tirto.id - Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Purbaya Yudhi Sadewa, memasukkan rencana redenominasi rupiah dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan 2025-2029. Apa itu redenominasi rupiah dan kapan berlaku?
Renstra yang termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2025 ini menyebut bahwa Kementerian Keuangan sedang menyiapkan rancangan undang-undang tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi).
Purbaya mengungkapkan bahwa RUU Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) bertujuan agar efisiensi perekonomian dapat dicapai melalui peningkatan daya saing nasional.
Tak hanya itu, dengan redenominasi, pemerintah juga diharapkan dapat menjaga kesinambungan perkembangan perekonomian nasional.
Lalu, apa itu redenominasi rupiah dan kapan mulai diberlakukan? Simak penjelasannya berikut ini.
Apa Itu Redenominasi Rupiah & Kapan Berlaku?
Isu redenominasi rupiah ternyata bukan hal baru. Pertama kali RUU redenominasi masuk dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan telah terjadi sejak beberapa tahun lalu.
Sebelumnya, melalui PMK Nomor 77 Tahun 2020, Menteri Keuangan terdahulu, Sri Mulyani, juga telah memasukkan rencana pembentukan RUU Redenominasi ke dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan untuk periode 2020-2024. Namun, rencana tersebut belum terlaksana.
Redenominasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) VI versi daring diartikan sebagai penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya.
Adapun tujuan redenominasi adalah untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga, atau nilai rupiah terhadap harga barang dan/atau jasa.
Penyederhanaan rupiah ini nantinya dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol di belakang. Contohnya, Rp1.000 menjadi Rp1.
Saat ini rencana redenominasi rupiah masih dalam tahap penyusunan RUU atau masih dalam upaya memasukkan rencana tersebut dalam Renstra Kemenkeu. RUU ini ditargetkan rampung pada 2027.
Dengan demikian, mulai diberlakukannya redenominasi rupiah dapat diperkirakan terjadi setelah 2027. Namun, hal ini masih perlu disertai beberapa pertimbangan, seperti mempertimbangkan urgensi dan tingkat keberhasilannya jika sudah diterapkan.
Redenominasi rupiah, meski isunya sudah muncul lebih dari satu dekade lalu, hingga saat ini masih perlu menimbang faktor urgensi. Analis pasar uang, Ariston Tjendra, menilai bahwa saat ini belum ada urgensi untuk melakukan redenominasi.
Sebaliknya, penyederhanaan mata uang rupiah yang dilakukan secara terburu-buru justru akan menimbulkan dampak negatif. Salah satunya yakni inflasi.
Hal tersebut karena ketika redenominasi diterapkan, bisa jadi akan ada pembulatan-pembulatan harga ke atas. Kemudian, kenaikan harga pun tak terelakkan.
Ariston pun menyampaikan (14/3/2025), mata uang rupiah kini masih cenderung mengalami pelemahan karena terdampak sentimen ketidakpastian ekonomi global. Redenominasi, menurut dia, baru bisa dilakukan jika kurs rupiah terhadap dolar AS terjun bebas.
Selain itu, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, juga mengingatkan (14/3/2025) bahwa keberhasilan redenominasi sangat bergantung pada stabilitas makroekonomi dan sosial-politik, serta sosialisasi yang intensif kepada masyarakat agar tidak terjadi kebingungan atau kesalahpahaman.
Pembaca yang ingin membaca artikel sejenis terkait redenominasi rupiah dapat mengakses tautan berikut ini.
Penulis: Umu Hana Amini
Editor: Wisnu Amri Hidayat
Masuk tirto.id







































