tirto.id - Cerpen tentang sekolah SD memiliki beragam tema. Ada yang berkisah tentang persahabatan, dan di sisi lain ada pula cerpen tentang perpisahan sekolah SD.
Sebagaimana diketahui, cerpen singkat tentang sekolah SD kadangkala menjadi tugas yang diberikan guru kepada para siswa. Tugas ini diberikan untuk melatih keterampilan anak dalam bercerita.
Lantas, apa saja contoh cerpen tentang sekolah SD yang bisa dijadikan inspirasi? Artikel ini akan mengulasnya secara ringkas dan padat.

Kumpulan Contoh Cerpen tentang Sekolah SD Singkat & Menarik
Untuk diketahui, cerpen adalah singkatan dari cerita pendek, yakni sebuah karya sastra berbentuk prosa fiksi yang cenderung singkat dan padat. Biasanya, sebuah cerpen dapat dibaca dalam sekali duduk.
Dikumpulkan dari berbagai sumber, berikut cerpen tentang persahabatan di sekolah SD. Tidak hanya itu, 8 contoh di bawah ini juga termasuk cerpen tentang sekolah SD kelas 6.
1. Sekolah Baru
Hari pertama di sekolah baru selalu menyimpan rasa asing. Angin pagi terasa dingin, meski matahari sudah tinggi. Langit pun tampak cerah. Namun demikian, dada Raka mendung.Ia melangkah pelan menyusuri lorong sekolah yang belum dikenalnya. Suara tawa siswa lain seperti gema dari dunia lain—jauh, dan tak menyapanya. Raka menggenggam erat tali tasnya, berusaha menenangkan detak jantungnya yang seperti genderang perang.
Saat Raka memasuki kelas, semua mata menoleh. Beberapa tersenyum ramah, sebagian lainnya hanya mengamati dalam diam. Raka mengangguk kecil, memperkenalkan diri seperti yang diajarkan ibunya di rumah.
“Nama saya Raka. Baru pindah dari Bandung.”
Wali kelas lalu menunjuk bangku kosong di tengah. Raka tahu, di situlah ia bakal menghabiskan waktunya dalam beberapa hari, bulan, bahkan tahun kemudian.
Saat Raka duduk, seorang siswa berambut agak ikal di sampingnya berbisik pelan, “Aku Dani. Tenang saja, di sini gak seburuk kelihatannya.”
Raka tersenyum, walau masih ragu. Namun, saat jam istirahat tiba, Dani mengajaknya ke kantin dan mengenalkannya pada teman-teman lain. Perlahan, awan mendung yang bergelayut di hati Raka mulai menipis.
Sepulang sekolah, Raka berjalan pulang dengan langkah yang lebih ringan. Ia tersenyum kecil sambil sesekali melemparkan pandang ke pohon-pohon yang berderet. Sekolah baru memang asing, tapi bukan berarti tak bisa jadi rumah baru.
2. Hantu di Sudut Sekolah
Di SD Tunas Bangsa, ada satu sudut sekolah yang selalu sepi: gudang tua di belakang aula. Pintu kayunya reyot, dan jendela kacanya pecah sebelah. Anak-anak kerap menyebutnya “Sudut Terlarang”.Konon, ada hantu perempuan berambut panjang yang sering terlihat berdiri diam di sana. Dikisahkan, dia adalah mantan murid yang hilang saat bermain petak umpet dan tak pernah ditemukan. Sejak itu, tidak ada yang berani mendekat ke “Sudut Terlarang”.
Kendatipun demikian, Arif dan Rani tetap merasa penasaran. Mereka adalah anak kelas 5 yang suka tantangan.
“Sore ini kita intip gudang itu,” bisik Arif, matanya bersinar.
“Kalau kamu takut, kita batalkan saja,” tantang Rani, sembari mengumpulkan keberanian yang timbul tenggelam.
Sore harinya, saat sekolah sepi, Arif dan Rani menyelinap ke belakang aula. Angin berhembus pelan, dan pintu gudang itu berderit pelan… kreekkkk.
“Oh, Hantu... kalau kamu memang ada, jangan marah, ya,” kata Arif dengan suara bergetar.
Tiba-tiba, dari balik bayangan, muncul sosok putih. Rambutnya panjang menutupi wajah.
Rani menjerit. Arif terdiam kaku.
Tapi kemudian sosok itu tertawa. “Woi, ini aku, Fajar!” katanya sambil melepas wig dan kain putihnya. “Guru olahraga memintaku membersihkan gudang. Aku cuma iseng. Hahaha!”
Rani dan Arif saling pandang. Lalu mereka tertawa lega, meski jantung masih berdebar hebat.
