmen ganda sehingga obyektivitas dari keputusannya layak diragukan.
UU Administrasi Pemerintahan mendefinisikan konflik kepentingan sebagai kondisi ketika pejabat pemerintahan memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan dirinya sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang, sehingga bisa memengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.
Di sisi lain, rangkap jabatan berbeda dengan menjalani dua pekerjaan. Seorang PNS bisa saja memiliki 2 pekerjaan yang berbeda, dengan salah satunya di luar pemerintahan. Tak ada pula aturan khusus yang melarang PNS untuk menjalani 2 pekerjaan atau lebih.
Dengan kata lain, PNS boleh menjalani pekerjaan sampingan seperti berbisnis, berjualan, bekerja lepas, atau pekerjaan lain di sektor non-pemerintahan.
Meski tidak ada aturan yang mengikat, PNS sebaiknya mengajukan izin ke atasan terlebih dahulu saat memiliki pekerjaan sampingan. Pasalnya terdapat beberapa jenis pekerjaan di sektor informal yang bisa jadi melanggar etika PNS atau dapat menyebabkan pekerjaan di instansi pemerintah menjadi tidak maksimal.
Apakah PNS Boleh Rangkap Jabatan?
Merujuk pada beberapa peraturan yang kini berlaku, sebenarnya PNS tidak boleh rangkap jabatan, kecuali dalam kondisi tertentu. Salah satu alasannya adalah kekhawatiran bahwa PNS tidak bisa menjalankan tugas dengan maksimal jika merangkap jabatan.
Larangan soal rangkap jabatan ini misalnya tertuang di pasal 88 UU ASN Nomor 5 Tahun 2014. Pasal 88 ayat 1 dan 2 di UU ASN 5/2014 mengatur, PNS harus diberhentikan secara sementara jika menjadi pejabat negara, atau komisioner/anggota lembaga nonstruktural.
Kemudian, pasal 123 ayat 1 UU ASN juga memuat ketentuan, bahwa PNS diberhentikan sementara dari jabatannya (status PNS tidak hilang) jika menjadi:
- ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;
- ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
- ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
- ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
- Menteri dan jabatan setingkat menteri;
- Kepala perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh.
Lalu, dalam Pasal 124 UU ASN 5/2014, disebutkan bahwa PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1), bisa duduk di Jabatan Administrasi (JA), Jabatan Fungsional (JF), atau Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT), selama lowongan masih ada. Jika tidak ada lowongan, PNS itu bisa diberhentikan secara hormat.
Di sisi lain, beberapa peraturan pemerintah mengizinkan PNS melakukan rangkap jabatan dalam situasi tertentu. Misalnya, Pasal 98 PP Nomor 11 tahun 2017 yang berisi ketentuan rangkap jabatan bagi pejabat fungsional.
Pasal 98 PP 11/2017 mengatur, pejabat fungsional dilarang rangkap jabatan dengan JA atau JPT. Namun, ada pengecualian, sehingga pejabat fungsional boleh rangkap jabatan dengan JA dan JPT yang kompetensi dan bidang tugas jabatannya sama, dan tidak dapat dipisahkan dengan kompetensi serta bidang tugas JF.
Sesuai dengan ketentuan di atas, berikut ini contoh rangkap jabatan PNS yang diizinkan di pemerintahan:
- Jaksa boleh merangkap jabatan struktural di lingkungan kejaksaan yang tugas pokoknya berkaitan erat dengan bidang penuntutan atau dapat diberi tugas penuntutan.
- Pemilik jabatan peneliti boleh merangkap jabatan struktural di lingkungan instansi pemerintah yang tugas pokoknya berkaitan erat dengan bidang penelitian.
- Pemilik jabatan perancang peraturan boleh merangkap jabatan struktural di instansi pemerintah yang tugas pokoknya terkait erat dengan bidang peraturan perundang-undangan.
Ketiga jabatan tersebut diperbolehkan untuk rangkap jabatan. Sebab, jabatan struktural maupun fungsionalnya saling berkaitan satu sama lain.
Aturan Rangkap Jabatan PNS
Peraturan rangkap jabatan PNS termuat dalam beberapa regulasi di tingkat UU, PP, serta Peraturan BKN. Berikut ini daftar aturan soal rangkap jabatan PNS yang berlaku saat ini:
1. Peraturan BKN Nomor 16 Tahun 2022
Peraturan BKN Nomor 16 Tahun 2022 memuat ketentuan terkait tata cara penugasan PNS di instansi pemerintah dan luar instansi pemerintahan.Pasal 1 ayat 7 dan 8 Peraturan BKN Nomor 16 Tahun 2022 berisi ketentuan berikut:
- Ayat 7: Penugasan adalah Penugasan PNS untuk melaksanakan tugas pada Instansi Pemerintah dan di luar Instansi Pemerintah selain Instansi Induknya dalam jangka waktu tertentu.
- Ayat 8: Tugas Jabatan adalah tugas jabatan yang diberikan kepada PNS yang pelaksanaan tugasnya masih berhubungan dengan jabatan pada Instansi Induknya atau merupakan tugas yang mewakili kepentingan pemerintah.