Sejak hari itu, gudang tua tetap sepi. Tapi mereka tahu, kadang rasa takut hanya soal imajinasi atau barangkali teman yang terlalu kreatif.
3. Perpustakaan dan Kisah-kisahnya
Perpustakaan SD Harapan Bangsa senantiasa sepi saat jam istirahat. Kebanyakan siswa lebih memilih kantin atau lapangan. Tapi bagi Nara, tempat terbaik di dunia adalah sudut tenang di antara rak buku novel klasik dan fiksi ilmiah.Hari itu, Nara sedang membaca To Kill a Mockingbird saat seseorang duduk di kursi seberang. Ia menoleh. Seorang siswa laki-laki berkacamata, kelas 6, sama sepertinya.
“Kamu suka buku itu?” tanyanya, menunjuk novel di tangan Nara.
“Iya. Sudah tiga kali dibaca ulang,” jawab Nara lambat-lambat.
“Aku lebih suka yang ini,” katanya sambil mengangkat 1984 karya George Orwell. “Lebih gelap, tapi jujur.”
Mulai hari itu, mereka sering bertemu di perpustakaan. Namanya Radif. Setiap minggu, mereka saling menukar referensi buku favorit. Radif mengenalkan Nara pada Gadis Pantai hingga Animal Farm, sementara Nara membalas dengan The Book Thief dan The Little Prince.
Mereka tidak hanya bertukar buku, tapi juga pikiran. Meski urung masuk SMP, mereka gemar berbicara tentang kebebasan, ketidakadilan, dan bagaimana kata-kata bisa mengubah cara pandang seseorang. Obrolan mereka tidak selalu serius. Kadang diselingi lelucon, atau debat seru soal akhir cerita yang tidak memuaskan.
Suatu hari, Radif datang membawa buku tipis berjudul Perahu Kertas karya Dewi Lestari.
“Dari yang kuperhatikan, gak biasanya kamu baca yang begini,” goda Nara.
Radif tersenyum. “Bukan cuma dunia yang butuh diubah. Hati juga.”
Nara tertawa, tapi menerima buku itu dengan senang hati.
Perpustakaan itu, yang dulunya hanya tempat pelarian, kini menjadi ruang pertemuan. Tempat dua orang dengan selera berbeda saling membuka jendela dunia masing-masing. Mereka tak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi selama masih ada buku, dan rak-rak sunyi itu, pertemanan mereka akan terus bertumbuh. Halaman demi halaman.
4. Jajanan Depan Sekolah
Setiap pulang sekolah, gerobak biru Mang Dika sudah siap di depan gerbang SD Maju Jaya. Asap tipis mengepul dari kukusan, menebarkan aroma siomay dan batagor yang menggoda. Anak-anak langsung menyerbu.“Siomay dua, pakai saus banyak, Mang!” teriak Riko, sambil menjulurkan uang seribuan.
Mang Dika tersenyum ramah, tangannya cekatan menyiramkan bumbu kacang dan kecap. “Siap, Riko! Ini, tambah kerupuk biar makin lezat!”
Bagi Riko dan teman-temannya, jajan di gerobak Mang Dika bukan cuma soal makanan. Itu ritual penting setelah jam pelajaran selesai. Di sana mereka tertawa, saling bercerita, bahkan kadang curhat soal PR Matematika.
Suatu hari, gerobak Mang Dika tak muncul. Riko bingung. Begitu pula teman-teman lainnya.
“Mang Dika ke mana, ya?” tanya Lala, cemas.
Keesokan harinya, Mang Dika datang lagi, tapi jalannya tertatih.
“Maaf, kemarin jatuh dari motor,” katanya sambil duduk di bangku plastik kecil.
Anak-anak langsung berkumpul. Ada yang membantu dorong gerobak, ada yang bantu bungkus siomay.
Meski gerobak sederhana, kehangatan Mang Dika seperti bagian dari sekolah. Ia tahu nama semua anak, hafal selera masing-masing, dan selalu punya cerita lucu yang menggugah.
Sejak hari itu, anak-anak tak sekadar jajan. Mereka juga bergantian membantu Mang Dika. Sebuah bentuk terima kasih untuk si penjual jajanan yang selalu hadir membawa rasa dan tawa.

5. Lapangan Itu Masih Sama
Lapangan itu masih sama. Tanahnya berwarna cokelat kemerahan, kadang berdebu saat kemarau, becek saat hujan. Di salah satu sudutnya tumbuh pohon ketapang tua yang dulu jadi tempat kami berteduh.Kini aku berdiri di tepinya, sepuluh tahun sejak kelulusan. Sekolah SD Mentari sedang sepi, tapi lapangan itu penuh suara di dalam ingatanku.
Di sinilah dulu kami berdiri tegak setiap hari Senin. Upacara bendera di bawah terik matahari. Suara peluit Pak Gusti, aba-aba hormat bendera, dan lagu Indonesia Raya yang kami nyanyikan dengan semangat meski kadang salah nada.
Lapangan ini juga saksi ributnya pertandingan sepak bola antar kelas. Aku masih ingat saat Deni mencetak gol kemenangan lalu terpeleset dan jatuh berguling—kami tertawa hingga perut sakit.
Sore hari, setelah pelajaran selesai, kami bermain petak umpet di balik tiang bendera dan pohon ketapang. Lari-lari sambil menjerit, pura-pura ketakutan, lalu tertawa bersama saat tertangkap.
Di lapangan ini juga aku pertama kali belajar kalah—saat timku tak lolos lomba estafet. Tapi juga di sini aku belajar bangkit, saat teman-teman menepuk pundakku dan berkata, “Kita coba lagi tahun depan.”
Kini lapangan itu sepi. Tapi bagiku, tempat itu hidup. Setiap bekas tapak kaki, tawa, teriakan, dan peluh, tersimpan seperti jejak kenangan yang tak bisa disapu waktu.
Aku melangkah pelan ke tengah lapangan. Menutup mata. Mendengar kembali suara masa kecilku, tertawa bersama teman-teman yang kini entah di mana.
Lapangan itu masih sama. Tapi aku—kami semua—sudah tumbuh tanpa tanda-tanda yang berarti.
6. Bermain Petak Umpet Bersama Guru
Suara lonceng pulang sekolah baru saja berbunyi, tapi anak-anak kelas 5B belum mau beranjak. Hari itu hari Jumat, dan seperti biasa, Bu Rina memberi kejutan kecil: waktu bermain bersama di halaman belakang sekolah.“Petak umpet, yuk!” seru Rafi, penuh semangat.
Bu Rina tersenyum lebar. “Siapa yang mau jaga duluan?”
Anak-anak saling tunjuk, hingga akhirnya Bu Rina sendiri yang jadi penjaga. Ia menutup mata di balik pohon jambu besar sambil menghitung keras, “Satu… dua… tiga…”
Anak-anak berserakan ke segala arah, berlari kecil sambil tertawa cekikikan mencari tempat sembunyi. Ada yang bersembunyi di balik semak, ada yang masuk ke bawah meja piknik, bahkan naik ke atas tumpukan ban bekas di dekat pagar.
“Sepuluh! Ibu mulai cari, yaaa!” teriak Bu Rina sambil membuka mata.
Ia pura-pura bingung, berjalan pelan, lalu tiba-tiba menunjuk semak yang bergerak-gerak. “Itu kamu, Aldi!”
Aldi melompat keluar sambil tertawa. “Ketahuan, Bu!”
Satu per satu murid ditemukan. Tapi Rafi sulit dicari. Bu Rina sudah hampir menyerah ketika tiba-tiba terdengar suara bersin dari balik papan nama sekolah.
“Ketemu!” seru Bu Rina sambil tertawa.
Hari itu dipenuhi tawa dan peluh. Tidak ada PR, tidak ada buku pelajaran. Hanya anak-anak dan guru mereka yang bermain seolah dunia ini taman bermain besar.
“Bu, besok-besok main lagi, ya?” pinta Lala dengan mata berbinar.
“Tentu,” jawab Bu Rina sambil mengusap kepala Lala. “Tapi jangan sering-sering, nanti Ibu yang kalah terus.”
Petak umpet hari itu bukan sekadar permainan. Itu jadi kenangan yang akan tinggal lama di hati murid-murid kecil—tentang guru yang tak hanya mengajar, tapi juga hadir dalam tawa masa kecil mereka.
7. Ayunan Terakhir
Hari itu, langit sore terlihat keemasan. Suasana halaman belakang SD Pelita Hati terasa berbeda. Tidak ada lagi teriakan ceria atau kejar-kejaran. Hanya suara ayunan yang berayun pelan, kriet… kriet…Di atas ayunan tua yang sudah berkarat, duduk empat anak: Tika, Reyhan, Nabila, dan Danu. Mereka baru saja menerima pengumuman kelulusan. Semua lulus. Tapi bukan itu yang membuat mereka diam.
“Besok kita sudah masuk SMP,” gumam Tika, menatap ke langit.
“Iya… rasanya baru kemarin rebutan giliran ayunan ini,” timpal Reyhan sambil tertawa kecil.