Regulasi ini merupakan Peraturan BKN terbaru yang memungkinkan PNS menempati (bisa dibilang merangkap) posisi di instansi lain, karena ada penugasan. Namun, penugasan itu hanya berlaku untuk periode yang terbatas.
Periode penugasan di instansi pemerintah dibatasi selama 5 tahun (pasal 10 ayat 1). Lalu, untuk masa penugasan di luar instansi pemerintah, tidak secara jelas disebut batasannya, dan hanya dinyatakan "dalam jangka waktu tertentu."
Penugasan PNS di instansi pemerintah dibedakan jadi 2 jenis, sebagaimana diatur Pasal 3 ayat 2, yakni:
- PNS yang melaksanakan Tugas Jabatan khusus (Contohnya: penempatan jaksa dari Kejaksaan di KPK);
- PNS yang melaksanakan Tugas Jabatan yang bersifat pendukung atau administratif.
Berikutnya, sesuai dengan isi Pasal 12 ayat 1 Peraturan BKN 16/2022, penugasan PNS di luar instansi pemerintah meliputi:
- Penugasan di proyek pemerintah;
- Penugasan di organisasi profesi;
- Penugasan di organisasi internasional;
- Penugasan di badan atau instansi lain.
Lampiran 1 Peraturan BKN Nomor 16 Tahun 2022 memuat penjelasan contoh penugasan PNS di luar instansi pemerintah, yakni sebagai berikut:
- PNS ditugaskan menempati posisi di proyek pemerintah seperti infrastruktur, sarana transportasi, hingga pemulihan dampak bencana;
- PNS ditugaskan menempati posisi di Organisasi Profesi dokter, perawat, dan guru;
- PNS ditugaskan di Organisasi Internasional seperti ASEAN Secretariat (ASEC), IMF, WTO, WHO, dan lainnya;
- PNS ditugaskan di badan atau instansi lain berstatus badan layanan umum (BLU), seperti LPDP dan Pusat Pelayanan Teknologi.
2. Pasal 123 dan 124 UU ASN Nomor 5 Tahun 2014
Dua pasal ini memuat ketentuan yang saling berkaitan untuk PNS yang merangkap posisi sebagai pejabat negara: a. Pasal 123 ayat 1, 2, dan 3 UU ASN 5/2014:
- Ayat 1: Pegawai ASN dari PNS yang diangkat menjadi ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; Menteri dan jabatan setingkat menteri; Kepala perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh diberhentikan sementara dari jabatannya dan tidak kehilangan status sebagai PNS.
- Ayat 2: Pegawai ASN dari PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaktifkan kembali sebagai PNS.
- Ayat 3: Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.
b. Pasal 124 UU ASN 5/2014:
- Ayat 1: "PNS yang tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) dapat menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, atau Jabatan Fungsional, sepanjang tersedia lowongan jabatan.
- Ayat 2: "Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud di ayat (1) dalam waktu paling lama 2 tahun, PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat.
3. Pasal 22 PP Nomor 30 Tahun 2019
Pasal 22 PP Nomor 30 Tahun 2019 mengatur soal rencana kinerja pegawai atau Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) bagi PNS yang merangkap jabatan.Berikut bunyi peraturan di Pasal 22 PP Nomor 30 Tahun 2019 tersebut:
a. Pasal 22 ayat 1:
"SKP bagi pejabat fungsional yang rangkap jabatan dengan jabatan pimpinan tinggi atau jabatan administrasi disusun mengikuti:
- SKP bagi pejabat pimpinan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13;
- SKP bagi pejabat administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17."
Adapun pasal 13 yang dimaksud berbunyi:
"SKP bagi pejabat pimpinan tinggi disusun berdasarkan perjanjian kinerja Unit Kerja yang dipimpinnya dengan memperhatikan: rencana strategis; dan rencana kerja tahunan."
Selanjutnya, pasal 17 yang dimaksud berbunyi:
"SKP bagi pejabat administrasi disusun berdasarkan SKP atasan langsung dengan memperhatikan: organisasi dan tata kerja; dan uraian jabatan."
b. Pasal 22 ayat 2
"Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat fungsional yang rangkap jabatan dapat menyusun SKP bagi pejabat fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19." Adapun pasal 19 yang dimaksud berbunyi:
"SKP bagi pejabat fungsional disusun berdasarkan SKP atasan langsung dan organisasi/unit kerja dengan memperhatikan: rencana kerja tahunan; perjanjian kinerja; organisasi dan tata kerja; dan uraian jabatan.
4. Pasal 98 PP Nomor 11 Tahun 2017
Pasal 98 PP Nomor 11 Tahun 2017 mengatur bahwa pejabat fungsional PNS bisa rangkap jabatan dalam rangka optimalisasi tugas di organisasi.Berikut bunyi pasal 98 PP Nomor 11 Tahun 2017 tersebut:
"Dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugas dan pencapaian kineda organisasi, pejabat fungsional dilarang rangkap Jabatan dengan JA atau JPT, kecuali untuk JA atau JPT yang kompetensi dan bidang tugas Jabatannya sama dan tidak dapat dipisahkan dengan kompetensi dan bidang tugas JF."
Contoh pengecualian di atas, berlaku untuk jabatan jaksa, perancang undang-undang, peneliti, dan diplomat ahli utama.
Editor: Addi M Idhom