Dulu, setiap istirahat, ayunan itu jadi rebutan. Siapa cepat, dia dapat. Kadang sampai ada yang menangis karena tak kebagian. Tapi sore itu, tak ada yang berebut. Mereka duduk bergantian, perlahan, seolah ingin memperlambat waktu.
Nabila mendorong Danu pelan. “Ingat, tidak, waktu kamu jatuh dari ayunan, terus pura-pura gak sakit?”
Danu meringis. “Malu, ditonton satu sekolah!”
Tawa kecil meledak di antara mereka. Tapi kemudian hening kembali menyelimuti mereka.
Ayunan itu bukan sekadar mainan. Di sanalah mereka saling berbagi cerita, tawa, kadang juga air mata. Saat dimarahi guru, saat nilai ulangan jelek, atau saat diam-diam menyukai teman sekelas.
“Besok kita beda sekolah,” kata Tika lirih.
“Beda seragam, beda jalan, tapi…” Reyhan terdiam sejenak lalu melanjutkan, “semoga gak beda hati.”
Mereka tertawa lagi, meski ada rasa perih yang samar. Perlahan, satu per satu berdiri, menyentuh rantai ayunan sejenak. Seperti pamit pada kenangan.
Hari itu, ayunan tua itu berayun pelan untuk terakhir kalinya bersama mereka. Bukan akhir dari segalanya, tapi penanda bahwa masa kecil mereka, yang penuh canda dan keluguan, telah berpamitan.
Dan seperti ayunan, hidup akan terus bergerak maju. Tapi kenangan di ayunan itu, akan tinggal selamanya.
8. Di Bawah Toren Oranye
Di sudut belakang SD Bina Mandiri, berdiri sebuah toren air tinggi berwarna oranye mencolok. Letaknya agak tersembunyi, di dekat pohon jambu dan belakang ruang UKS. Tak banyak yang tahu, tapi bagi Roy, Sasa, dan teman-teman sekelasnya, tempat itu adalah “markas rahasia”.Setiap ada tugas kelompok—entah membuat poster, prakarya, atau menulis cerita—mereka selalu berkumpul di bawah toren oranye itu. Anginnya sejuk, tanahnya agak teduh, dan yang paling penting: jauh dari pantauan guru piket.
“Di sini enak, gak ada yang mengganggu,” kata Sasa sambil menggunting kertas warna.
Roy mengangguk tanda setuju. “Dan bisa curhat sambil kerja tugas.”
Hari-hari mereka diisi oleh tumpukan buku, lem kertas, dan suara canda. Kadang tugasnya tak selesai-selesai karena terlalu banyak tertawa. Tapi tak masalah. Di bawah toren oranye, tugas terasa lebih ringan.
Pernah sekali hujan turun deras. Mereka tetap berteduh di sana, melindungi poster buatan tangan dengan tubuh sendiri. “Toren ini udah kayak atap rumah kedua,” ujar Genta, setengah bercanda.
Minggu terakhir kelas 6, suasana berubah. Tak ada lagi tugas kelompok. Hanya detik-detik menuju perpisahan. Hari itu, mereka datang ke toren oranye bukan untuk mengerjakan tugas, tapi membawa camilan, tikar, dan kamera pinjaman.
“Foto terakhir di sini, ya,” kata Roy sedikit parau.
Mereka duduk bersila, tertawa kecil, dan saling mengingat kenangan. Dari poster hari bumi yang sobek, suara guru yang tiba-tiba muncul saat mereka main kartu Uno, hingga momen rebutan lem yang selalu hilang entah ke mana.
Saat matahari mulai tenggelam, mereka berdiri bersama, menatap toren oranye yang kini tampak lebih tinggi dari biasanya.
“Tempat ini bakal kita kenang,” bisik Sasa.
Dan benar. Bertahun-tahun kemudian, toren oranye itu mungkin berkarat, mungkin diganti. Tapi dalam hati mereka, tempat itu akan selalu berdiri—kokoh sebagai saksi tawa, persahabatan, dan hari-hari sederhana yang tak tergantikan.

Demikian daftar 8 contoh cerpen singkat tentang sekolah SD yang bisa dijadikan inspirasi. Selain sebagai sumber inspirasi untuk menuliskan cerpen karya sendiri, berbagai contoh cerita pendek ini juga bisa jadi referensi bagi para siswa SD yang mendapat tugas untuk membuat cerpen tentang sekolahnya. Selamat bercerita!
Penulis: Muhammad Faisal Akbar
Editor: Lucia Dianawuri
Masuk tirto.id






































